Di Balik Lautan Massa Jalan Gembira
Oleh : Tamsil Linrung
(Ketua Panitia Jalan Gembira Anies-Muhaimin)
Pembicaraan mengenai satu juta massa Jalan Gembira Bersama Cawapres Anies Baswedan dan Cawapres Muhaimin Iskandar menyedot atensi publik.
Peristiwa terbesar sepanjang sejarah pilpres di Sulawesi Selatan itu, menjadi tajuk utama perbincangan politik.
Perbincangan yang berkembang mengenai peristiwa fenomenal itu, bergulir secara organik.
Dari analisis big data pasca Jalan Gembira yang dilakukan oleh tim saya, amplifikasi informasi di media sosial saja (tidak termasuk portal berita), mencapai 35 juta.
Persisnya, 35.833.450 jangkauan audiens selama 6 hari.
Jika dilacak ke belakang selama 30 hari sejak sosialisasi dan persiapan pra Jalan Gembira, impresinya mencapai angka 72.249.664 di media sosial.
Sementara data jangkauan pemberitaan media online tercatat di angka 81.588.603 audiens.
Sebetulnya ada belasan rangkaian kegiatan Anies-Muhaimin selama safari politik di Sulsel.
Antara lain kunjungan ke Istana Datu Luwu di Palopo bersama rombongan Nasdem Sulsel.
Agenda di Palopo tersebut diketuai caleg Demokrat Sulsel Asri Tadda.
Anies juga hadir di apel siaga PKS, peresmian Posko Wilayah Sulsel yang difasilitasi Daeng Makmur Ante Pasau, peresmian Posko Induk Indonesia Timur yang dipimpin oleh adinda Ramli Rahim.
Pertemuan dengan Gen Perubahan di kediaman Pak Miswar, pertemuan dengan pegiat sosial media yang difasilitasi influencer yang juga Waketum PKB Sulsel adinda Rijal Djamal.
Serta diskusi di kampus UNHAS yang dimoderatori oleh Ketua Majelis Daerah KAHMI Makassar Prof. Andi Pangerang Muntha dan banyak lagi rangkaian agenda lainnya.
Undangan dalam kegiatan yang disebutkan di atas memang terbatas. Untuk konsolidasi dan sosialisasi internal.
Kendati demikian, animo masyarakat tetap saja tak terbendung. Membludak di setiap titik kehadiran Anies-Muhaimin.
Jalan gembira, saya kira satu-satunya event yang terbuka untuk publik. Bisa dihadiri oleh siapa saja.
Bukan cuma warga Sulsel dari 24 kabupaten/kota yang tumpah ruah.
Bahkan ada beberapa orang Makassar yang datang dari Jakarta serta Jonathan. Mahasiswa baru yang pernah menyatakan dengan lugas menjawab “Anies Baswedan” ketika bersama dua temannya ditanya oleh bupati Banyumas tentang siapa capres pilihannya.
Juga hadir rombongan wartawan yang melakukan peliputan, dan lain sebagainya.
Dari kunjungan di banyak tempat itu, kita tahu animo rakyat sangat tinggi.
Ketika di Palopo misalnya, mobil rombongan Anies beberapa kali harus terhenti karena histeria massa yang mencegat.
Demikian pula ketika meresmikan Posko Induk Indonesia Timur, massa tidak tertampung semua. Meluber.
Juga perkumpulan Gen Perubahan di rumah pak Miswar dihadiri dua ribuan peserta hingga meluber ke halaman rumah asri nan luas itu.
Puncaknya, seperti kita tahu, undangan terbuka Jalan Gembira betul-betul dimanfaatkan oleh mereka yang menginginkan perubahan. Semua tumpah ruah.
Lautan manusia membentang sepanjang jalan Jenderal Sudirman. Kota Makassar menorehkan sejarah.
Tiga hari pasca acara, saya berjumpa dengan jurnalis dalam sebuah forum di Jakarta.
Salah satu pertanyaan yang mencuat adalah, kenapa peristiwa monumental dan terbesar sepanjang sejarah di Sulsel itu, bisa terjadi?
Pertanyaan senada juga diajukan saat saya live di podcast Refly Harun dan Hersubeno Point.
Pertanyaan itu, saya kira mewakili rasa penasaran publik. Karenanya, pada kesempatan ini, saya coba uraikan jawabannya secara rinci.
Pertama, capres Anies adalah magnet utama. Ketokohan, reputasi, kredibilitas, rekam jejak di Jakarta, dan visinya untuk Indonesia punya daya undang yang luar biasa kuat.
Karena itu, massa selalu tumpah ruah mengikuti agenda Anies. Fenomena ini terjadi di berbagai tempat. Bukan cuma di Sulsel.
Massa tersebut tidak pernah dimobilisasi secara sturktural. Tapi terjadi karena inisiatif. Istilah anak muda sekarang, karena rasa sefrekeunsi.
Kedua, faktor Gus Muhaimin juga terlihat efektif menyuplai insentif elektoral.
Sinkron dengan temuan berbagai survei soal peningkatan elektabilitas pasangan yang disingkat AMIN ini.
Kader PKB dan juga warga nahdliyin membanjiri setiap agenda Gus Muhaimin.
Upaya untuk melakukan preference split dengan statement bahwa NU tidak mendukung capres tertentu tampaknya gagal.
Di level rakyat, imbauan seperti itu tidak efektif. Mereka memilih berdasarkan proksimiti.
Kedekatan kuktural dan irisan emosional spiritual. Ini era digital banjir informasi. Rakyat sudah cerdas memilih.
Lain halnya di era analog, imbauan pimpinan memang dominan.
Hal ini juga mengonfirmasi fenomena banyaknya kader partai Demokrat yang mendukung Anies. Bukan lagi secara diam-diam.
Tapi bahkan disampaikan secara terbuka. Termasuk hadir pada acara jalan gembira. Kabarnya, akan ada deklarasi besar terkait hal ini.
Ketiga, kekuatan partai pendukung dan relawan. Nasdem, PKS, dan PKB adalah partai yang diperhitungkan di Sulsel.
Punya basis konstituen yang konkret. Ditambah dengan unsur dari Partai Ummat, Masyumi dan komponen relawan yang mengakar. Semua bekerja secara terorganisir dan kolaboratif menyukseskan agenda Anies-Muhaimin selama di Sulsel.
Menyosialisasikan Jalan Gembira yang memang diplot sebagai puncak safari politik Anies-Muhaimin.
Keempat, dukungan tokoh dan komponen masyarakat.
Itulah keistimewaan masyarakat Sulsel yang ketika telah memantapkan pilihan, maka akan all out memberikan sokongan.
Seperti yang dilakukan Pak Makmur, Pak Miswar dan banyak tokoh masyarakat lain yang memfasilitasi aktivitas Anies-Muhaimin. Maka kita menyaksikan budaya politik partisipatif masih hidup di tengah-tengah kita.
Aparat kepolisian dari jajaran Polda Sulsel dan Polrestabes Makassar juga bertindak sigap melakukan pengamanan sehingga mencegah terjadinya hal-hal yang tidak kita harapkan.
Insiden berhasil dihindari berkat pengamanan yang disiplin. Terima kasih bapak Kapolda dan Kapolrestabes.
Selain ditrigger oleh tokoh masyarakat, budaya politik partisipatif juga disambut baik oleh rakyat.
Hal itu dapat kita saksikan di tengah keriuhan Jalan Gembira.
Para peserta yang tidak dimobilisasi itu datang dengan seragam beraneka corak dan warna.
Ada komunitas pendukung, dari parpol dan relawan yang mencetak kaosnya.
Ada juga yang secara individu membubuhi stiker yang berisi pesan bahwa ia pendukung Anies-Muhaimin.
Itulah bentuk partisipasi. Memilih meringakan beban panitia dengan inisiatif melakukan hal sederhana yang bisa memberi makna.
Para saudara-saudara kita pedagang kaki lima tak ketinggalan. Mereka merasa nyaman berjualan. Dagangan ludes.
Yang membuat saya impresif, buroncong serta aneka makanan dan minuman dijual dengan harga miring.
Mereka tidak opportunis memanfaatkan kerumunan massa dengan mengatrol harga. Tidak.
Para PKL ikut menghidupkan politik partisipatif dengan menjual jajanan di harga diskon. Luar biasa.
Saya terkesima menyaksikan rakyat menyambut agenda perubahan degan riang gembira.
Kelima, koalisi rakyat berbicara. Dibanding dua kandidat Capres lainnya, persentase dukungan parpol dan kursi DPR menempatkan Anies-Muhaimin di urutan ketiga. Koalisi Anies-Muhaimin adalah koalisi ramping.
Berhadap-hadapan dengan koalisi tambun. Tapi apakah koalisi tambun ini pasti memenangkan kontestasi? Jawabannya tidak ada garansi. Bahkan sering terjadi sebaliknya.
Koalisi Anies-Muhaimin memang ramping. Itu di tingkatan elit. Tapi ada satu kekuatan kunci yang kita lupakan dalam matematika politik Pilpres.
Anies-Muhaimin berhasil melakukan pergerakan darat yang masif. Membangun gerbong panjang.
Sukses menjaring dan mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh lokal yang mengakar. Mereka ini punya loyalis konkret di masyarakat.
Diikuti sebagai rujukan dalam memilih. Terlihat dari lautan manusia pada peristiwa 24 September.
Sementara koalisi tambun, hanya sampai di level elit. Karena setiap hari mereka terekspos oleh media.
Tampak dominan di udara dalam citra pariwara. Tapi patut dicatat, pertarungan dimenangkan di darat.
(Sumber: Tribun Timur)