Demokrasi Duit

Demokrasi Duit

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Tahun 2013 saya sempat terpikir untuk terjun ke politik. Saya melamar ke Gerindra yang waktu itu membuka kesempatan kepada orang luar untuk jadi caleg. Prosesnya cukup adil. Saya akhirnya ditempatkan di DCS (Daftar Caleg Sementara) untuk daerah pemilihan Kalimantan Barat.

Dalam proses seleksi saya diwawancarai oleh Hasjim, adik Prabowo. Dia bertanya, "Berapa dana yang akan Anda siapkan untuk kampanye?". Saya jawab, "Untuk keluar uang 50 juta saja pun saya harus minta izin kepada istri, karena uang saya tidak banyak, dan yang ada itu adalah hak anak istri saya." 

Selesai melengkapi data dan masuk DCS saya bertanya kepada beberapa pihak soal dana kampanye ini. Salah satunya ke kawan saya yang 2 periode jadi anggota DPR. Ia menggambarkan "paket minimal" saja. Ada yang namanya "uang saksi". Caleg harus menempatkan saksi untuk menjamin suaranya tidak dicuri di tiap TPS. Para saksi itu tentu harus ada koordinatornya juga, berjenjang untuk seluruh daerah pemilihan. Untuk keperluan itu setidaknya perlu 1,5 milyar. Saya langsung kecut.

Teman saya yang tempo hari jadi pengacara Prabowo di MK bercerita soal yang sama. Dia habis 1,5 milyar, tetap tidak lolos juga. Kabarnya, yang lolos perlu menghabiskan 7 milyar. 

Untuk pilkada berapa? Saya pernah cukup dekat dengan pensiunan jenderal bintang 2 yang mau maju sebagai calon bupati di Karawang. Waktu itu kami hitung, perlu dana setidaknya 20 milyar.

Kekuatan politik kita sebenarnya digerakkan oleh orang-orang nganggur yang sering diberi label "relawan". Merekalah yang membuat pemilih memilih calon tertentu. Mereka ini harus disantuni selama masa kampanye. Makin baik kesejahteraan mereka, makin giat mereka bekerja. Artinya makin besar kesempatan untuk lolos.

Kenapa sampai perlu begitu? Karena caleg sangat banyak, pemilih tidak kenal mereka. Boro-boro kenal rekam jejak serta prestasinya. Orang yang sudah punya nama pun tetap harus melakukan kerja serupa kalau mau terpilih.

Pemilu kita sebenarnya bukan proses memilih anggota legislatif berdasarkan pertimbangan bahwa dia kelak akan bekerja untuk negara. Ini cuma kompetisi penggiringan saja. Mereka yang kuat menggiring akan menang.

Solusinya bagaimana? Rakyat harus dididik untuk melek politik dulu. Sampai mereka sanggup memberi makna hubungan antara coblosannya dengan nasibnya sendiri. Masih sangat jauh perjalanan menuju titik itu.

Kalau Anda lihat ada orang dongok jadi anggota parlemen atau kepala daerah, itu terjadi karena yang memilih mereka tak peduli soal kedongokan itu. Sebagian besar dari mereka hanya digiring untuk memilih.

15/5/2023

(fb penulis)
Baca juga :