Cukup sekian. Rungkad!

Merdeka itu begini…

Merdeka itu begitu…

Kami tegak lurus ke si itu!

Harga mati.

Ini Jokowinomics! (yang website-nya pun saat ini offline)

Terkini, “The Interpreter” (Lowy Institute Australia) kasih julukan baru lewat artikel “The ‘Jokowi Doctrine’: Indonesia’s vision for international order” (18/8/2023).

Doktrin itu artinya ajaran, asas tentang sesuatu yang berkaitan dengan aliran politik, keagamaan dsb. 

Sehebat itukah? 

Lalu ia menjelma bak midas dalam politik. 

Pusat semesta politik. 

Yang didukungnya otomatis moncer. 

Anak-mantunya jadi pejabat. Bahkan istrinya sempat dikabarkan jadi kandidat cawapres.

Kita mengklaim sebagai bangsa yang berketuhanan, bukan bangsa pagan. Tapi tanpa sadar pemujaan kita terhadap sesuatu acapkali berlebihan.

Kita membangun ilusi-ilusi yang menjauhkan kita dari daya kritis terhadap realita.

Banyak dari kita takut melihat kebenaran karena takut ilusi yang sudah terbangun jadi berantakan.

Kita kerap takut melihat kebenaran yang memerdekakan dan lebih memilih hidup dalam kebohongan yang rasanya seolah bikin nyaman.

Ilusi tentang kehebatan dan pemujaan yang berlebihan terhadap seorang tokoh adalah tanda kuat ada yang tidak sehat dalam suatu kelompok masyarakat. 

Itu virus yang disebarkan oleh segelintir kelompok mapan dalam kekuasaan, yang menikmati kekayaan dari sumber daya umum melalui jabatan publik, dan membungkusnya dengan penyampaian yang penuh kemunafikan demi tujuan melanggengkan kekuasaan berikut kekayaan material yang diperolehnya dari situ.

Saat ini kita mengalami surplus pembebek tapi defisit keberanian dan nalar.

Padahal soalnya sederhana: apa doktrin orang itu? Apa batu ujinya untuk menilai?

Kita butuh semakin banyak anggota masyarakat yang berani menyuarakan kuat-kuat bahwa pakaian para pembesar yang dipuja-puji oleh kelompok kemapanan sebagai bagus itu sebenarnya tak sebegitu bagusnya juga—-bahkan mungkin di beberapa sisi tak ubahnya omong-kosong!

Dalam suasana pemilu yang penuh polusi macam sekarang, rakyat perlu diingatkan bahwa basa-basi, keserakahan, dan kemunafikan adalah satu paket layanan dalam invoice kegiatan politik.

*

“The Interpreter” berlebihan. 

Apa yang dilakukan sang lurah tak layak dikategorikan sebagai doktrin—sebatas narasi kuat di medsos yang didorong buzzer, iya. 

Gagasan dan program yang dilakukan selama dua periode pemerintahannya—-unicorn, Kartu Prakerja, pembangunan IKN, hilirisasi tambang, dll—-selayaknya dipandang dari dua sisi, tak melulu merefleksikan ilusi tentang betapa hebat dan briliannya sang lurah.

Sampai hari ini tak ada pejabat yang berani mempertanggungjawabkan ke mana larinya Rp1 juta saldo nontunai peserta Prakerja yang digunakan untuk beli video pelatihan melalui mitra platfrom (Ruangguru dkk). 

Data menunjukkan peserta Prakerja tembus 17 juta orang per Februari 2023, kalikan Rp1 juta, hasilnya Rp17 triliun!

Duit itu cukup lumayan buat modal pemilu.

Mana bukti pemenuhan janji memberantas penganggurannya lewat Prakerja?

Mana itu Softbank yang dulu dibangga-banggakan pembesar sebagai investor kakap yang akan menjadi sponsor utama IKN? 

Mana pertanggungjawaban dana vaksin Covid yang total anggarannya mencapai triliunan rupiah? Apa buktinya kalau pejabat/pembesar tidak kecipratan kick back dari perusahaan obat?

Dalam banyak hal, saya setuju terhadap sudut pandang dan hitungan ekonomi Faisal Basri berkaitan dengan hilirisasi nikel. Kuat dugaan di balik semua itu, keuntungan besarnya (material maupun nonmaterialnya) teruntuk China. 

Tapi tak usah dulu ribet berdebat angka. Semakin kita besar-besarkan nilai/potensi aset nikel Indonesia semakin untung spekulan bursa komoditas untuk menjadikannya sebagai kolateral margin trading.

Saya pernah menulis tentang Xiang Guangda (bos besar Tsingshan Group, yang mendominasi investasi nikel di Indonesia saat ini) menjaminkan seluruh aset bisnis nikelnya di Indonesia demi menalangi margin call pada tahun lalu, ketika ia nyaris kalah taruhan di market senilai miliaran USD.


Tak usah bicara polusi udara dsb jika para pembesar dan konglomerat masih getol berbisnis batu bara. 

Jangan ceramahi kita betapa energi bersihnya kendaraan listrik kalau pembesar, pejabat, yang berkongsi dengan segelintir konglomerat juga yang menangguk fulus dari bisnis itu---termasuk lewat golnya kebijakan subsidi bagi pembeli kendaraan listrik.

Perusahaan yang salah satunya dimiliki Menko Marives berbisnis Electrum, berkongsi dengan perusahaan kakak Menteri BUMN, yang mendapat suntikan Rp6,4 triliun dari BUMN Telkom melalui Telkomsel. 

Itu satu contoh, selain Kepala Staf Presiden yang punya bisnis kendaraan listrik, begitu pun staf khusus presiden yang jadi komisaris produsen motor listrik.

Mana keuntungan investasi Telkomsel di saham GOTO, yang makin hari makin ambruk harganya itu, sementara secara fundamental, akumulasi rugi GOTO mencapai lebih dari Rp125,6 triliun (30 Juni 2023) itu?

Nilai saja konflik kepentingannya, tak perlu jauh-jauh bicara bisnis dan teknologi canggih. 

Jika regulator, wasit, sekaligus pemain ada di satu tangan, itulah salah satu tanda kuat keterbelakangan peradaban sebuah bangsa.

Cukup sekian. 

Rungkad!

Kita lanjut di lain waktu.

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :