Agustinus: Lalu Anda mau apa? Tetap rajin bayar pajak? Jangan lelah mencintai negeri? NKRI harga mati? Terima kasih Pakde? Hidup reformasi Kemenkeu?

Catatan: Agustinus Edy Kristianto

Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh diangkat sebagai Komisaris BRI dalam RUPS, Senin (13/3/2023). 

Padahal rakyat sedang sakit-sakitnya dikhianati pejabat/PNS dan keluarganya yang belagu sedemikian rupa bermodal penghasilan yang diperoleh dari negara ditambah harta lain-lain yang kemungkinan besar diragukan kehalalannya—misalnya korupsi, memeras wajib pajak dst.

Baru beberapa hari lalu kita teriakkan stop rangkap jabatan, jangan ada rangkap penghasilan pejabat eselon dewa dan komisaris BUMN, tapi sekarang lihat sendiri: masyarakat seolah dipermainkan!

Irjen Kemenkeu—menjabat sejak 2 Agustus 2021—yang seharusnya dievaluasi karena kasus Rafael dsb telah menjadikannya bak kucing pecundang, sekarang malah diangkat sebagai Komisaris bank BUMN. 

LHKPN-nya per 2021 sebesar Rp16,3 miliar, pertambahan kekayaannya Rp1,35 miliar/tahun. Sebelum jadi Irjen, ia adalah staf ahli Menkeu. 

Sebagai gambaran, tantiem yang bakal diterimanya di BRI sebesar Rp13 miliaran (mengacu angka di Lapkeu tahun 2021-2022) dan bisa lebih besar lagi tergantung laba yang dicapai, sementara gajinya Rp703 juta/bulan alias Rp8,4 miliar/tahun (mengacu LK 2022). Penghasilan itu jauh lebih besar dari gaji pokok berikut tunjangan kinerjanya sebagai eselon I yang sebesar Rp90 juta-Rp100 juta/bulan alias sekitar Rp1,2 miliar/tahun.

Ia pun bakal menambah daftar kekayaan akumulasi pejabat di negara ini yang menurut catatan LHKPN di KPK per 2022 (tahun lapor 2021) totalnya Rp609,35 triliun yang berasal dari 366.465 orang wajib lapor—itu pun belum tentu semua yang dilaporkan sesuai kenyataan. 

Dari jumlah itu terdapat lima penyelenggara negara dengan kekayaan terbesar yang jika digabung totalnya mencapai Rp27,1 triliun atau sekitar 4,4% (Kompas, 14/3/2023). 

Sepertinya cocok dengan ‘tujuan’ dibentuknya negara ini yakni untuk memperkaya pejabat dan keluarganya, bukan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Kita tak bicara semata aturan formal. Aturan bisa diatur, tafsir bisa dikarang, apalagi oleh mereka yang tengah berkuasa dalam jabatan. Alasan bisa dicari, pembenaran bisa dibeli. Mereka bisa bilang itu adalah tradisi birokrasi, dari dulu sudah begitu siapa pun presidennya, rangkap tak mengapa asal punya kapasitas, itu bagian dari pengabdian dan rasa cinta terhadap NKRI dan institusi. 

Ya, mereka cinta NKRI dan institusi karena mereka makan dan makmur dari NKRI dan institusi!

Kita bicara empati, keadilan, sensitivitas terhadap penderitaan rakyat, rasa malu, keserakahan, potensi konflik kepentingan, dst. 

Kita bicara tentang negara yang dilahirkan dengan susah payah yang seharusnya tidak untuk tujuan memperkaya pejabat dan keluarganya semata, salah satunya dengan rangkap jabatan/rangkap penghasilan seperti itu. Lagipula tak ada gunanya buat rakyat secara langsung dengan menempatkan makhluk eselon dewa merangkap jabatan komisaris BUMN. 

Di manakah nuraninya pemegang saham BRI ini—-yang celakanya mayoritas (53%) adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diwakili Menteri BUMN, dan jargonnya adalah harga mati? Mau berharap kepada Menteri BUMN—yang jargonnya adalah berakhlak—untuk memutus rantai rangkap penghasilan pejabat eselon dan Komisaris BUMN rasanya sia-sia, apalagi Wakil Menteri BUMN-nya pun setidaknya dua tahun terakhir merangkap Komisaris Utama BRI juga dengan tantiem puluhan miliar. 

Mau berharap kepada Presiden, sama saja. Ia cuma mengimbau jangan pamer (Jangan pamer beda dengan jangan korupsi)—meskipun di medsos anggota keluarganya juga sepertinya pamer barang bermerek yang tidak sesuai dengan profil istri seorang wali kota jika mengandalkan gaji dan tunjangan semata.

Lalu Anda mau apa? Tetap rajin bayar pajak? Jangan lelah mencintai negeri? NKRI harga mati? Terima kasih Pakde? Hidup reformasi Kemenkeu? Keberlanjutan?

Perlu ada langkah lebih progresif untuk memperbaiki negara. Misalnya, melakukan ‘diskriminasi positif’ dengan menandai seluruh aset dan kekayaan milik pejabat dan keluarganya sampai derajat ketujuh untuk membedakannya dengan harta milik non-pejabat; ancaman pidana dua kali lipat lebih berat ditambah perampasan seluruh aset bagi pejabat yang rangkap penghasilan atau LARANG TOTAL RANGKAP JABATAN/PENGHASILAN DALAM SEGALA BENTUK; pembayaran pajak penghasilan lebih besar dari orang biasa….

Atau apa kek…

Negara begini amat!

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :