Putri Cowell
By Dahlan Iskan
PUTRI ARIANI sudah pulang dari Amerika. Sudah beberapa hari lalu. Sudah kembali ke Yogyakarta.
Sepuluh hari Putri di Amerika: bikin kejutan besar. Bikin begitu banyak mata bangsa Indonesia berlinang: dia mendapat Golden Buzzer dari Simon Cowell di America's Got Talent. Berarti Putri lolos babak audisi. Dia akan ke Amerika lagi untuk persaingan yang lebih keras.
Anda pasti sudah melihat videonya di YouTube-nyi. Pasti seperti saya: berlinang bahagia. Kalau tidak berlinang berarti Anda berhati baja buatan Cilegon.
Berarti: Putri akan lebih lama di Amerika. Untuk ikut tahapan berikutnya. Apalagi kalau Putri selalu lolos di setiap tahapnya.
Putri adalah siswi SMKN Yogyakarta. Jurusan musik. Kelas XI. Dia begitu rendah hati masih mau sekolah musik seperti di SMK. Padahal dia punya bakat musik yang begitu tinggi.
Kenapa tetap sekolah musik?
"Saya harus tahu musik sampai ke soal teorinya," ujar Putri. "Ternyata musik itu ada matematikanya sendiri. Matematika musik," tambahnyi.
Putri lantas menjelaskan seperti apa matematika musik itu. Tapi saya tidak mengerti penjelasannyi. Terdengar agak rumit di telinga saya. Nilai matematika saya dulu memang hanya 3 (aljabar). Nilai pelajaran menyanyi saya juga hanya 4. Sedang Putri pandai matematika, sekaligus pandai musik. Putri di langit, saya di kubangan.
Putri masih akan terus sekolah musik. Keinginannyi begitu kuat untuk kelak bisa masuk ke The Juilliard School di New York. Itu sekolah musik terbaik di dunia. Tentu persaingan untuk masuk ke sana juga seperti masuk ke lubang jarum.
Sekolah musik itu sudah berumur 117 tahun. Mahasiswanya, yang dari Asia hanya 11 persen –itu pun didominasi Jepang dan Tiongkok. Bahkan Tiongkok sendiri sudah membuka cabang Juilliard. Di kota Tianjin.
Kampus Juilliard School New York berada di pusat kota. Di Lincoln Center, hanya satu blok dari Central Park. Atau 12 blok dari Broadway, pusat teater di New York.
Saya pun menghubungi maestro piano Indonesia: Jaya Suprana. Apakah pernah ada anak Indonesia yang sekolah di sana?
"Ada. Setahu saya, setidaknya dua orang," ujar Jaya Suprana. Mereka adalah Jahja Ling dan Nial Djuliarso. Dua-duanya asal Jakarta.
Kini Jahja Ling tinggal di Amerika. Dia menjadi musisi terkenal. Ling jadi dirigen San Diego Simfoni Orchestra. Nial jadi jazz pianist di New York.
Putri belum pernah ke New York. Bahkan baru sekali kemarin itu ke Amerika. Itu pun hanya di Los Angeles. Lebih tepatnya hanya ke Pasadena, satu distrik terkenal di Los Angeles. Tentu putri sudah sering diajak keluarga ke luar negeri tapi masih sebatas di kota-kota Asia.
Sepuluh hari di Pasadena, Putri sibuk dengan persiapan tampil di America's Got Talent. Tekad Putri untuk sukses mengalahkan rasa tidak enak badan akibat jetlag dari penerbangan antarbenua. Dia harus terbang ke Los Angeles lewat Korea. Lalu langsung berlatih.
Malam itu, sebelum tampil, Putri salat magrib bersama ayah dan ibunyi. Lalu meninggalkan hotel jalan kaki. Lokasi America's Got Talent persis di sebelah hotel tempatnyi tinggal selama 10 hari di Pasadena.
Saya menghubungi ayah Putri di waktu yang tidak tepat: pukul 14.00 waktu Belitong. Berarti pukul 00.00 waktu Pasadena. Saya tidak mau ajak sang ayah ngobrol. Cukuplah bagi saya bahwa nomor itu benar, nomor telepon sang ayah. Keesokan harinya saya hubungi lagi dari Medan. Sulit. Besoknya lagi saya hubungi dari Aceh. Berhasil. Rupanya, ketika sulit saya hubungi dari Medan itu keluarga ini sedang dalam penerbangan panjang: pulang ke Indonesia.
Saya pun bikin janji untuk bisa berkomunikasi lagi Minggu pagi. Sabtu itu acara saya begitu padat di Aceh. Dan lagi, biarlah ada waktu istirahat setelah perjalanan panjang antar benua.
Ayah Putri bernama Ismawan. Dipanggil Mawan. Kini Mawan tinggal di Yogyakarta. Punya anak tiga: perempuan semua. Putri pintar musik. Adiknyi bakat melukis. Si bungsu seorang gamers garis keras.
Ismawan memang asli Yogyakarta. Setelah lulus SMAN 7, ia kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII). Ia ambil jurusan informatika.
Istrinya bernama Reni Alfianty. Orang Riau. Melayu. Suami-istri ini bertemu di Yogyakarta. "Dia dikirim Allah ke Yogyakarta agar ketemu saya," ujar Ismawan lantas tertawa. Saya tanya apa pun jawabnya sama: "Allah yang mengirim dia untuk saya".
Saya tahu: Ismawan, istri, dan juga Putri kini harus hati-hati. Tidak boleh mudah terpancing pertanyaan. Jawaban-jawaban mereka di media bisa menjadi blunder. Bisa menggagalkan cita-cita Putri untuk meraih apa pun itu.
Putri dan orang tua kini terikat aturan dari America's Got Talent. Ketat. Itu lembaga Amerika. Tidak mengenal kompromi.
Sebagai media, Disway juga harus mengerti itu. Beri kesempatan Putri untuk fokus ke tahapan berikutnya. Sukses Putri adalah sukses Indonesia di peta dunia.
Seluruh hidup Ismawan kini diabdikan sepenuhnya untuk anak-anaknya itu. Apalagi Putri dalam keadaan tidak bisa melihat. Kedua matanyi buta. Dia lahir prematur. Hanya enam bulan di kandungan. Begitu lahir dia harus langsung masuk inkubator. Sampai 3 bulan.
Begitu bebas dari inkubator Putri dibawa ke Singapura: untuk menjalani operasi mata. "Kenapa baru dibawa ke dokter sekarang. Sudah telat," ujar dokter seperti ditirukan Putri di sebuah acara televisi jauh sebelum dia berangkat ke Pasadena.
"Kok saya dibilang telat ke dokter. Kan baru bisa keluar dari inkubator," ujar Putri lantas bercanda. "Memangnya dari dalam inkubator saya bisa ke dokter," guraunyi.
Putri memang suka bercanda. Anak ini lucu. Periang. Banyak senyum. Celetukannyi cerdas. Spontan. Bicaranyi cepat. Tegas. "Mungkin bakat terbaik saya itu jadi pelawak," guraunyi.
Putri sudah menciptakan banyak lagu. Dia sampai tidak bisa menjawab spontan sudah berapa jumlahnya. Tapi lagu yang malam itu dia tampilkan di America's Got Talent adalah lagu pertama dalam bahasa Inggris. Judulnya Anda sudah tahu: Loneliness. Kesepian.
Anda pun sudah hafal liriknya: tentang seseorang yang ditinggalkan kekasih di saat lagi cinta-cintanya yang dalam.
"Itu cerminan hati saya," ujar Putri lantas tertawa renyah.
Putri juga menciptakan lagu untuk tanah air. Judulnya: Indonesia Permata Indah Dunia. "Itu sebagai wujud betapa cinta saya pada Indonesia," katanyi.
Ismawan mengaku tidak bekerja apa pun sekarang ini kecuali untuk anak-anaknya itu. Pun istrinya.
Mawan pernah lama berbisnis: menjadi pemasok oksigen di Riau. Itu untuk meneruskan usaha mertuanya di sana. Ada perusahaan minyak Amerika, Chevron, yang perlu oksigen.
Waktu itu sang istri juga ikut pulang ke Riau. Membuka restoran khas Riau: Tapak Delapan. Masakan Melayu: pucuk labu, daun ketela, kepala ikan berkuah...
Semua itu juga ditinggalkan ke Yogyakarta. Padahal sudah berkembang ke tiga kota.
Putri lahir di sana: Bangkinang. Dekat ladang minyak Chevron. Sekolah SD pun di SD Cendana di lingkungan Chevron.
Apakah karena itu bahasa Inggris Putri begitu baik?
"Sejak mereka kecil, di rumah, kami selalu berbicara dengan anak-anak dalam bahasa Inggris," ujar Ismawan.
Mawan sudah biasa bekerja dengan perusahaan asing. Ia tahu mana yang boleh dan tidak boleh. Kontrak adalah kontrak. Ia kini terikat kontrak itu.
Bagaimana Putri bisa membaca Alquran?
"Awalnya belajar pakai Quran Braille. Belakangan lebih senang belajar dari murotal," ujar Putri.
Pun dalam membaca dan menulis. Kini Putri mengandalkan handphone. Dia bisa menggunakan HP secepat kita pada umumnya. "Menulis pakai Braille kurang praktis lagi. Boros kertas dan tulisan mudah hilang (terhapus)," kata Putri. Menyalin satu halaman tulisan tangan bisa menghabiskan tiga halaman dengan Braille.
Betapa cerdas Putri. Cita-citanyi pun begitu tinggi: meraih Grammy Award, penghargaan musik tertinggi di Amerika.
Dan sekolah musik seperti The Juilliard School of Music telah menghasilkan lebih dari 300 pemenang Grammy dan Tony Award.
"Siapa yang lebih pintar menyanyi? Papa atau mama?" tanya saya.
"Papa. Kalau mama pintar masak," jawabnyi.
"Anda lebih merasa sebagai anak Jawa atau anak Riau?"
“Saya anak Indonesia".
[Disway]