Langkanya Kesetiaan Zaman Now


[PORTAL-ISLAM.ID]  Apa yang disebut “kesetiaan” merupakan benda asing di panggung politik masa kini. Bahkan kesetiaan  dianggap suatu kebodohan. Lebih banyak mudarat ketimbang manfaat bagi kaum politisi sejati.

Kesetiaan dianggap kendala penghambat laju karier politik. Makin konsekuen serta konsisten seorang politikus bergaya kutu loncat demi lincah pindah dari satu parpol ke parpol lain makin cepat gerak laju menuju posisi karier teratas. Kesetiaan terhadap negara dianggap takhayul.

Kesetiaan terhadap janji setelah usai masa kampanye pemilihan umum terkesan ketinggalan zaman aliasanakronis belaka.

Maka kisah tentang perjalanan Pandawa Lima menuju Swargaloka memang sudah dianggap tidak cocok lagi bagi kemelut politik jaman now.

Perjalanan Ke Swargaloka

Seusai Bharatayuda, Pandawa Lima bersama Drupadi sepakat untuk meninggalkan kehidupan duniawi dengan menempuh perjalanan ke Swargaloka. Di awal perjalanan, seekor anjing bergabung dengan rombongan Pandawa Lima menempuh perjalanan ke Swargaloka.

Belum lama waktu berjalan, mendadak Drupadi lemah lunglai lalu terjatuh sehingga wafat. Tampaknya sanubari Drupadi sudah remuk-redam akibat terlalu berat memikul beban dendam terhadap Dursasana yang sempat mempermalukan isteri Yudistira di depan umum. Kemudian mendadak Nakula terjatuh lalu meninggal dunia. Rupanya Nakula tak tahan menanggung beban arogansi merasa diri paling cerdas.

Tak lama kemudian, Sadewa menyusul saudara kembarnya untuk menghembuskan nafas terakhir. Sadewa menjadi korban kesombongan merasa diri paling bijak. Menjelang akhir perjalanan, Arjuna tewas akibat merasa diri paling rupawan serta paling sakti mandraguna seantero jagad.
Bima menyusul mati akibat menanggung dosa selalu bicara apa adanya tanpa peduli tata krama, sopan santun apalagi perasaan orang lain. Maka tinggal Yudhistira didampingi seekor anjing tak jelas trah namun setia mendampingi Yudhistira yang tersisa seorang diri  ditinggal mati isteri dan saudara-saudaranya.

Gerbang Swargaloka

Akhirnya Yudhistira tiba di pintu gerbang Swargaloka. Yudhistira mengetuk pintu gerbang Swargaloka yang masih tertutup rapat. Perlahan pintu Swargaloka terbuka dan tampak Batara Indra menyambut kedatangan Yudhistira. Batara Indra mempersilakan Yudhistira masuk ke Swargaloka secara jiwa dan raga sebab insan sulung Pandawa Lima dianggap bersih dari dosa.
Namun sebelum melewati pintu gerbang demi masuk ke wilayah Swargaloka, Yudhistira bertanya kepada Batara Indra mengenai apakah sang anjing diperkenan ikut masuk Swargaloka. Tentu saja Batara Indra menganggap pertanyaan Yudhistira lebay sebab belum pernah ada seekor anjing apalagi secara jiwa-raga masuk ke Swargaloka. 

Akibat penolakan Batara Indra maka Yudhistira batal masuk ke Swargaloka lalu duduk bersimpuh di bumi sambil membelai kepala sang anjing dan berkata kepada Batara Indra "Jika anjing ini tidak diperkenankan masuk Swargaloka maka saya ingin mendampingi dia di luar Swargaloka".

Batara Indra terheran-heran "Kenapa kamu membatalkan dirimu masuk Swargaloka hanya demi seekor anjing?" Yudhistira menjawab "Saya harus setia kepada anjing ini sebab dia telah setia kepada saya".

Batara Indra tersenyum dan mendadak sang anjing beralih rupa menjadi rupa aslinya yaitu Batara Dharma, dewa pelindung Yudhistira. Kemudian Batara Indra dan Batara Dharma mempersilakan Yudhistira secara jiwa-raga masuk ke Swargaloka.

Kenyataan Zaman Now

Terkait kenyataan masa kini, kisah adhiluhur tentang kesetiaan itu mungkin dianggap tidak realistis, tidak relevan bahkan konyol. Kisah versi jamanow perlu dimodifikasi menjadi kisah baru yang lebih sesuai realita kemelut politik yang mempersetan kesetiaan di mana Yudhistira meninggalkan sang anjing yang sebenarnya adalah penjelmaan Batara Dharma itu di luar gerbang Swargaloka sehingga akhirnya Batara Indra membatalkan izin surgawi bagi Yudhistirwa untuk secara jiwa-raga masuk ke Swargaloka.

Bisa jadi malah Yudhistira kemudian dikutuk oleh Batara Dharma untuk beralih rupa menjadi anjing yang dibiarkan berkeliaran sampai akhir zaman di luar Swargaloka.

Penulis: Jaya Suprana
Baca juga :