MANA YANG UTAMA SHALAT WITIR DUA SALAM ATAU SATU SALAM?

๐— ๐—”๐—ก๐—” ๐—ฌ๐—”๐—ก๐—š ๐—จ๐—ง๐—”๐— ๐—” ๐—ฆ๐—›๐—”๐—Ÿ๐—”๐—ง ๐—ช๐—œ๐—ง๐—œ๐—ฅ ๐——๐—จ๐—” ๐—ฆ๐—”๐—Ÿ๐—”๐—  ๐—”๐—ง๐—”๐—จ ๐—ฆ๐—”๐—ง๐—จ ๐—ฆ๐—”๐—Ÿ๐—”๐— ?

Kiyai, di kampung saya shalat witir dikerjakan dengan dua rakaat salam lalu satu rakaat lagi salam. Apakah boleh shalat witir seperti itu?

๐—๐—ฎ๐˜„๐—ฎ๐—ฏ๐—ฎ๐—ป

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

Shalat Witir disepakati pensyariatannya dan hukumnya sunnah muakkadah menurut pendapat mayoritas ulama.[1] Dan mengenai tata caranya yang dikerjakan dengan tiga rakaat dua salam seperti yang ditanyakan itu bukan hanya boleh, tapi justru itu yang lebih afdhal dari yang dikerjakan dengan hanya satu salam.

Meskipun boleh saja witir itu dengan tiga raka’at satu salam, lima raka’at satu salam bahkan ada hadits Nabi yang menyebutkan beliau pernah shalat witir hingga 9 raka’at dengan satu salam.[2] Itu semua dibolehkan temasuk dengan mengerjakan witir hanya satu raka’at juga boleh dalam pandangan mayoritas ulama.[3]

๐—ช๐—ถ๐˜๐—ถ๐—ฟ ๐˜€๐—ฎ๐˜๐˜‚ ๐—ฟ๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ’๐—ฎ๐˜

Kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa paling sedikitnya shalat witir adalah satu raka’at.[4] Dalilnya adalah :

ุตَู„َุงุฉُ ุงู„ู„َّูŠْู„ِ ู…َุซْู†َู‰ ู…َุซْู†َู‰ ูَุฅِุฐَุง ุฎَุดِูŠَ ุฃَุญَุฏُูƒُู…ْ ุงู„ุตُّุจْุญَ ุตَู„َّู‰ ุฑَูƒْุนَุฉً ูˆَุงุญِุฏَุฉً

"Shalat malam dikerjakan dua rakaat, dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir subuh tiba, shalatlah satu rakaat sebagai witir.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

‌ุฏู„ูŠู„ ‌ุนู„ู‰ ‌ุฃู† ‌ุฃู‚ู„ ‌ุงู„ูˆุชุฑ ‌ุฑูƒุนุฉ ูˆุฃู† ุงู„ุฑูƒุนุฉ ุงู„ูุฑุฏุฉ ุตู„ุงุฉ ุตุญูŠุญุฉ ูˆู‡ูˆ ู…ุฐู‡ุจู†ุง ูˆู…ุฐู‡ุจ ุงู„ุฌู…ู‡ูˆุฑ

 "Hadits tersebut merupakan dalil bahwa shalat witir yang dikerjakan satu rakaat saja hukumnya sah, ini adalah pendapat madzhab kami dan juga yang menjadi pendapat dari mayoritas ulama'.”[5]
 
๐—ช๐—ถ๐˜๐—ถ๐—ฟ ๐˜๐—ถ๐—ด๐—ฎ ๐—ฟ๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ’๐—ฎ๐˜

Witir dengan jumlah tiga raka’at adalah shalat witir yang disebut oleh Syafi’iyyah dan Hanabilah dengan istilag adna al kamal (yang paling rendah dari kesempurnaan). Artinya, mengerjakan witir itu sudah tingkatan sempurna meski berada di tingkat bawah karena shalat ini boleh dikerjakan dalam raka’at yang lebih banyak lagi.

Dan untuk witir tiga rakaat ini, ada riwayat yang menyebutkan Nabi ๏ทบ pernah mengerjakan dengan dua salam dan juga pernah dengan satu salam.

a. Dengan satu salam

ูƒَุงู†َ ุฑَุณُูˆْู„ُ ุงู„ู„ู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูŠُูˆْุชِุฑُ ุจِุซَู„ุงَุซٍ ู„ุงَ ูŠَูْุตِู„ُ ุจَูŠْู†َู‡ُู†َّ.

Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata: Adalah Rasulullah ๏ทบ berwitir tiga rakaat, baginda tidak memisahkan antara rakaat-rakaat tersebut”. (HR. Ahmad)

b. Dengan dua salam

ุฃَุฎْุจَุฑَู†ِูŠ ุณَุงู„ِู…ُ ุจْู†ُ ุนَุจْุฏِ ุงู„ู„َّู‡ِ ุจْู†ِ ุนُู…َุฑَ ، ุนَู†ِ ุงุจْู†ِ ุนُู…َุฑَ : ุฃَู†َّู‡ُ ูƒَุงู†َ ูŠَูْุตِู„ُ ุจَูŠْู†َ ุดَูْุนِู‡ِ ูˆَูˆِุชْุฑِู‡ِ ุจِุชَุณْู„ِูŠู…َุฉٍ ، ูˆَุฃَุฎْุจَุฑَ ุงุจْู†ُ ุนُู…َุฑَ ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู†ْู‡ُู…َุง ، ุฃَู†َّ ุงู„ู†َّุจِูŠَّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูƒَุงู†َ ูŠَูْุนَู„ُ ุฐَู„ِูƒَ

“Telah menceritakan kepadaku Salim bin Ibnu Umar : Sesungguhnya Ayahnya memisahkan antara rakaat yang genap dengan rakaat yang ganjil dengan salam, dan Ibnu Umar mengabarkan : ‘ Sesungguhnya Nabi ๏ทบ juga melakukan seperti itu (yaitu) memisahkannya  dengan satu salam." (HR. Thabrani)[6]

๐—ช๐—ถ๐˜๐—ถ๐—ฟ ๐Ÿฑ ๐—ฟ๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ’๐—ฎ๐˜

ุนَู†ْ ุนَุงุฆِุดَุฉَ : ุฃَู†َّ ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูƒَุงู†َ ูŠُุตَู„ِّูŠ ู…ِู†ْ ุงู„ู„َّูŠْู„ِ ุซَู„َุงุซَ ุนَุดْุฑَุฉَ ุฑَูƒْุนَุฉً ูŠُูˆุชِุฑُ ุจِุฎَู…ْุณٍ ู„َุง ูŠَุฌْู„ِุณُ ุฅِู„َّุง ูِูŠ ุงู„ْุฎَุงู…ِุณَุฉِ ูَูŠُุณَู„ِّู…ُ
 
Dari Aisyah : "Bahwa Rasulullah ๏ทบ melaksanakan shalat malam sebanyak tiga belas raka’at dan berwitir lima raka’at. Beliau tidak duduk (membaca tasyahud) kecuali pada raka’at yang kelima, lalu salam." (HR. Ahmad)

๐—ช๐—ถ๐˜๐—ถ๐—ฟ ๐Ÿณ ๐—ฟ๐—ฎ๐—ธ๐—ฎ’๐—ฎ๐˜

ุนَู†ْ ุฃُู…ِّ ุณَู„َู…َุฉَ: ูƒَุงู†َ ุฑَุณُูˆู„ُ ุงู„ู„َّู‡ِ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูŠُูˆุชِุฑُ ุจِุฎَู…ْุณٍ ูˆَุจِุณَุจْุนٍ ู„ุงَ ูŠَูْุตِู„ُ ุจَูŠْู†َู‡َุง ุจِุณَู„ุงَู…ٍ ูˆَู„ุงَ ุจِูƒَู„ุงَู…ٍ

Dari Ummu Salamah : “Rasulullah ๏ทบ shalat witir dengan lima dan tujuh rakaat yang tidak dipisah dengan salam atau bicara". (HR. Nasai)

Dan demikian juga ada riwayat beliau shalallahu’alaihi wassalam shalat witir dengan 9 raka’at[7], 11 rakaat[8], dan 13 raka’at.[9]

๐—™๐—ฎ๐˜€๐—ต๐—ฎ๐—น ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—ช๐—ฎ๐˜€๐—ต๐—ฎ๐—น

Dan pelaksanaan witir dengan tiga, lima, tujuh, sembilan rakaat dan seterusnya ini terbagi menjadi dua, yakni yang disebut Fashl dan Washl.

Fashal artinya witir yang dikerjakan dengan dikerjakan secara terpisah-pisah oleh salam. Jika tiga raka’at berarti dua rakaat salam, lalu ditambah satu rakaat lagi. Jika lima raka’at, dua raka’at salam, lalu dua raka’at salam lagi dan ditutup dengan satu raka’at, demikian seterusnya.

Sedangkan Washal, artinya shalat witir dikerjakan dengan cara bersambung, tiga raka’at shalat ditutup hanya dengan satu salam, lima raka’at satu salam, demikian seterusnya.

๐‘ด๐’‚๐’๐’‚๐’Œ๐’‚๐’‰ ๐’š๐’‚๐’๐’ˆ ๐’‚๐’‡๐’…๐’‰๐’‚๐’ ๐’‚๐’๐’•๐’‚๐’“๐’‚ ๐’˜๐’Š๐’•๐’Š๐’“ ๐’…๐’†๐’๐’ˆ๐’‚๐’ ๐‘ญ๐’‚๐’”๐’‰๐’‚๐’ ๐’‚๐’•๐’‚๐’– ๐‘พ๐’‚๐’”๐’‰๐’‚๐’ ?

Menurut mayoritas ulama, yang afdhal dalam mengerjakan witir adalah dengan cara Fashal alias salam di setiap dua raka’atnya, lalu ditutup satu raka’at. Disebutkan dalam al Mausu’ah :

ูˆู‚ุงู„ูˆุง: ุฅู† ุงู„ูุตู„ ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ูˆุตู„، ู„ุฒูŠุงุฏุชู‡ ุนู„ูŠู‡ ุงู„ุณู„ุงู… ูˆุบูŠุฑู‡.

“Dan mereka mengatakan : Sesungguhnya Fashal lebih afdhal dari Washal. Karena di dalamnya ada tambahan salam dan selainnya.”[10]

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

ูˆุฃู† ุงู„ุตุญูŠุญ ุนู†ุฏู†ุง ุฃู† ‌ุงู„ูุตู„ ‌ุฃูุถู„ ูˆู‡ูˆ ู‚ูˆู„ ุงุจู† ุนู…ุฑ ูˆู…ุนุงุฐ ุงู„ู‚ุงุฑุฆ ูˆุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ุนูŠุงุด ุงุจู† ุงุจูŠ ุฑุจูŠุนุฉ ูˆู…ุงู„ูƒ ูˆุงุญู…ุฏ ูˆุงุณุญู‚ ูˆุฃุจูŠ ุซูˆุฑ ูˆู‚ุงู„ ุงู„ุฃูˆุฒุงุนูŠ

“Dan sesungguhnya yang shahih di sisi kami (Syafi’iyyah) bahwa yang afdhal adalah (witir) dengan cara fashal. Dan ini juga adalah pendapat Ibnu Umar, Mu’adz al Qari, Abdullah bin Ayyasy, imam Malik, imam Ahmad, imam Ishaq, Abu Tsauri dan juga Auza’i.”[11]

Berkata al Qahthani al Hanbali rahimahullah :

ู‚ุงู„ ุดูŠุฎ ุงู„ุฅุณู„ุงู… ูŠุฎูŠุฑ ุจูŠู† ูุตู„ู‡ ูˆูˆุตู„ู‡ ูˆุตุญุญ ุฃู† ูƒู„ูŠู‡ู…ุง ุฌุงุฆุฒ... ู„ูƒู† ‌ุงู„ูุตู„ ุฃูุถู„ ู…ู† ุงู„ูˆุตู„

“Dan telah berkata Syaikhul Islam : dan boleh dipilih antara mengerjakan (witir) secara fashl atau Washal dan yang shahih kedua cara ini dibolehkan... Akan tetapi mengerjakan  secara Fashal (dengan terpisah-pisah oleh salam) lebih utama dari washal (dengan satu salam).”[12]

Dalil bahwa melakukan Fashal dalam witir lebih afdhal dari Washal adalah hadits-hadits berikut ini :

1. Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata :

ุฃู†َّ ุฑุณูˆู„َ ุงู„ู„ู‡ِ ุตู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„َّู… ูƒุงู† ูŠูุตِู„ُ ุจูŠู†َ ุงู„ุดَّูุนِ ูˆุงู„ูˆِุชْุฑِ

"Rasulullah ๏ทบ shalat dengan memisahkan antara raka'at yang genap dan yang ganjil." (HR. Ibnu Hibban)

2. Dari ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

ุงู„ْุนِุดَุงุกِ ูˆَู‡ِูŠَ ุงู„َّุชِูŠ ูŠَุฏْุนُูˆ ุงู„ู†َّุงุณُ ุงู„ْุนَุชَู…َุฉَ ุฅِู„َู‰ ุงู„ْูَุฌْุฑِ ุฅِุญْุฏَู‰ ุนَุดْุฑَุฉَ ุฑَูƒْุนَุฉً ูŠُุณَู„ِّู…ُ ุจَูŠْู†َ ูƒُู„ِّ ุฑَูƒْุนَุชَูŠْู†ِ ูˆَูŠُูˆุชِุฑُ ุจِูˆَุงุญِุฏَุฉٍ ุฃุฎุฑุฌู‡ ู…ุณู„ู….

Dahulu, Rasulullah ๏ทบ shalat antara setelah selesai shalat Isya`, yaitu yang disebut oleh orang-orang dengan – al-‘atamah – sampai fajar sebelas rakaat dengan salam setiap dua raka’at dan berwitir satu raka’at.” (HR Muslim)

3. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anha, ia berkata :

ุตَู„َุงุฉُ ุงู„ู„َّูŠْู„ِ ู…َุซْู†َู‰ ู…َุซْู†َู‰

“ Shalat malam dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk melengkapi pengetahuan tentang shalat witir ini, bisa dibaca tulisan kami sebelumnya : Shalat Witir, hukum dan keutamaannya. 

๐Ÿ“œDemikian, wallahu a’lam.
___
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/291), Fiqh al Islami wa Adilaltuhu (2/1009)
[2] HR. Muslim dalam Kitab Shalatul Musafirin Wa Qashriha no. 1233.
[3] Al Mughni li Ibn Qudamah (2/150)
[4] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/294)
[5] Syarah Shahih Muslim (6/19)
[6] Ibnu Hajar dalam Fath al Bari (2/482) mengatakan bahwa Isnad hadits ini kuat.
[7] HR. Abu Dawud No.1145
[8] Dalam musnad imam Ahmad no. 23901
[9] HR. Muzaniy dlm Kitab As Sunan Al Ma'tsurah Riwayah Al Muzani, no. 53.
[10] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/295)
[11] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (4/24)
[12] Al Ihkam Syarh Ushul Ahkam (1/292)

Baca juga :