Jokowi Ngapain Saja, Kok Bisa Sampai Kalah? by Hersubeno Arief


[PORTAL-ISLAM.ID]  Apakah manusia punya naluri yang sama dengan binatang? Para ahli menyatakan pada dasarnya seperti hewan, manusia mempunyai naluri yang sama. Naluri mempertahankan diri dari lingkungannya.

Ketika binatang menyerang, bahkan membunuh manusia, biasanya disebabkan oleh tiga kondisi : terganggu, takut, atau terancam. Tindakan itu merupakan perilaku dasar hewan ( basic animal instincts).

Manusia juga memiliki naluri yang sama ketika terancam. Pilihannya: Lari atau berkelahi!

Melihat perilaku kubu pendukung Jokowi dalam beberapa hari ini, nampaknya mereka memutuskan memilih opsi kedua: Berkelahi.

Tidak perlu kaget ketika mendapati akun maupun nomor handphone anggota partai koalisi dan Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo-Sandi dalam beberapa hari terakhir banyak yang diretas.

Sebuah akun yang mengatasnamakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyerang akun Divisi Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean. Gambar-gambar porno “Ferdinand” disebar. Sebaliknya akun Ferdinand membalas dengan menyebar gambar-gambar porno yang disebut merupakan foto Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono.

No handphone milik Jubir Demokrat Imelda Sari juga diretas. Si pembajak menyebarkan gambar-gambar yang disebut sebagai adegan porno Ferdinand Hutahean di sejumlah WhatsApp Group (WAG).
Keputusan untuk “berkelahi” itu sudah dicanangkan sendiri oleh Jokowi. Ketika orasi di depan para pendukungnya di stadion Kridosono, Yogyakarta. Dalam nada yang terdengar seperti orang frustrasi dan putus asa dia meneriakkan “ Saya akan lawan!”

Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko menyatakan akan melancarkan Perang Total. Menko Maritim Luhut Panjaitan menyatakan perang dengan kelompok yang ingin mengganti idiologi negara. Mantan Kepala BIN Hendropriyono menyebut sebagai perang antara pendukung Pancasila melawan kelompok pendukung khilafah.

Di media sosial narasi, nada, dan suaranya semua seragam. Lawan, perang, libas dan sejumlah narasi lainnya. Inilah naluri paling purba yang digambarkan dalam teori evolusi Charles Darwin sebagai mekanisme pelestarian ras dari seleksi alam. Oleh Herberth Spencer hal itu disebut sebagai survival of the fittest.

Mau mereka ngomong apa saja, perilaku mereka menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang terdesak, terancam, di ambang kekalahan. Tidak ada orang yang sudah merasa pasti menang, elektabilitas mendekati 60 persen, dengan selisih atas lawan lebih dari 25 persen, berperilaku seperti Jokowi dan para pendukungnya.

Tidak ada orang yang sudah pasti merasa menang mengambil metafora “rantai sepedanya putus.” Apalagi hal itu disampaikan dalam closing statement debat yang disaksikan lebih dari seratus juta penonton.

Tidak ada orang yang sudah yakin menang membuat publikasi konyol. Berdasar survei, pendukung Front Pembela Islam (FPI) terbelah. Jokowi hanya kalah tipis dari Prabowo. Barangkali kalau matahari sudah terbit dari Barat, hal itu bisa terjadi.

Tidak ada tukang survei yang yakin jagoannya tak akan terbendung melayani tantangan konyol netizen. Bertaruh akan pindah ke negara komunis kalau sampai Jokowi kalah.

Semua itu menunjukkan perilaku konyol orang panik. Perilaku konyol orang yang menyadari junjungannya bakal kalah. Tak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Seorang penguasa yang sudah merasa di atas angin. Yang merasa elektabilitasnya tak mungkin terkejar, perilakunya pasti penuh percaya diri. Perilaku itu setidaknya pernah ditunjukkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pada Pilpres 2009 memilih Budiono.

Dia tak peduli Budiono tidak mewakili representasi Jawa-non Jawa. Tidak mewakili representasi kekuatan parpol, tidak menjanjikan tambahan elektabilitas. Budiono adalah akademisi dan kemudian menjadi birokrat. Secara politik, pria kalem ini tidak punya pendukung. Terbukti SBY tetap melenggang.

Kalau benar Jokowi sangat perkasa, ibarat kata dipasangkan dengan sendal jepit pun menang. Seharusnya dia tak usah susah payah mencari cawapres.

Tak perlu ada drama eliminasi Mahfud MD di hari terakhir pendaftaran paslon. Tak perlu menggaet Kyai Ma’ruf Amin, seorang Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU.

Perilaku seperti yang dilakukan Jokowi dan pendukungnya menunjukkan perilaku orang yang panik tingkat dewa. Semua hal dilakukan agar selamat. Seperti orang yang akan tenggelam, mengira sebatang jerami sebagai sebatang pohon.

Agak mengherankan

Sebagai inkumben yang sudah berkampanye hampir selama lima tahun, seharusnya tidak ada kamusnya Jokowi kalah. Apalagi jika ingatan kita kembali ke Pilpres 2014. Jokowi digambarkan seperti manusia setengah dewa.

Seorang Satrio Piningit, Ratu Adil yang akan membawa Indonesia menjadi negara yang gemah ripah, loh jinawi. Adil makmur, toto tentrem, kerto raharjo. Ekspektasi publik terhadap pria sederhana dari tepian Bengawan Solo ini sangat tinggi.

Seiring waktu, harapan itu menguap bersama angin lalu. Satu persatu janjinya terbukti tak bisa dipenuhi. Publik mulai memahami bahwa kapasitasnya sebagai pemimpin sangat terbatas.

Seorang walikota dari kota kecil seperti Solo yang dipaksakan menjadi Gubernur DKI dan kemudian melompat menjadi Presiden RI. Ibarat seorang sopir angkot yang tiba-tiba dipaksa membawa sebuah truk gandengan, truk trailer dengan beban yang sangat berat.

Seorang pria dengan narasi sangat sederhana dan terbatas, tak punya gagasan besar yang mampu menggerakkan bangsa Indonesia melakukan kerja besar. Meminjam metafora dari inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) Anis Matta, “Langitnya sangat tinggi, kemampuan terbangnya sangat rendah.”

Singkat kata Jokowi adalah seorang presiden dengan kemampuan terbatas, under capacity. Sementara masalah yang dihadapi bangsa sangat besar. Membutuhkan seorang presiden yang full capacity!

Yang lebih parah lagi publik menyadari sebagai Presiden, Jokowi bukanlah figur mandiri. Dia terkesan seperti boneka. Ada kekuatan besar di belakangnya yang mengendalikan. Kekuatan yang sering disebut sebagai deep state, negara dalam negara. Mereka inilah yang disebut sebagai oligarki.

Satu persatu pendukungnya, orang-orang yang masuk dalam pendukung garis kerasnya ( die hard) meninggalkannya. Mereka menjadi muallaf politik, setelah menyadari salah memilih presiden.

Hari ini, Rabu (3/4) di medsos beredar pernyataan sikap M Jumhur Hidayat yang memutuskan meninggalkan Jokowi. Mantan aktivis mahasiswa ITB dan pernah menjadi Ketua BNP2TKI secara tegas menyatakan kecewa terhadap Jokowi.
Langkah Jumhur merupakan bagian gelombang besar migrasi pendukung Jokowi. Sebagai Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia (FSPMI) dan Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia (Gespermindo) ada gerbong panjang di belakang Jumhur.

Pilihan Jokowi atas Ma’ruf Amin juga banyak menimbulkan resistensi di kalangan pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok. Diduga mereka banyak yang memutuskan Golput.

Hari ini di medsos beredar video Ma’ruf Amin sedang berbincang dengan sejumlah orang, salah satunya Yusuf Mansyur. Ma’ruf menyebut Ahok sumber konflik bangsa, karena itu harus dihabisi!

Video yang diambil pada hari Raya Idul Fitri tahun lalu itu dipastikan akan membuat pendukung Ahok tambah marah dan kecewa kepada Jokowi. Ahok saat ini tengah menjalani semacam pengasingan di luar negeri bersama istri barunya, sampai pilpres berakhir.

Fakta itu menjelaskan mengapa semua upaya yang dilakukan Jokowi untuk mendongkrak elektabilitasnya sia-sia. Elektabilitasnya hanya di bawah 50 persen, dengan trend terus menurun. Artinya ada lebih dari 50 persen pemilih tidak lagi menghendaki Jokowi.

Didukung oleh parpol besar, birokrasi pemerintah, aparat intelijen, pengerahan anggota kepolisian sampai tingkat Polsek, penyebaran Bansos, dan CSR BUMN besar-besaran, media dikooptasi, para ulama dibungkam, lawan politik dikriminalisasi, modal besar, kampanye yang sangat massif, dan publikasi besar-besaran lembaga survei, semua itu tetap tak menolong Jokowi.

Jika “berkelahi” tak juga bisa dimenangkan, maka hanya satu opsi yang tersisa bagi Jokowi dan pendukungnya: Lari! end
Baca juga :