Hukum Mengutip Injil


Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh:
Saya mau menanyakan tentang seorang muslim yang mengutip ayat Injil, apakah itu mendekati kekufuran?
(Jamaah Masjid Nurul Fikri, Kelapa Dua, Cimanggis - Depok)



Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Bagi seorang muslim cukuplah Al Quran dan As Sunnah sebagai pedomannya, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Kitab dan yang semisalnya bersamanya, ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan yang semisalnya bersamanya.”

(HR. Abu Daud No. 4604, Ibnu Zanjawaih dalam Al Amwal No. 620, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 668, 670, Ahmad No.17174, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq terhadap Musnad Ahmad: isnadnya shahih, para perawinya adalah perawi terperaya dan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Abu ‘Aufa, dia perawi Abu Daud dan An Nasa’i, dia terpercaya. Syakh Al Albani menshahihkan dalam berbagai kitabnya.)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari maksud hadits itu:

يعني: السنة. والسنة أيضًا تنزل عليه بالوحي، كما ينزل القرآن؛ إلا أنها لا تتلى كما يتلى القرآن، وقد استدل الإمام الشافعي، رحمه الله وغيره من الأئمة على ذلك بأدلة كثيرة ليس هذا موضع ذلك.

Yakni As Sunnah. As Sunnah juga diturunkan kepadanya dengan wahyu sebagaimana Al Quran, hanya saja bedanya As Sunnah tidaklah dibacakan sebagaimana Al Quran. Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sebagian imam lainnya telah menunjukkan hal itu dengan dalil-dalil yang banyak, dan bukan tempatnya di bahas di sini.” (Imam Ibnu Katsir, Muqadimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Hal. 7)

Ya, umat ini telah diberikan Al Quran dan sesuatu sepertinya bersamanya, yakni As Sunnah, yang dengan keduanya kita tidak akan tersesat selamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما مسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan pernah tersesat: Kitabullah dan Sunah NabiNya.”

(HR. Malik dalam Al Muwatha’ No. 1594, secara mursal. Syaikh Al Albani menyatakan: hasan. Lihat Misykah Al Mashabih No. 186)

Sekarang Zamannya Al Quran

Ada sebuah kisah menarik, yang diriwayatkan oleh Imam Ad Darimi berikut ini.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ مُجَالِدٍ عَنْ عَامِرٍ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنُسْخَةٍ مِنْ التَّوْرَاةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ نُسْخَةٌ مِنْ التَّوْرَاةِ فَسَكَتَ فَجَعَلَ يَقْرَأُ وَوَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ يَتَغَيَّرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ ثَكِلَتْكَ الثَّوَاكِلُ مَا تَرَى مَا بِوَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَظَرَ عُمَرُ إِلَى وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَغَضَبِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوسَى فَاتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِي لَاتَّبَعَنِي

Mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al ‘Ala, bercerita kepada kami Ibnu Numair, dari Mujalid, dari ‘Amir, dari Jabir, bahwa Umar bin Khathab datang ke Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa lembaran bagian dari Taurat. Kemudian Umar berkata: “Wahai Rasulullah, ini merupakan lembaran dari kitab taurat.” Rasulullah terdiam, lalu Umar membacanya dan wajah Rasulullah berubah. Pada saat itu Abu Bakar mengatakan pada Umar: “Engkau menjadikan wajah Rasulullah berubah, pandanglah wajah beliau. Maka Umar melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Aku berlindung dari kemurkaan Allah dan kemurkaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aku ridha terhadap Allah sebagai Rabb, terhadap Islam sebagai agama dan terhadap Muhammad sebagai nabi.”Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Demi Dzat yang diriku berada di tangannya, sekiranya Nabi Musa tampak dihadapan kalian saat ini, kemudian kalian mengikutinya serta meninggalkan aku, maka kalian akan tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup dan mengalami masa kenabianku, niscaya dia akan mengikutiku.”

(HR. Ad Darimi dalam Sunannya No. 435, lihat juga Musnad Ash Shahabah fil Kutub At Tis’ah No. 378. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: “sanadnyha dhaif karena kedhaifan Mujalid, tetapi hadits ini hasan.” Syaikh Al Albani juga menghasankan. Lihat Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 55)

Kisah ini menegaskan bahwa zaman ini adalah zaman Al Quran. Walaupun Taurat dari Allah Ta’ala kepada NabiNya juga, yakni kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam, justru jika dia hidup pada masa kini niscaya dia akan mengikuti syariat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Al Quran.

Sekedar Mengutip, Kufurkah?

Mengutip kitab suci agama lain, -juga mengutip kisah-kisah Bani Israel yang berasal dari kitab-kitab mereka- mesti diperinci permasalahan dan konteksnya. Kita lihat ada beberapa sebab, motivasi, dan konteks seorang muslim mengutip kitab suci agama lain.

1. Untuk membenarkan, mengakui keutamaan, dan mengambil hukum-hukumnya

Jika ini yang melatarbekanginya, seseorang mengutip kitab suci agama lain dalam keadaan mengakui kebenaran dan keutamaannya, mengambil hukum darinya, apalagi sampai melandasi keimanan di atasnya, padahal dia tahu bahwa kitab tersebut tidaklah haq dari Allah Ta’ala, melainkan tulisan tangan-tangan kotor manusia lalu diklaim sebagai firman Allah oleh pengikutnya. Maka ini adalah perbuatan kufur.

Allah Ta’ala berfirman:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah (2): 79)

2. Untuk mengoreksi dan mengkritiknya

Mengutip kitab suci agama lain untuk menunjukkan kekeliruan, kontradiksi, dan kepalsuannya. Inilah yang dilakukan para kristolog dan sebagian ulama. Ini tidak mengapa, bahkan menjadi hal yang dituntut jika memang itu tujuannya. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah termasuk yang piawai dalam hal ini. Beliau menyusun kitab Jawab Ash Shahih Liman Badala Din Al Masih, dalam rangka membantah agama Nasrani. Beliau menunjukkan kekeliruan aqidah kaum Nasrani melalui teks-teks agama mereka sendiri.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi sering mengutip ucapan Yesus Kristus: “Berikan Hak Kaisar kepada Kaisar, dan berikan Hak Tuhan kepada Tuhan,” dalam beberapa kitabnya. Hal ini beliau lakukan ketika hendak membahas sikap agama Nasrani terhadap urusan politik dan negara, yaitu sekuler. Memisahkan antara Hak Kaisar (urusan negara) dengan Hak Tuhan (urusan agama).

3. Untuk Menguatkan Apa yang Sudah Ditetapkan Oleh Islam

Hal ini juga dilakukan para ulama Islam. Ada beberapa urusan yang Islam membahasnya di dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu ternyata itu juga tertera dalam Bible misalnya, maka tidak sedikit ulama Islam yang melakukannya.

Contohnya adalah Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah ketika membahas pemakluman perang (jihad) dalam kitab Fiqhus Sunnah (silahkan bukan tentang Bab Jihad). Beliau mengutip dari Bible untuk menunjukkan bahwa agama Nasrani pun mengakui peperangan. Berikut kutipan Syaikh Sayyid Sabiq:

ففي أسفار التوراة التي يتداولها اليهود، تقرير شريعة الحرب والقتال في أبشع صورة من صور التخريب والتدمير والاهلاك والسبي.

فقد جاء في سفر التثنية في الاصحاح العشرين عدد 10 ومابعده، ما يأتي نصه: " حين تقرب من مدينة لكي تحاربها استدعها إلى الصلح، فإن أجابتك إلى الصلح وفتحت لك، فكل الشعب الموجود فيها يكون لك بالتسخير، ويستعبد لك، وإن لم تسالمك، بل عملت معك حربا، فحاصرها، وإذا دفعها الرب إلهك إلى يدك، فاضرب جميع ذكورها بحد السيف، وأما النساء، والاطفال، والبهائم، وكل ما في المدينة، كل غنيمتها فتغنمها لنفسك، وتأكل غنيمة أعدائك التي أعطاك الرب إلهك، هكذا تفعل بجميع المدن البعيدة منك جدا، التي ليست من مدن هؤلاء الامم هنا، وأما مدن هؤلاء الشعوب التي يعطيك الرب إلهك نصيبا فلا تبق منها نسمة ما، بل تحرمها تحريما - الحثيين والاموريين، والكنعانيين، والفرزيين، والحويين، واليوسيين، كما أمرك

الرب إلهك ".

وفي إنجيل متى المتداول بأيدي المسيحيين، في الاصحاح العاشر عدد 24 وما بعده يقول: " لا تظنوا أني جئت لالقي سلاما على الارض، ما جئت لالقي سلاما، بل سيفا، فإنني جئت لافرق الانسان ضد أبيه والابنة ضد أمها، والكنة ضد حماتها، وأعداء الانسان أهل بيته، من أحب أبا أو أما أكثر مني، فلا يستحقني، ومن أحب ابنا أو ابنة أكثر مني، فلا يستحقني، ومن لا يأخذ صليبه ويتبعني، فلا يستحقني، ومن وجد حياته يضيعها، ومن أضاع حياته من أجلي يجدها ".

Dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 20:10 (Lembaga Al Kitab Indonesia), berbunyi sebagai berikut:

“Ketika kamu mendekati suatu kota untuk memeranginya, ajaklah kepada perjanjian. Jika menerima ajakanmu dan membukakan pintu untukmu, maka semua penduduk yang ada di kota itu harus tunduk kepadamu dan mengabdi padamu. Jika tidak menerima ajakanmu, bahkan menyatakan perang, maka kepunglah kota itu, dan jika Tuhanmu menyerahkan kota itu padamu, kejarlah (pukullah) semua penduduk prianya dengan pedang. Ada pun wanita dan anak-anak kecil, binatang serta segala isi kota lainnya, jadikanlah sebagai rampasan bagimu. Makanlah semua rampasan yang Tuhan berikan kepadamu itu. Begitulah hendaknya sikapmu terhadap kota-kota yang jauh sekali darimu yang bukan kota-kota bangsa ini.”

Sedangkan dalam kitabnya kaum Nasrani, Perjanjian Baru: Matius 10:34 (Lembaga Al Kitab Indonesia):

“Janganlah kalian mengira, bahwa aku datang membawa perdamaian! Aku datang membawa pedang. Aku datang untuk memisahkan manusia dengan bapaknya, anak dengan ibunya dan menantu dengan anak kandungnya. Musuh-musuh manusia adalah saudaranya serumah. Siapa yang mencintai putra atau putrinya melebihi kecintaan kepadaku, maka ia tidak berhak mendapat kasihku. Siapa yang tidak mengambil salib dan mengikutiku, ia tak berhak mendapat kasihku. Siapa yang menggunakan hidupnya, ia akan sia-sia. Dan siapa yang menyia-nyiakan hidupnya demi aku, dia akan mendapat kasihku.” (Lihat Fiqhus Sunnah, 2/618. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Sebelum Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah sudah banyak para ulama yang kadang mengutip ayat dari kitab suci agama lain, sebagai penguat dari apa yang sudah ada dalam Islam. Telah masyhur bahwa para mufassir pun sering memuat dalam tafsir mereka kisah-kisah Israiliyat yang merupakan kisah yang berasal dari keyakinan dan kitab suci kaum Bani Israil, untuk menguatkan topik yang mereka bahas.

4. Mengutip Untuk Membandingkan

Mengutip untuk membandingkan Al Quran lalu membuktikan bahwa Al Quran adalah Al Haq. Seperti ucapan Yesus: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Kita membandingkannya dengan ayat Al Quran:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Asy Syura: 40)

Islam mengajarkan kewibawaan dan harga diri kepada manusia, maka Allah Ta’ala berfirman: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Namun, Islam juga memberikan jalan yang lebih dan mulia, dengan firmanNya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Dengan demikian akan lahir sikap saling menghormati secara hakiki yang didasari oleh penjagaan terhadap martabat manusia.

Sedangkan ucapan: “Jika ditampar pipi kanan, maka berilah pipi kiri.” Tidaklah menunjukkan bahwa dia lemah lembut dan sabar, namun menunjukkan ketidakberdayaan. Perdamaian yang lahir adalah semu, sebab didasari kezaliman satu pihak terhadap pihak lain.

Nah, mengutip dengan tujuan seperti ini juga tidak masalah.

5. Mengutip Untuk Sekedar Diambil Hikmah

Mengutip kisah atau ayat dari kitab suci agama lain -termasuk kisah-kisah kitab Bani Israil (kisah Israiliyat)- adalah boleh, selama bukan untuk menetapkan hukum dan aqidah, tetapi sekedar untuk tahu bagaimana versi sejarah mereka, kehidupan mereka, akhlak yang baik, atau mengambil ibrah saja, selama tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam. Demikianlah yang dikatakan oleh para ulama Islam.

Dasarnya adalah dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhari No. 3461, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 29175)

Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Bab Maa Dzukira ‘An Bani Israil – Apa-apa yang Diceritakan Dari Bani Israil.

Berikut ini pandangan para ulama Islam tentang kebolehan mengutip dari kitabnya kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah berkata:

أي لا ضيق عليكم في الحديث عنهم لأنه كان تقدم منه صلى الله عليه و سلم الزجر عن الأخذ عنهم والنظر في كتبهم ثم حصل التوسع في ذلك وكأن النهي وقع قبل استقرار الأحكام الإسلامية والقواعد الدينية خشية الفتنة ثم لما زال المحذور وقع الإذن في ذلك لما في سماع الأخبار التي كانت في زمانهم من الاعتبار وقيل معنى قوله لا حرج لا تضيق صدوركم بما تسمعونه عنهم من الأعاجيب فإن ذلك وقع لهم كثيرا

Yaitu tidaklah sempit bagimu untuk menceritakan dari mereka karena telah berlalu larangan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengambil kisah dari mereka dan hati-hati terhadap kitab-kitab mereka, namun kemudian hal itu diberikan kelapangan untuk menceritakan dari mereka. Larangan itu terjadi sebelum mantapnya hukum-hukum Islam dan kaidah-kaidah agama, dan khawatir adanya fitnah. Lalu ketika hal yang demikian telah berlalu, maka diberikanlah izin untuk mendengarkan kabar-kabar yang pernah terjadi pada zaman mereka dahulu yang memiliki i’tibar (pelajaran). Dikatakan juga makna sabdanya “tidak apa-apa” adalah tidak menyempitkan dadamu jika kamu mendengarkannya dari mereka berupa keajaiban-keajaiban mereka, sebab hal itu memang banyak terjadi pada mereka. (Fathul Bari, 6/498. Darul Ma’rifah)

Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:

قال السيد جمال الدين ووجه التوفيق بين النهي عن الاشتغال بما جاء عنهم وبين الترخيص المفهوم من هذا الحديث أن المراد بالتحدث ها هنا التحدث بالقصص من الآيات العجيبة كحكاية عوج بن عنق وقتل بني إسرائيل أنفسهم في توبتهم من عبادة العجل وتفصيل القصص المذكورة في القرآن لأن في ذلك عبرة وموعظة لأولي الألباب وأن المراد بالنهي هناك النهي عن نقل أحكام كتبهم لأن جميع الشرائع والأديان منسوخة بشريعة نبينا صلى الله عليه و سلم انتهى

Berkata As Sayyid Jamaluddin dengan mengkompromikan antara larangan menyibukkan diri dengan riwayat dari mereka dan yang memberikan keringanan untuk itu, bahwa hadits ini bisa dipahami maksud dari menceritakan di sini adalah menceritakan (mengutip) kisah-kisah dari ayat-ayat yang mengagumkan seperti kisah ‘Auj bin ‘Unuq, kisah bunuh dirinya Bani Israil dalam rangka pertobatan dari peribadatan mereka terhadap Sapi (Al ‘ijl), dan rincian kisah-kisah yang juga disebutkan dalam Al Quran, karena yang demikian itu terdapat ‘ibrah (pelajaran) bagi Ulil Albab. Ada pun larangan di sini adalah larangan menukil hukum-hukum yang ada pada kitab mereka, karena semua syariat dan agama telah dihapus (mansukh) oleh syariat Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Selesai. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/360. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وقال في حديث عبد الله بن عمرو: حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج بنو إسرائيل اليهود والنصارى إذا قالوا قولا فحدث عنهم ولا حرج عليك بشرط أن لا تعلم أنه مخالف للشريعة لأن بني إسرائيل عندهم كذب يحرفون الكلم عن مواضعه ويكذبون فإذا أخبروك بخير فلا بأس أن تحدث به بشرط أن لا يكون مخالفا لما جاء في شريعة الرسول صلى الله عليه وسلم فإن كان مخالفا له فإنه لا يجوز أن يحدث إلا إذا حدث به ليبين أنه باطل فلا حرج والله أعلم .

Nabi bersabda dalam hadits Abdullah bin Amr: “Ceritakanlah dari Bani Israil, tidak apa-apa.” Bani Israil, baik Yahudi dan Nasrani, jika mereka mengatakan sebuah perkataan maka kutiplah dari mereka, tidak apa-apa atasmu, dengan syarat tidak diketahui bahwa itu bertentangan dengan syariat, karena Bani Israil memiliki kebohongan berupa merubah kata-kata dari tempatnya dan mereka berdusta. Jika mereka mengabarkan kepadamu yang baik-baik maka tidak apa-apa menceritakannya dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika bertentangan, maka tidak boleh mengutipnya, kecuali jika mengutipnya untuk menjelaskan kebatilannya, maka itu tidak apa-apa. (Syaikh Utsaimin, Syarh Riyadhush Shalihin, Hal. 1583. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan:

فمعْنَى قوله : حَدّثوا عن بني اسرائيل ولا حرَج : أي لا بَأسَ ولا إثْم عليكم أن تُحَدّثُوا عَنْهم ما سَمِعْتم

Makna sabdanya: (dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa) yaitu tidak apa-apa dan tidak berdosa atasmu menceritakan dari mereka tentang apa yang kamu dengar. (An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/928)

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi Rahimahullah mengatakan:

قوله لأمته وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج فكان ذلك عندنا والله أعلم إرادة منه أن يعلموا ما كان فيهم من العجائب التي كانت فيهم ولأن أمورهم كانت الأنبياء تسوسها كما

Sabdanya kepada umatnya: dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa, menurut kami maknanya adalah –wallahu a’lam- hendaknya mereka mengetahui apa yang terjadi pada mereka (Bani Israil), berupa keistimewaan-keistimewaan yang ada pada mereka karena mereka dahulu pernah dibimbing para nabi. (Bayan Musykil Al Atsar, 1/73)

Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:

يعني: أن يتحدث بأحاديثهم والأشياء التي تؤثر عنهم وتنقل عنهم، وأن مثل ذلك لا بأس به، لكن هذا كما هو معلوم إذا كان في أمور ليس فيها باطل؛ لأن الحديث بالباطل ونشر الباطل لا يجوز

Yakni menceritakan dengan perkataan-perkataan mereka dan segala hal yang di-atsarkan dari mereka dan mengutip dari mereka, sesungguhnya yang seperti itu tidak apa-apa, tetapi sebagaimana diketahui hal itu jika dalam perkara yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya. Sebab perkataan dengan kebatilan dan menyebarkan kebatilan tidak diperbolehkan. (Syarh Sunan Abi Daud, 19/306)

Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فالمعنى واحد وهو: أنه يجوز للمسلم أن ينقل كلامهم وأخبارهم الموجودة في كتبهم دون تقيد بالبحث عن صحة الإسناد، بل تحكى أخبارهم كما هي للعبرة والاتعاظ، إلا ما علم أنه كذب.

Maknanya adalah satu, yaitu boleh saja bagi seorang muslim menukil perkataan mereka (ahli kitab) dan kabar tentang mereka yang terdapat dalam kitab-kitab mereka tanpa terikat dengan upaya pencarian kebenaran sanadnya, bahkan menceritakan berita-berita mereka menjadikannya sebagaimana halnya sebagai ibrah dan mau’izhah, kecuali jika diketahui bahwa berita itu adalah dusta. (Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, Fatwa No. 9067)

Beliau juga mengatakan:

فما رود إلينا من أخبار أهل الكتاب يقسمه العلماء إلى ثلاثة أقسام:-

الأول : ما يوافق القرآن فهذا نصدقه ونحدث به.

الثاني : ما يكذبه القرآن فهذا يجب علينا تكذيبه.

الثالث : أخبار لم يكذبها القرآن ولم يصدقها، فهذه نحدث بها على جهة الاستئناس بها، مع عدم تصديقها أو تكذيبها. بل نقول: آمنا بالذي أنزل إلينا وأنزل إليكم.

ويدل على هذا قول النبي صلى الله عليه وسلم "وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج" رواه البخاري وغيره.

والله أعلم.


Apa saja yang sampai kepada kita berupa kisah dan berita yang berasal dari Ahli kitab, para ulama membaginya menjadi tiga bagian:

Pertama, yang sesuai dengan Al Quran maka ini kita membenarkannya dan berbicara dengannya pula.

Kedua, yang diingkari oleh Al Quran maka kita wajib mengingkarinya juga.

Ketiga, kabar yang tidak diingkari Al Quran dan tidak pula dibenarkannya. Maka, kita membicarakannya dengan welcome, sembari tidak membenarkannya dan tidak pula mendustakannya. Bahkan kita katakan: “Kami beriman wahyu dengan yang diturunkan kepada kami dan kalian.”

Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ceritakanlah oleh kalian dari bani Israil, tidak apa-apa.” Riwayat Bukhari dan lainnya. Wallahu A’lam. (Ibid, Fatwa No. 16467)

Dan masih banyak perkataan ulama lainnya yang serupa dengan ini.

Maka, tidak mengapa mengutip dari mereka berupa kisah-kisah dari sejarah mereka (Ahli Kitab), baik yang tertera dalam buku sejarah atau kitab suci mereka, selama ditujukan untuk mengambil pelajaran saja. Bukan untuk hukum dan aqidah. Oleh karena itu, untuk menilai kasus yang dialami oleh salah satu politis partai Islam yang telah mengutip ayat Injil, maka timbanglah dengan berbagai konteks yang telah saya sebutkan dan nasihat para ulama. Beliau termasuk dengan motivasi dan tujuan yang mana? Demikianlah yang ditempuh oleh ahli ilmu dan hikmah, tidak serampangan dan asal bunyi.

Dengan demikian, tidak dibenarkan seorang muslim melempar tuduhan yang serampangan dan tanpa ilmu kepada saudaranya, lalu membuat tulisan di situs, website, dan lain-lain untuk menghancurkan kehormatannya, di atas hujjah yang rapuh. Dengan membahasnya dengan sesuatu yang bukan menjadi haknya, dengan tuduhan yang bukan menjadi haknya pula. Jika belum jelas perkaranya, maka tanyakanlah kepada yang mengucapkannya, apa maksud dibalik ucapannya. Apalagi ternyata, jika itu hanyalah pemberitaan yang tidak lengkap dari situs berita online di internet. Jika berita yang datangnya dari satu orang fasiq saja harus ditabayyun, apalagi jika berita datangnya dari sumber kefasikan seperti TV dan internet?

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan



*)sumber: http://www.islamedia.web.id/2011/04/hukum-mengutip-injil.html

*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :