Sati dalam catatan Ibnu Batutah
Abjore adalah kota dengan mayoritas penduduk beragama Hindu di India, meski demikian pemimpin kotanya adalah seorang muslim, demikian tulis Ibnu Batutah, dalam Rihlah Ibnu Bathutah. Ia adalah seorang penjelajah muslim yang mengelilingi dunia Islam dan singgah di India selama enam bulan.
Suatu hari terjadi perampokan di kota Abojre. Masyarakat baik muslim atau Hindu bertempur melawan rombongan perampok itu. Dalam pertempuran itu tujuh penduduk yang beragama Hindu tewas.
Dalam pandangan masyarakat Hindu India pada saat itu, sebagai wujud kesetiaan pada suami, maka istri akan melakukan ritual sati, yakni membakar diri hidup-hidup bersama jenazah sang suami. Tindakan membakar diri ini diyakini sebagai suatu darma (kebaikan) yang akan menghapus dosa-dosa suami dan keluarganya.
Sati bukanlah sebuah kewajiban, akan tetapi, bagi yang tidak melakukannya, ia akan dipandang sebagai orang yang tidak menjaga martabat keluarga.
Menjadi janda adalah sebuah kehinaan. Rambut mereka akan dicukur atau dibiarkan terurai tanpa hiasan. Tubuhnya dibalut kain kapas warna kusam dan berjalan tanpa alas kaki.
Ia dikucilkan, tidak diperkenankan mengikuti pertemuan, perayaan, pesta perjamuan, bahkan menikmati kesenangan dalam bentuk apa pun. Sebagai manusia, ia dipandang sebagai perempuan gagal.
Karena itu, banyak yang memilih jalan sati untuk menjaga kehormatan diri, suami dan keluarga, seperti tiga orang istri yang suaminya meninggal saat bertarung melawan para perampok di Abjore.
Ibnu Batutah cukup detil menuliskan kisah sati ini. Setelah pendeta Brahma memintakan ijin dilaksanakannya Sati kepada pemimpin kota, maka di rumah para janda yang hendak membakar diri itu dilaksanakan pesta.
Tiga janda tersebut dipakaikan pakaian terbagus, mereka menari dengan diiringi musik. Para kerabat, handai taulan dari penjuru kota berdatangan memberikan selamat, sambil mengucapkan sampaikan salam untuk ayah, saudar, ibu, atau teman saya (yang sudah meninggal).
Setelah tiga hari pesta, tibalah saatnya pelaksaan Sati tersebut. Tempat upacara itu, tulis Ibnu Khaldun berada disebuah tempat yang gelap, dikelilingi pepohonan dan juga memiliki banyak air.
Ada tumpukan kayu yang akan dibakar. Di samping tumpukan kayu ada 15 laki-laki yang memegang seikat kayu kecil dan disisinya ada 10 balok kayu besar.
Api dinyalakan dengan minyak, ikatan kayu kecil makin mengobarkan nyalanya. Tiga janda yang diarak menuju pembakaran sudah tiba. Busana warna-warni dilepas dan mereka hanya memakai kain katun tidak berjahit.
Mereka menolak untuk didorong ke api. "Jangan pikir aku takut akan api. Aku akan masuk sendiri," tukasnya. Di dekat api, iapun melakukan sembah kepada Agni, sebelum akhirnya melompat ke dalam api yang menyala.
Jeritan panjang terdengar, balok-balok kayu besar itu dimasukkan ke dalam api menindih tubuh yang terbakar itu hingga tidak bisa bergerak. Genderang ditabuh bertalu-talu dan terompet ditiup menghasilkan nada tinggi yang melengking.
Ibnu Batutah sangat kaget menyaksikan apa yang terjadi, hingga hampir saja ia terjatuh dari kudanya.
*Tambahan :
Dinasti Mughal, penguasa India yang beragama Islam waktu itu sudah mencoba mengurangi ritual ini dengan cara memberikan uang pensiun dan bantuan rehabilitasi untuk para janda.
Sati memang meresahkan sang Sultan, sebab dalam setiap distriknya kurang lebih ada 800 perempuan yang membakar diri atau 30.000 orang per tahun untuk seluruh India.
Barulah setelah berada di bawah kolonialisme Inggris, pada tahun 1829, praktiek Sati dilarang. Dimulai dari larangan di Provinsi Bengal dan akhirnya bisa dilarang di seluruh India 30 tahun kemudian.
(Arif Wibowo)