Koalisi BUKAN Kooptasi

Oleh: Saldi Isra*
Banyak kalangan berpendapat, pembentukan Pansus merupakan batu ujian untuk menilai kesetiaan parpol terhadap hati nurani, terutama sebagai wakil rakyat. Khusus parpol dalam koalisi, pembentukan Pansus jadi batu ujian ganda antara kesetiaan terhadap hati nurani dan kesetiaan menjaga bangunan koalisi.

Dari perspektif apa pun, kekuatan-kekuatan politik harusnya menempatkan kepentingan yang lebih luas sebagai bagian pelaksanaan tugas-tugas konstitusional yang diamanatkan UUD 1945. Dalam konteks itu, menutup fakta-fakta yang terungkap dengan tujuan menjaga keutuhan bangunan koalisi dapat dikatakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat.

Sulit dibantah, pilihan politik mengutamakan menjaga bangunan koalisi akan memberikan dampak sistemik terhadap keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Selain membunuh harapan sebagian besar masyarakat untuk membongkar skandal sampai ke akar-akarnya, pilihan politik menjaga keutuhan koalisi dengan mengabaikan aspirasi yang berkembang berpotensi memperpanjang krisis kepercayaan kepada DPR.

Tidak hanya itu, ”menggadaikan” fungsi dan hak konstitusional dengan tujuan menjaga keutuhan koalisi dapat dinilai sebagai bentuk pengkhianatan atas UUD 1945. Padahal, saat dilantik, anggota DPR berjanji mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.

Koalisi presidensial

Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit. Namun, itu tak terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Bahkan, Scott Mainwaring (1993) menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.

Namun, yang sering dilupakan, dalam sistem pemerintahan presidensial posisi legislatif tak dapat begitu saja tertakluk kepada eksekutif. Bahkan, sekalipun berasal dari parpol pendukung presiden, parpol di DPR tetap punya posisi politik yang berbeda dengan presiden. Karena itu, sulit dipahami jika sebagian kekuatan politik di DPR memosisikan diri sebagai pasukan berani mati pihak eksekutif.

Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C Edwards III dan Stephen J Wayne dalam Presidential Leadership: Politics and Policy Making (2002) menyatakan, dalam bangunan sistem pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu saja membenarkan semua tindakan pemerintah.

Jika semua tindakan yang dilakukan pemerintah dibenarkan, parpol di DPR sedang menggadaikan posisi sebagai pemegang kekuasaan legislatif terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam sistem parlementer sekalipun, tak semua kebijakan pemerintah dibenarkan oleh parpol pendukung eksekutif. Oleh karena itu, bangunan koalisi hanya dapat dibenarkan sepanjang tak menghancurkan fungsi pokok masing-masing lembaga.

Sekalipun ada yang menggadaikan idealisme lembaga legislatif, sebagian partai politik masih tetap berpendirian, jadi bagian koalisi bukan segala-galanya. Bagi mereka, menjadi bagian koalisi bukan masalah periuk nasi.


*Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

*sumber: KOMPAS cetak (Judul "Koalisi (Bukan) Periuk Nasi", edisi 25/2/10, ringkasan)
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Baca juga :