ANTARA TOM DAN BUDI
Menurut UU Tipikor, korupsi adalah tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara atau pejabat publik untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari hasil penyidikan JPU dan keterangan saksi, tidak terbukti Tom Lembong mendapatkan keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula yang dia keluarkan tahun 2015 lalu.
Apakah kebijakan Tom telah memperkaya orang lain atau korporasi?
Harusnya iya. Setiap kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut bisnis, harusnya bisa memperkaya rakyatnya, termasuk korporasi. Mana ada orang berbisnis mau rugi. Tapi masalahnya, apakah kebijakan itu merugikan negara? Negara di sini tidak hanya pemerintah, tapi juga masyarakat umum.
Di sinilah absurd-nya kasus Tom ini. Terbukti tidak ada kerugian negara secara langsung. Negara saat itu juga memang butuh tambahan stok gula nasional untuk menjaga stabilitas harga.
Yang disebut kerugian dalam kasus ini hanya potensi. Potensi keuntungan PT PPI sebagai BUMN yang hilang karena hak impor gula dialihkan ke perusahaan-perusahaan lain.
Masalahnya, yang namanya potensi bukan sesuatu yang pasti. Bisa saja setelah dipegang PT PPI malah rugi atau distribusinya berantakan, atau malah bermasalah, yang akhirnya justru merugikan masyarakat. Lagipula, saat itu memang darurat. Negara butuh tambahan stok gula segera. Dan PT PPI tidak sanggup menyediakan dalam waktu cepat.
Setelah impor dilakukan, harga gula bisa dikendalikan. Secara logika, jika harga yang beredar di pasaran masih normal, keuntungan pengusaha mestinya masih wajar, masyarakat pun tidak dirugikan.
Tom tidak begitu saja membuat keputusan sendiri. Dia pasti berkonsultasi dengan atasannya dan kementerian lain yang terkait, dan kemungkinan besar semua menyetujui. Barulah jadi kebijakan.
Tetap saja dia dihukum. Walaupun keputusan tersebut merusak akal sehat.
Sekarang bandingkan dengan kasus Budi dalam kasus judi online.
Kasus judol ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya merugikan negara secara finansial, tapi juga merusak mental masyarakat.
Setiap hari ratusan triliun rupiah lari ke kantong pemilik judol yang sebagian besar berada di luar negeri. Akibatnya, peredaran uang di masyarat berkurang, daya beli menurun. Pertumbuhan ekonomi melambat.
Efeknya masih terasa sampai sekarang dan mungkin beberapa bulan ke depan.
Jauh lebih buruk dari sekedar potensi kehilangan laba salah satu BUMN.
B*ngsatnya, beberapa pejabat Kominfo justru terciduk sebagai fasilisator maraknya situs-situs judol di tanah air. Mereka menerima fee dari peredaran uang hasil judi onlide di tanah air.
Ba*gsatnya lagi, beberapa pelaku menyebut dalam sidang bahwa sebagian fee itu mengalir ke kantong atasannya.
Dan ini yang paling bang*at, keterangan para terdakwa itu tidak ditindak lanjuti sama sekali. Kesaksian mereka dianggap hanya fitnah tanpa perlu dilakukan penyelidikan apalagi penyidikan. Di negara yang beradab, jangankan namanya disebut dalam sidang, begitu banyak anak buahnya terciduk saja, menterinya pasti langsung mundur.
Ini masih petantang petenteng tidak tahu malu. Malah jadi menteri di pos lain.
Apa harus menunggu 10 tahun lagi, atau menunggu si menteri pindah haluan jadi lawan politik penguasa, baru kasusnya diproses?
Tidak usah heran ya negara kita begitu-begitu saja. Orang baik dan jujur dipenjara, dipersulit urusannya, sedangkan yang bjgn justru dijadikan pejabat negara. Jangankan mengejar RRC, untuk menyaingi Vietnam saja kita keteteran hampir di segala bidang, kecuali sepakbola. Itu pun harus dengan membajak pemain luar.
(WENDRA SETIAWAN)