Catatan: Agustinus Edy Kristianto
Halo, semua. Apa kabar? Selamat Idul Fitri. Maaf lahir-batin. Semoga kebaikan meliputi kita semua.
Dalam Editorialnya (Selasa, 25 April 2023) berjudul “Juragan Partai di Belakang Calon Presiden”, Koran Tempo menyatakan para oligark berdiri di belakang kandidat capres. Sebab “biaya politik yang besar di Indonesia membuat para calon akan mengemis biaya kepada para pebisnis untuk kelak ditukar dengan kemudahan berinvestasi, kebijakan yang menguntungkan mereka, atau konsesi sumber daya alam.”
Para oligark tak akan menaruh telur di satu keranjang. Karena itu “tiga nama paling populer sebagai kandidat presiden (Ganjar Pranowo/GP, Anies Baswedan/AB, dan Prabowo Subianto/PS) itu juga tak terlepas dari pengaruh oligark.”
Corak oligarki tertentu kental selama dua periode Jokowi berkuasa. “Jokowi mempelopori pemberangusan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia pula yang merancang Undang-Undang Cipta Kerja yang berpihak kepada investor dan pemodal besar yang mengancam lingkungan serta hak asasi manusia. Kebijakan-kebijakan Jokowi selama dua periode menjabat presiden tunduk dan patuh pada oligark yang menyetir partai jauh di belakang. Nawacita dan cita-cita indah tentang Indonesia yang demokratis pupus di tangannya.”
Saya—seperti selama ini saya ungkapkan dalam berbagai platform—segaris dengan cara pandang Editorial itu. Sebab itulah, saya termasuk kalangan yang skeptis dan sangat curiga terhadap jargon “keberlanjutan”. Meski menyadari realitas politik memang penuh lumpur dan nyaris mustahil ada malaikat yang 100% bersih di dalamnya, saya pikir kritik terus-menerus terhadap sedikit yang dominan menguasai (oligark) harus tetap ada demi melindungi kepentingan umum, yang jauh lebih banyak (masyarakat).
Apa selanjutnya?
***
“Kebenaran tunggal” tidak boleh ada dalam politik. Dominasi yang keterlaluan mesti ditentang. Kekuasaan harus dikontrol. Negara yang dibangun di atas “koalisi besar” berisi para elite yang bersepakat tentang bagaimana kekayaan negara ini dibagi-bagi adalah gagasan politik yang sesat. Jargon “keberlanjutan” yang di dalamnya potensial tersembunyi kepentingan ekonomi pribadi/kelompok tertentu adalah propaganda busuk yang tak patut diikuti. “Keberlanjutan” bisa diterima sepanjang ia diuji betul bahwa kepentingan bisnis oligark tertentu tidak mendistorsi kepentingan umum yang lebih besar, yang kemudian memperdalam jurang ketidakadilan.
Indonesia itu kaya. Indonesia itu seksi di tengah dunia yang diwarnai rivalitas dua kutub AS dan China. Tak hanya megaproyek IKN, sangat banyak potensi Indonesia yang jadi sasaran banyak rampok berbagai kerah. Indonesia bakal memainkan peran penting dalam rantai pasok baterai listrik dunia mengingat posisi sebagai penghasil nikel besar, salah satunya. Energi masa depan (termasuk perdagangan karbon yang nyatanya sekarang menjadi salah satu tulang punggung pendapatan Tesla), pangan, dan teknologi adalah pertaruhan bisnis yang besar, di mana kapital dan pemain besar dunia berputar di situ.
Dagangan regulasi ke depan sangat ciamik bagi oligark: pengampunan pajak jilid berikutnya, kepastian izin/konsesi sumber daya alam jangka panjang, pengurangan pajak, tawar-menawar perkara hukum, penguasaan bursa, ‘monopoli’ ekspor-impor, kebijakan valas dan surat utang negara dsb.
Oligark akan berpikir sederhana: modal sedikit, untung banyak. Ia akan berpikir seperti bunga majemuk (compound interest) agar semakin eksponensial pertambahan kekayaannya. Ia akan memperkecil risiko supaya siapa pun yang menang pemilu adalah pengabdi kepentingannya makanya perlu menaruh telur di banyak keranjang. Karena tahu politik adalah citra dan orang Indonesia mudah diperdaya dengan pencitraan murahan maka oligark akan melakukan manipulasi opini di berbagai saluran propaganda—Tiktok adalah platform terkini yang digarap khusus untuk menjaring pemilih muda.
Bagaimana oligark beroperasi?
***
Saya ingat tulisan di blog The Interpreter—yang dikelola Lowy Institute Australia—berjudul “Even If Prabowo loses, Sandiaga Uno (SU) will win in Indonesia’s election” yang terbit 16 April 2019. Kita tahu pasangan PS-SU kalah tapi bagaimana pun juga benar kata blog itu: “… he looks to be this election’s big winner.”
Kekayaan (net-worth) Sandiaga Uno naik terus (25% kenaikan pada 2022 menjadi sebesar US$2,5 juta menurut situs Worthpedia); bisnisnya aman; kasusnya tak memanjang (salah satunya isu Panama Papers) jabatan birokrasi sebagai Menparekraf pun ia sikat; ia pun sekolam lagi dengan karibnya yang Menteri BUMN itu dan ketua tim sukses pasangan lainnya—yang menguasai jaringan pemodal start up di bawah bendera Angel-eQ Network.
Main dua kaki adalah kunci!
Sandiaga Uno—yang kerap disebut dimentori oleh salah satu konglomerat pencetak orang kaya di Indonesia itu—dicitrakan lengkap sebagai kaya, ganteng, religius. Tapi pertanyaannya, apa dana US$35 juta (Rp500-an miliar) yang katanya mahar dari koceknya pribadi untuk PAN dan PKS pada pemilu lalu benar-benar ada? Apakah betul klaim bahwa ia menghabiskan US$100 juta (Rp1,4 triliunan) dari kantong pribadinya untuk membiayai kampanye—yang waktu itu ditulis oleh Bloomberg sebagai “down payment on his own presidential ambitions.”
Angka-angka itu bisa nyata, bisa juga zonk. Tapi apapun itu, selama dua periode Jokowi, ia dan gerbong bisnisnya terlihat diuntungkan—seperti dalam isu investasi Telkomsel di GOTO Rp6,4 triliun, Kartu Prakerja berbiaya triliunan rupiah, hingga emiten penambang emas bersama kakak menteri BUMN. Padahal di sisi lain, ia seharusnya bertanggung jawab atas polarisasi akibat politik identitas yang memanas hingga saat ini.
Pikirlah pakai akal sehat, apa pembelaan yang bersangkutan terhadap nasib rakyat kecil, kenaikan harga BBM, pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial-ekonomi, antikorupsi… Bahkan bank wakaf yang ia janjikan pun tak kedengaran lagi wujudnya. Jurus bangau menerkam anak ayamnya pun kontan menghilang.
Sekarang model main oligark semacam itu mau diulang lagi. Loncat partai, buat isu macam-macam agar ia tetap dibicarakan, pasang tampilan sebagai bohir yang siap menyelesaikan tagihan biaya kampanye, bermanis-religius agar tetap di hati kalangan mayoritas…
Bangunlah kita semua. Jangan macam keledai yang jatuh terus di lubang yang sama, lalu malah saling berkelahi tentang lebih dulu mana telur atau ayam.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)
*fb