Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Boy Thohir mundur dari GOTO, fokus ke bisnis keluarga.
Kabar itu ramai akhir pekan lalu. Saya dikirimi sejumlah tautan beritanya. Reaksi pertama saya justru balik bertanya: Lho, bukannya GOTO adalah bisnis keluarga?
Karena bagi saya, GOTO adalah bisnis keluarga Thohir, maka saya pikir kakak Menteri BUMN Erick Thohir itu justru akan semakin fokus di GOTO—dengan cara dan manuver yang lain. Apalagi saya dengar bakal ada aksi korporasi Grab akuisisi GOTO, yang sebenarnya saya tidak peduli-peduli amat.
Faktanya adalah Boy Thohir cuma mundur sebagai komisaris, tapi tetap sebagai pemegang saham GOTO (1,05 miliar lembar / 0,10%) yang berhak menerima laba dan dividen, serta hak suara dalam rapat pemegang saham.
Artinya, Boy Thohir memiliki kepentingan ekonomi pribadi terhadap GOTO. Manfaat dari dividen memang tidak ada, karena sampai kuartal I 2025 ini GOTO masih rugi, dengan akumulasi kerugian mencapai Rp214,4 triliun. Tapi kenaikan nilai sahamnya ada: dari perolehan Rp1/lembar (sesuai harga nominal) menjadi Rp82 (penutupan Jumat, 2/5/2025).
GOTO rugi sejak didirikan sampai sekarang, dan—menurut prospektusnya sendiri—tidak menjamin profitabilitas di masa depan.
Tapi, mengapa BUMN Telkomsel (anak perusahaan Telkom Indonesia) pada 2021 mau membeli saham GOTO senilai total Rp6,4 triliun (sekira US$450 juta) untuk kepemilikan tak sampai 3%, dengan rata-rata harga perolehan Rp270/lembar?
Dengan demikian, investasi Telkomsel di GOTO sebenarnya sudah anjlok hampir 70% (dari Rp270 ke Rp82)—setara kira-kira Rp4,4 triliun!
Maka di mana-mana saya bilang, termasuk pada kesempatan Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Komisi VI DPR pada 2022, dugaan kuatnya adalah karena adanya faktor hubungan keluarga antara Menteri BUMN Erick Thohir dan kakak kandungnya sendiri sebagai pemilik GOTO.
Di situlah terjadi potensi konflik kepentingan karena afiliasi kekeluargaan, yang menyebabkan keputusan yang diambil tidak lagi semata-mata pertimbangan kewajaran dan kepatutan bisnis. Makanya saya meminta supaya baik DPR maupun penegak hukum memeriksa pihak-pihak dalam transaksi Telkomsel-GOTO itu.
Namun kenyataannya, sampai hari ini suara-suara desakan untuk mengungkap skandal itu bak menampar angin.
Mungkin nilai Rp6,4 triliun dianggap remeh oleh BUMN Telkom, yang pada 2024 labanya Rp23 triliun—Telkomsel sendiri pada 2024 menyumbang laba bersih Rp11 triliun—sehingga mendesak pengungkapan skandal itu sama seperti orang yang berteriak kehilangan helm di tengah kampung yang isinya maling motor semua.
Nuansa bisnis keluarga sangat kental dalam kasus Telkomsel-GOTO. Dilakukan semasa pemerintahan Presiden Jokowi (keluarga Solo), dengan Menteri BUMN dan pemilik GOTO yang berasal dari keluarga Thohir...
Dengan posisi Menteri BUMN Erick Thohir yang sekaligus merangkap jabatan strategis sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara, sangat terbuka kemungkinan keluarga-keluarga terdahulu berkolaborasi dengan keluarga Kertanegara yang berkuasa saat ini—termasuk untuk melindungi kasus GOTO.
Bahkan sangat terbuka kemungkinan kelak Danantara menjadi salah satu bagian dari opsi skema penyelamatan GOTO jika situasi memburuk di kemudian hari—misalnya bangkrut!
Artinya adalah keluarga para penguasa dan kroninya tetap untung, sementara keluarga besar BUMN dan bangsa Indonesia pada umumnya gigit jari.
Ya, begitulah makna dari pernyataan akan fokus ke bisnis keluarga.
Salam,
AEK
(fb)