KEADILAN KANJURUHAN LENYAP DI PENGADILAN ~ Vonis Bebas Penuh Kejanggalan

Vonis Bebas Tragedi Kanjuruhan Penuh Kejanggalan

Dua terdakwa tragedi Kanjuruhan dari kepolisian divonis bebas. Kejanggalan memenuhi penyidikan, penuntutan, hingga putusan.

Majelis hakim di Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas dua terdakwa tragedi Kanjuruhan, yaitu Komisaris Wahyu Setyo Pranoto dan Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi. 

Majelis hakim menilai keduanya tidak terbukti bersalah dalam tragedi Kanjuruhan yang mengakibatkan 135 orang meninggal, 96 orang luka berat, dan 484 orang luka ringan.

Majelis hakim yang diketuai Abu Ahmad Siddqi Amsya menyatakan tembakan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan seusai laga derbi antara Arema Football Club dan Persebaya bukan atas inisiatif Wahyu, yang saat itu menjabat Kepala Bagian Operasional Polres Malang. Majelis hakim melihat tak ada kelalaian Wahyu dalam peristiwa tersebut. 

Ia pun dinyatakan tidak terbukti melanggar dakwaan jaksa, yaitu Pasal 359 dan Pasal 360 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mengatur kelalaian sehingga mengakibatkan orang lain meninggal ataupun terluka. “Korban timbul hanya dikarenakan panik oleh gas air mata Brimob," kata Ahmad Siddqi, yang membacakan putusan di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis, 16 Maret 2023.

Bambang Sidik Achmadi--saat kejadian menjabat Kepala Satuan Samapta Polres Malang--juga dinyatakan tidak terbukti bersalah dalam peristiwa ini. Meski majelis hakim menyimpulkan bahwa Bambang terbukti memerintahkan anak buahnya di bagian pengendali massa untuk menembakkan gas air mata di sisi utara Stadion Kanjuruhan, dampak dari tembakan gas air mata itu tidak sampai ke tribun penonton. Alasannya, tembakan gas air mata itu sudah terbawa embusan angin ke sisi selatan stadion.

Kesimpulan majelis hakim mengacu pada kesaksian Dwi Siswanto, Manajer Rekayasa PT Pindad, dalam persidangan. Dwi menyatakan efek gas air mata akan hilang karena trauma angin dan sinar matahari. "Tak ada hubungan kausalitas antara perbuatan terdakwa yang memerintahkan penembakan gas air mata dan timbulnya korban," kata Ahmad Shidqqi.

Majelis hakim mengatakan, saat kejadian, Wahyu menghubungi Bambang melalui peranti komunikasi setelah melihat mobil barakuda yang membawa pemain Persebaya tak dapat melintas karena terhalang bangkai mobil polisi yang dirusak massa. Lalu, Bambang menaiki mobil water cannon polisi untuk membantu mobil barakuda tersebut melintas.

Bertolak Belakang dengan Dakwaan Jaksa

Kesimpulan majelis hakim ini bertolak belakang dengan dakwaan maupun tuntutan jaksa penuntut terhadap kedua terdakwa. 

Jaksa mendakwa Wahyu ikut bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Kanjuruhan. Dalam laga Arema versus Persebaya pada 1 Oktober 2022 itu, Wahyu bertugas sebagai kepala perencanaan dan pengendalian operasi pertandingan. 

Ia pun didakwa lalai karena tidak mempertimbangkan risiko yang akan timbul dari laga tersebut. 

Padahal, dalam rapat koordinasi rencana pengamanan pertandingan pada 15 September 2022, Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Malang sudah mengimbau agar anggota kepolisian yang akan mengamankan laga tidak menembakkan gas air mata di dalam stadion. 

Imbauan ini muncul karena sejak awal sudah diprediksi adanya potensi kericuhan antar-suporter.

Selanjutnya, dalam dakwaan, jaksa menyebut Bambang Sidik dan Ajun Komisaris Hasdarman–saat pertandingan menjabat Komandan Kompi III Batalion A Pelopor Brimob Polda Jawa Timur—terbukti memerintahkan anak buahnya menembakkan gas air mata di dalam stadion. 

Perintah tembakan gas air mata di dalam stadion ini dinilai sebagai bentuk kecerobohan dan ketidakhati-hatian sehingga memicu ataupun memperbesar timbulnya risiko insiden saling impit sesama penonton serta suporter yang terinjak-injak.

Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) 

Vonis majelis hakim tersebut juga berbeda jauh dengan kesimpulan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah pusat. 

TGIPF justru menyimpulkan berbagai pihak mesti bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, baik PSSI, LIB--operator Liga 1--panitia pertandingan, maupun kepolisian di lapangan. 

TGIPF juga menemukan adanya perintah tembakan gas air mata di lapangan. Sebagian dari tembakan gas air mata tersebut mengarah ke arah tribun. 

Tim Gabungan juga menyimpulkan bahwa tembakan gas air mata itulah yang menjadi penyebab banyaknya penonton meninggal. 

Ketua Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan, Imam Hidayat, mengatakan sejak awal masyarakat sudah mencurigai proses pengusutan tragedi Kanjuruhan ini karena menemukan banyak kejanggalan, dari rekonstruksi perkara, rapat terbuka-terbatas, hingga pasal-pasal yang disangkakan kepada terdakwa. 

Misalnya, rekonstruksi perkara tak menggambarkan adanya tembakan gas air mata ke arah tribun. Padahal banyak saksi ataupun rekaman video yang menguatkan adanya tembakan gas air mata ke tribun penonton.

“Kami tidak heran jika kemudian ada yang diputus bebas, ada yang ringan,” kata Imam, kemarin. “Kami menduga jika ini sudah terkondisikan sejak awal.”

Koalisi masyarakat sipil, yang terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lokataru, IM 57+ Institute, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menyesalkan vonis bebas dan hukuman ringan kepada para terdakwa.

Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dihukum seberat-beratnya dan seadil-adilnya. Ia pun mengatakan sejak awal koalisi masyarakat sipil mencurigai kepolisian tidak sungguh-sungguh mengungkap pelaku tragedi Kanjuruhan. Koalisi juga melihat banyak kejanggalan selama persidangan para terdakwa. 

(Sumber: Koran Tempo, 17/3/2023)
Baca juga :