Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Menanggapi tuntutan THR dari para ojol, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli berkata ia sudah bertemu pengusaha aplikasi dan "pengusaha juga katanya sudah memahami" (CNN Indonesia, 17/2/2025).
Menteri itu juga menyebut bahwa saat ini sedang disiapkan "peraturan teknis pemberian THR" (Kompas, 18/2/2025).
Pertanyaannya, apa yang dipahami pengusaha? THR macam apa yang bisa diberikan kalau status ojol hanya mitra dan bukan karyawan? Untuk apa menerbitkan peraturan teknis pemberian THR jika perusahaan aplikasi merasa tak berkewajiban membayarkannya?
Karena yang dipahami oleh perusahaan aplikasi, misalnya GOTO, tentang THR—sebagai konsekuensi dari perubahan klasifikasi mitra menjadi karyawan—adalah bahwa mereka akan menghadapi biaya tambahan besar. Bukan hanya THR, tapi juga upah minimum, tunjangan, jaminan sosial, pajak tambahan, dan potensi denda jika tidak segera menyesuaikan model bisnisnya. Semua ini disebut GOTO dalam prospektusnya sebagai sesuatu yang "akan mengubah model bisnis secara fundamental dan berpotensi mengganggu operasi serta profitabilitas".
Ini membuktikan dugaan saya: model bisnis ojol sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Keributan yang terjadi sekarang adalah manifestasinya.
Yang dibayangkan orang tentang ekonomi berbagi (sharing economy) tidak seindah kenyataan.
Seperti cara kerja mesin kapitalisme pada umumnya, piramida paling bawah adalah sekumpulan unit kecil yang mengalirkan keuntungan besar untuk segelintir orang di puncak.
Apabila disebutkan bahwa pembayaran THR bisa mengganggu "profitabilitas", kita perlu bertanya: profitabilitas macam apa?
Karena saya bisa buktikan, dalam kondisi RUGI sekalipun, GOTO tetap mengalirkan kekayaan kepada manajemen kunci (direksi dan komisaris), serta pemegang saham terbesar seperti SoftBank dan Alibaba.
Lihat angka Ini:
GOTO selalu rugi:
2021: -Rp22,4 triliun
2022: -Rp40,4 triliun
2023: -Rp90,5 triliun
Q3 2024: -Rp4,5 triliun
Tapi tetap memberikan kompensasi berbasis saham untuk manajemen kunci:
2021: Rp910 miliar
2022: Rp4,9 triliun (! Naik 5x lipat setelah IPO)
2023: Rp1,2 triliun
Q3 2024: Rp1,17 triliun
Kenapa kompensasi ini diberikan dalam bentuk saham? Dugaan saya: karena kalau dibayarkan tunai, itu akan mengganggu arus kas perusahaan. Jadi, lebih baik diberikan dalam bentuk saham yang bisa "pelan-pelan" dicairkan di pasar. Ujungnya, tetap tunai juga!
Selain itu, gaji dan imbalan untuk manajemen kunci tetap tinggi:
2021: Rp38,3 miliar
2022: Rp37,6 miliar
2023: Rp64,6 miliar
Q3 2024: Rp62,6 miliar
Setidaknya saat ini, rata-rata manajemen kunci (direksi dan komisaris) bergaji Rp350 juta/bulan!
Lalu bagaimana dengan mitra ojol yang menuntut THR? Tidak ada. Karena menurut mereka, mitra bukan karyawan.
Tak cuma itu, GOTO juga mengalokasikan CADANGAN kompensasi berbasis saham yang besar: Rp6,9 triliun (2021), Rp13,1 triliun (2022), Rp11,2 triliun (2023), Rp5,7 triliun (Q3-2024). Bisa diikatakan, selama 2022-2024 (dua tahun), hampir Rp7,4 triliun telah dikonversi menjadi saham untuk manajemen. Jika perusahaan terus rugi, pertanyaan kritisnya adalah: siapa yang menikmati nilai saham tersebut?
Dugaan saya: IPO 2022 (harga Rp338) adalah momentum "cashing out" bagi manajemen kunci dan pemegang saham mayoritas. Indikasinya adalah berkurangnya kepemilikan Softbank dan Alibaba sebagai pemegang saham mayoritas dan sebaliknya kepemilikan ritel meningkat pesat. Alibaba (Taobao China Holding Limited): 10,6% (2021) → 8,27% (Q3 2024); SoftBank (SVT GT Subco): 10,44% (2021) → 8,51% (Q3 2024); Pemerintah Singapura: 6,5% (2022) → menghilang di 2023 dan Q3 2024. Sebaliknya, kepemilikan publik meningkat drastis: 74,29% (2021) → 82,9% (Q3 2024)
Sementara itu, harga saham GOTO sudah anjlok parah dibanding harga IPO: sekarang hanya Rp82 (penutupan 17/2/2025).
Bukankah ada program saham gotong royong untuk mitra ojol? Memang ada, tapi secuil dibandingkan yang diterima manajemen dan pemegang saham mayoritas.
Fakta:
- Total saham yang diberikan ke mitra ojol: 919 juta lembar
- Total mitra yang mendapat saham: 600.000 orang
- Total nilai program: Rp298,3 miliar (Rp324/lembar)
- Rata-rata per mitra: Rp490 ribu per orang (2022)
Bandingkan dengan kompensasi saham manajemen kunci di tahun yang sama: Rp4,9 triliun. Alias 16 kali lipat lebih besar!
Apa artinya?
Menurut saya, GOTO menggunakan saham mitra sebagai alat pencitraan untuk menunjukkan "keadilan". Namun, keuntungan nyata tetap berputar di lingkaran elite manajemen dan pemegang saham besar.
Begitulah cara mainnya.
Silakan buat 'peraturan teknis', bukan hanya soal THR, tetapi juga untuk menciptakan keadilan bagi para pekerja dalam menghadapi kapitalis—sesuai dengan cita-cita Presiden Prabowo Subianto.
Hanya saja, saya pesan untuk pejabat terkait: jangan cuma ngegas di awal, tapi ujungnya masuk angin juga!
Salam.
*fb