SEPAK TERJANG GATOT NURMANTYO


[PORTAL-ISLAM.ID] Tak ada yang menyangkal bahwa sudah berkali-kali 'kelakuan' Jenderal Gatot membuat merah muka orang-orang yang keras kepada Islam.

Ketika media-media mainstream pro-Ahok mengecam aksi 411 dan 212, serta petinggi-petinggi partai pro pemerintah kebakaran jenggot menyaksikan demo besar sepanjang sejarah itu, Gatot justru meminta semua pihak berpikiran positif.

Ketika Kapolri keras berkata bahwa yang melakukan demo adalah kelompok Radikal dan Intoleran, Gatot mengkonter panasnya situasi dengan menyatakan bahwa yang berdemo adalah Saudara-saudara setanah air yang ingin menyampaikan aspirasinya.

Ketika Presiden sudah dicekoki sekelilingnya dengan sebutan Radikalisme kepada sikap para ulama dan aktifis Islam, Gatot menyebut mereka Saudara.

Kepada para ulama yang ditemuinya kemudian, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo juga menyatakan: “Saya sebagai umat Islam tahu betul bahwasannya saudara-saudara Muslim saya yang melaksanakan demo kemarin, adalah orang-orang baik yang berangkat dari masjid-masjid untuk menyampaikan aspirasinya.”

Bagi sebagian orang, 'aksi' Gatot adalah tebar pesona menjelang 2019. Demi meraih pendukung Islam dan utamanya ulama.

Tapi siapa panglima TNI yang tidak melakukan pendekatan ke ulama? Bahkan LB Moerdhani yang Katolik pun menyadari peran strategis para kyai, meski pada akhirnya tetaplah dia Pangab yang paling berjarak dengan ulama.

Mantan Pangkostrad Prabowo Subianto juga pernah mengatakan, dirinya sangat dekat dengan para Kyai. Hampir semua Kyai besar di Indonesia pernah ia temui. Dahulu saat masih menjadi prajurit, Prabowo selalu menemui dan meminta doa kepada Kyai terlebih dahulu sebelum berangkat melakukan tugas tempur dari negara. Sekarangpun ia selalu menyempatkan menemui Kyai-kyai jika berkeliling Indonesia.

Ya sedekat itulah umumnya pimpinan TNI dan para mantan pimpinan TNI dengan para pemimpin agama Islam di negeri ini.

Yang jelas, JIKA sikap Panglima Gatot saat ini merupakan kamuflase politik, dan bagian dari kepanjangan tangan politik Presiden Jokowi untuk meraih simpati Umat Islam, maka umat Islam jauh-jauh hari sudah memiliki sikap tegas. Dunia yang terbuka, kondisi politik yang terus panas, dan peran strategis medsos, menjadikan para calon pemimpin rentan dikuliti.

Jadi sangat besar kemungkinan umat langsung 'Say Good Bye to Gatot' jika ternyata dia tak se-genuine yang dipertampakkan.

Dulu di awal menjabat, Gatot Nurmantyo disemati pengamat sebagai 'Orangnya SBY'. Sosok titipan SBY di pemerintahan Jokowi, entah dengan 'deal' apa. Karena Jokowi lebih memilih GN, padahal seharusnya adalah giliran jenderal angkatan lain yang berkuasa. GN dinilai sebagai figur yang dapat menyelamatkan karir Agus Yudhoyono di militer, ketika sang ayah sudah step down. Nyatanya analisa itu pelahan luntur.

Contoh nyata makin mengentalnya suara umat Islam dalam berpendapat dan memilih adalah kasus Ridwan Kamil. Secinta-cintanya kalangan muslim kepada RK, umat ternyata lebih mendahulukan melihat 'Apa Partai Pengusungnya' dan 'Siapakah Tokoh' di balik partai tsb. Sosok calon pemimpin yang diusung kini menjadi nomor 2. Selagi diusung partai pendukung penista agama, maka tak ada ampun. Agama jadi nomor satu, sedang sosok nomor sekian.

Contoh mudah lainnya adalah Anies Baswedan. Banyak yang tak suka Anies dan masih sakit hati karena peran besar Anies dalam mendukung Jokowi di Pilpres 2014. Tapi lara hati itu meluruh dan mau bersatu melihat pengusung Anies adalah bukan partai-partai pendukung penista agama. Jadi saat ini, NAMA PARTAI memegang peran penting dalam meraih suara mayoritas muslim, terutama di propinsi-propinsi berjumlah penduduk besar dan strategis. NAMA TOKOH adalah nomor dua. Banyak partai yang sudah ditandai sebagai kartu mati.

Akibat gagalnya roket Jokowi mengudara, rontoknya sistem hukum yang menyebabkan kurawa bisa menjadi pemimpin lembaga rakyat, menjeritnya para petani karena terus diadu dengan importir, maka peta suara telah banyak berubah.

Jika dulu 2014 pengamat LIPI Fachri Ali mengatakan: 'Dipasangkan dengan sandal jepitpun, Jokowi pasti menang!', maka bisa jadi yang terjadi 2019 adalah sebaliknya. Dipasangkan dengan jenderal pujaan rakyatpun, Jokowi akan kalah.

(Agi Betha)


Baca juga :