Mantan Juru Runding Helsinki: Referendum di Aceh Bahaya Sekali


[PORTAL-ISLAM.ID]  Mantan pimpinan juru runding Indonesia dalam MOU Helsinki 2005, Hamid Awaludin mengatakan, ucapan Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf (Mualem) yang memunculkan wacana referendum di Aceh, "bukan hanya tidak urgent (penting)" tetapi juga "bahaya sekali" bagi jalannya perdamaian Aceh yang sudah berjalan lebih dari 14 tahun.

"Karena kalau Anda tanya saya (apa) urgensinya (ucapan Muzakir Manaf tersebut), bukan hanya tidak urgent, tapi itu bahaya sekali, bahaya sekali," kata Hamid Awaludin dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon, Kamis (30/05/2019).

"Rakyat Aceh sudah nikmati kok, apa yang terjadi sekarang," tambahnya.

Wacana menggelar referendum di Aceh dengan pilihan, tetap menjadi bagian wilayah Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru, sebagaimana dalam kasus Timor Leste, diutarakan Muzakir Manaf, mantan panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA).

Gagasan ini diangkat setelah hasil penghitungan suara KPU menunjukkan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah secara nasional namun di Aceh, capres nomor urut 02 ini menang telak dengan 81% suara.

Walaupun demikian, Hamid Awaludin menduga, Muzakir Manaf "tidak bermaksud" mengutarakan keinginannya untuk menggelar referendum di Aceh untuk menjadi bagian wilayah Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru.

"Jadi itu semacam retorika sesaat, refleksi sesaat, karena diucapkan seorang Muzakir Manaf," ujar Hamid. "Tidak dia maksudkan seperti itu."

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia ini juga menduga, Muzakir Manaf menggunakan kosa kata referendum yang pengertiannya "berbeda dengan pengertian yang kita pahami".

Sebelumnya, Marzuki AR, mantan kombatan GAM yang dekat dengan Muzakir Manaf, menjelaskan mengapa wacana referendum diangkat lagi.

Salah satu alasannya, "Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing. Itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur. Kenapa Aceh tidak." Demikian penjelasan Muzakir sebagaimana dikutip oleh media di Indonesia.

"Kita menyatu dengan republik ini dengan suatu harapan, harapan yang lebih baik bagi Aceh dan masa depan Aceh selanjutnya tetap dalam negara kesatuan republik. Tetapi kalau saluran-saluran itu perlahan tidak membuahkan hasil, akhirnya beliau harus bersuara lantang seperti itu."

Menurut Marzuki AR, wacana referendum itu dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan atas dua hal utama.

"Aceh mempunyai konsensus dengan Republik Indonesia menyangkut MoU Helsinki. Sampai hari ini tidak semua poin-poin yang kita sepakati terealisasi. Itu yang pertama, kata Marzuki AR dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir pada Rabu (29/05).

Mengapa referendum?

Marzuki merujuk pada nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, tahun 2005 sebagai landasan perdamaian. Dalam penjelasannya, Marzuki menyebut bahwa sampai sekarang bendera, himne Aceh dan pembagian penghasilan antara Aceh dan pemerintah pusat belum direalisasikan.

Yang kedua, lanjutnya, tak dipungkiri wacana referendum muncul karena calon presiden yang diusung Partai Aceh kalah karena hal yang ia sebut "kecurangan". Dalam pemilu 2014, banyak suara pemilih di Aceh diberikan untuk Prabowo. Demikian juga dengan pemilu 2019.

"Hampir 90% rakyat Aceh memilih Prabowo-Sandi. Ini harapannya bahwa ada secercah harapan untuk perubahan di Aceh."

"Ketika proses demokrasi yang ditelanjangi hari ini dengan penuh kecurangan, transparansi bubar, kemudian tidak ada lagi rasa keadilan. Ini membawa efek luar biasa bagi Aceh," jelas Marzuki AR yang menjadi sekretaris Badan Pemenangan Provinsi Aceh Prabowo-Sandi.

Persoalannya mengapa agenda referendum digulirkan sekarang, 14 tahun setelah kesepakatan damai diteken dan sudah ada pula Partai Aceh yang dirintis mantan kombatan GAM?

"Kalau kita menempuh jalan kekerasan, nanti dianggap kita membatalkan MoU. Nah kalau referendum hak semua warga negara secara demokrasi untuk mengeluarkan pendapat," ungkap Marzuki AR. (BBC)

Baca juga :