Mas Bechi

Mas Bechi

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA sering lewat depan pondok Shiddiqiyyah yang lagi dihebohkan itu. Beberapa tahun lalu. Ada lahan luas tidak jauh dari pondok itu. Lagi saya incar ketika itu.

Saya sering juga ingin mampir. Tapi selalu diburu waktu. Ada yang membuat keinginan mampir itu muncul: kiai muda di situ suka mobil. Mas Bechi. Ada baiknya kalau diajak kerja sama membuat mobil listrik.

Selalu saja saya urung mampir.

Sampai saya kaget ketika lagi di luar Jawa ini. Saya mendengar heboh-heboh itu: Pondok Shiddiqiyyah dikepung polisi. Ratusan. Ada yang menyebut ribuan, mungkin salah, tapi saking banyaknya.

Apakah ada teroris yang bersembunyi di pondok itu?

Tidak. 

Ratusan polisi itu ingin menangkap satu orang: Mas Bechi. Nama lengkapnya: Moch Subchi Azal Tsani. Akrab dipanggil Mas Bechi. Umur 41 tahun.

Mas Bechi dilaporkan melakukan kejahatan seksual kepada santriwati di pondok itu. Ada yang menyebut korbannya lima wanita. Ada yang bilang lebih. Ada pula yang bilang mereka melakukan hubungan seks didasari agama, hanya saja tanpa administrasi dan saksi.

Saya lagi di luar Jawa. Saya tidak bisa mengecek mana yang benar. Saya juga tidak mau percaya berita media begitu saja.

Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Yang jelas kiai muda itu sudah menyerahkan diri ke polisi. Penggerebekan selesai.

Mas Bechi, anak tunggal kiai utama di situ: KH Moch. Muchtar Mu’thi

Mas Bechi anak dari istri yang bernama Sofiah. Masih ada satu istri lagi dengan anak 4 orang.

Mana yang istri muda dan mana yang tua sulit dilihat: usia mereka 11-12.

Siapa yang istri tua?

Secara hukum negara, Sofiah adalah istri pertama. Tapi konon istri satunya lagi lebih dulu dikawini secara agama.

Karena itu, kalau hanya dilihat dari foto dua wanita itu, umur mereka seperti sebaya: sama-sama sudah tua.

Rupanya hubungan antar anak dan antar istri inilah yang ikut meruwetkan keadaan.

Mas Bechi merasa difitnah. Ada kekuatan yang akan mengambil alih aset dan kepemimpinan pondok.

Mas Bechi adalah Wakil Rektor di perguruan tinggi di situ: Ponpes Majma’al Bachroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah.

Aset pondok ini besar. Lahannya luas. Sejak ada jalan tol lewat di dekatnya, harga tanah di situ naik drastis.

Pondok ini juga punya pabrik rokok. Mereknya: Sehat Tentrem. Lalu pabrik gula minuman botol. Konon Sofiah punya naluri dagang yang baik. Juga pintar mengatur keuangan.

Saat terjadi penggerebekan itu saya hanya bisa mengikuti lewat Instagram pondok Mas Bechi. @ashdaqwijaya. Live. 

Apa saja dilaporkan secara langsung di IG. Termasuk foto santri yang terluka. Berdarah. Intinya: polisi dianggap berlebihan.

Intinya lagi: semua tuduhan itu fitnah.

Itu versi pengelola IG yang membela habis-habisan pondoknya, kiainya, dan kiai mudanya.

IG itu juga memuat klarifikasi Mas Bechi. Kelihatannya ditulis oleh orang dalam bernama Muhammad Fadhli. 

Menurut tulisan Fadhli laporan pertama terhadap Mas Bechi dilakukan di tahun 2019. Itu laporan untuk kejadian tahun 2017.

Laporan itu, tulisnya, sudah ditangani polisi. Sudah dinyatakan tidak terbukti. "Kejaksaan pun sudah mengeluarkan SP3," tulisnya.

Di situ Mas Bechi bertekad melawan fitnah itu habis-habisan. Sampai tingkat berjihad. Rupanya tekad itu yang membuat ia tidak mau lagi mendatangi panggilan polisi yang baru. Sampai dinyatakan buron. Ia pun bersembunyi ketika digerebek. Sebelum akhirnya menyerahkan diri. Atau ditangkap.

Mas Bechi ganteng. Mampu merawat kulit dan rambut dengan sempurna. Meski kesukaannya mobil, termasuk mobil mewah, tapi tetap dianggap sufi –karena putra seorang Mursyid. Ia adalah Mursyid in waiting.

Mas Bechi juga akrab dengan musik. Ia bisa main organ. Bahkan ia menciptakan lagu sufi dan memainkannya di organnya. Lagu ciptaannya disebut ''musik oxytron''. Itu, katanya, lahir dari proses metafakta.

Intinya: ketika musik instrumentalia itu dimainkan, katanya, bisa menenangkan jiwa.

Berarti Mas Bechi ini dianggap sufi juga. Lewat jalan yang berbeda dengan penderitaan ayahnya berjalan kaki ke mana-mana.

Memang begitu banyak orang yang merasa bisa tenang dengan zikir. Mungkin Mas Bechi melihat; banyak juga orang yang baru tenang ketika mendengarkan musik. Tapi, rasanya, yang terbanyak, orang baru merasa tenang kalau punya uang.

Pondok Shiddiqiyyah yang didirikan ayah Mas Bechi ini tidak besar. Untuk ukuran Jombang. 

Bukan kelasnya Tebuireng, Tambak Beras, Denanyar, maupun Rejoso. Tapi pengikut aliran pondok ini besar sekali. Fanatik. Di seluruh Indonesia.

Di tiap provinsi ada chapter-nya. Di banyak kota ada korwil-nya.

Mereka terhubung lewat Jamaah Kautsaran. Tiap Senin malam mereka berkumpul. Melakukan Kautsaran. Di wilayah masing-masing. Termasuk di pusatnya, di Ploso. Yang letaknya tidak jauh dari exit tol Jombang. Sedikit ke arah utara.

Setiap kali berkumpul, mereka hanya membaca doa, wirid, dan zikir. Sekitar 1 jam. Tidak ada yang aneh. Hanya mirip dengan zikir di aliran apa pun. Setiap kata wirid dibaca 7 kali atau 30 kali. Hanya tahlil yang dibaca 120 kali.

Ketika melafalkan tahlil tidak ada gerak yang berbeda dengan aliran lain. Mereka duduk bersila biasa. Ada yang menggoyangkan kepala berlebihan. Ada yang pelan. Ada pula yang tidak menggerakkan kepala.

Kiai utama di Ploso itu, Kiai Muchtar, juga tampil sangat biasa. Ia pakai baju hem lengan panjang dengan kopiah hitam di kepala. Bawahannya sarung. Badannya kurus. Duduk silanya tegak. Raut wajahnya datar. Tidak ada nada disyahdu-syahdukan atau dikhusyuk-khusyukkan.

Tidak ada jubah, gamis, atau pakaian syekh pada umumnya. Ia sangat Indonesia. Bahkan sering kali ada bendera Merah Putih di acara Kautsaran itu. Doktrin cinta negara, cinta NKRI jadi motto mereka.
Di mata pengikutnya, ia bukan sekadar kiai. Ia pemimpin tertinggi Tarekat Shiddiqiyyah. Nama jabatan tertinggi di aliran seperti itu disebut Mursyid.

Semula aliran Shiddiqiyyah ini tidak diakui sebagai tarekat yang standar. Tapi dalam Kongres JATMI tahun 2009, Shiddiqiyyah diakui sebagai salah satu dari 40 tarekat yang mu'tabaroh (standar).

JATMI singkatan dari Jamiyah Ahli Tarekat Mu'tabaroh Indonesia. Organisasi tarekat.

Salah satu syarat untuk diakui mu'tabaroh adalah: sanadnya jelas, tidak terputus, nyambung sampai Nabi Muhammad.

Saya pun mencari tahu: lewat jalur mana Shiddiqiyyah ini untuk sampai ke Nabi Muhammad. Tidak ketemu. Konon lewat Syekh Jamali Banten. Mungkin ada pembaca Disway yang tahu di sebelah mana Syekh Jamali di tanah Banten.

Yang saya temukan adalah satu naskah panjang. Yakni skripsi mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya, jurusan sejarah Islam. Nama mahasiswi itu Nia Susanti. NIM: A0.22.12.013.

Di situ Nia menyebutkan Shiddiqiyyah nyambung sampai Muhammad lewat khalifah pertama: Abubakar Siddiq. Bahkan nama Shiddiqiyyah diambil dari gelar yang diberikan Nabi kepada Abubakar: As-Shiddiq. Terpercaya.

Menurut Nia nama jamaah Kautsar diambil dari salah satu nama surah dalam Quran: Al Kautsar. Tapi juga mengandung kepanjangan Khairun Katsirun. Kebaikan yang banyak. Kegiatan menebar banyak kebaikan itu disebut Kautsaran. Seperti juga tahlil menjadi tahlilan dan maulud menjadi mauludan.

Menurut Nia, masa kecil Kiai Muchtar sangat susah. Ayahnya punya dua istri. Tidak rukun. Termasuk anak-anak mereka. Ekonomi kurang baik. Terutama setelah sang Ayah meninggal. 

Muchtar-kecil sampai harus jualan ikan asin. Lalu sekolah di pondok Rejoso, Jombang. Menghafal Quran. Tidak kerasan. Pindah ke pondok Tambak Beras, juga di Jombang. Hanya kuat 8 bulan. Ia lantas belajar kanuragan di Trosobo, Sidoarjo. Lalu jadi guru SD Islam di Lamongan.

Di masa muda itu kesukaan Muchtar adalah mengulang-ulang surah Al Kahfi, satu bagian dalam Quran. Setiap sampai ayat ke 60 hatinya bergetar. 

Anda sudah tahu ayat itu: "Ingatlah ketika Musa berkata kepada murid-muridnya: aku tidak akan berhenti berjalan sampai ke bertemunya dua samudera atau aku akan berjalan bertahun-tahun".

Surah Kahfi menggambarkan perjalanan tiga anak muda yang diselamatkan Tuhan dari ancaman penguasa. Mereka bersembunyi di sebuah gua. Mereka tertidur. Sampai 300 tahun. Sampai penguasanya sudah berganti-ganti.

Gua itu sekarang jadi pusat turis di Jordania. Saya tidak pernah mempertanyakan kebenarannya ketika ke gua itu kapan itu. Hanya saja terlintas di pikiran: makanya orang yang lagi dimusuhi penguasa baiknya tidur selama 300 tahun.

Nia tidak menyebutkan apakah Muchtar tidak suka penguasa saat muda. Ia memutuskan melakukan perjalanan jauh seperti Musa. Dari makam ke makam. Jalan kaki. Sampai ke Banten. Berguru ke Syekh Jamali. Mendalami tarekat –ilmu hakikat hidup untuk bisa bertemu dengan Tuhan.

Dalam perjalanan itulah, menurut Nia, Muchtar mendapat ilham. Ia cukup rendah hati untuk tidak menyebut wahyu. Tapi itu bukan sembarang ilham. Ia menyebutnya ilham ruhi. Itu untuk membedakan antara bisikan Tuhan dan bisikan setan. Atau bisikan khayalan. Rupanya ia sadar akan banyak yang mempersoalkan kebenaran ilhamnya itu.

Ilham ruhi itu terus berdatangan kepadanya. Bertahap-tahap. Lalu ia rumuskan dalam satu rangkaian doa-wirid-zikir selama satu jam itu: Zikir Kautsar.

Muchtar pun membangun gubuk kecil. Di tahun 1968. Saat itu begitu banyak orang stres. Akibat peristiwa nasional tiga tahun sebelumnya.

Nia menggambarkan gubuk itu berukuran 3 x 5 meter. Terbuat dari bambu (dinding) dan ijuk (atap). Tiang-tiangnya dari batang jambe, pinang.

Itulah awal berdirinya pondok di Ploso. Pondok itu ia beri nama Maulana Malik Ibrahim. Rupanya itulah makam pertama yang ia kunjungi di pengelanaan masa mudanya.

Awalnya hanya sedikit yang ikut Kautsaran di situ. Mereka adalah orang yang sakit yang ingin sembuh. Mereka ingin hidup tenang. Diajarkanlah zikir itu. Diajaklah Kautsaran. 

Kian lama kian banyak orang yang punya masalah: ikut Kautsaran. Termasuk masalah karir dan jabatan. Juga masalah kejombloan dan perjodohan. Masalah keinginan yang harus terkabulkan.

Beredarlah kisah sukses dari zikir itu. Dimulai oleh sukses Muchtar sendiri. Ia sudah lama punya keinginan membeli buku: Ikhya Ulumuddin. Empat jilid. Karya filsuf Islam Imam Al Ghozali (meninggal tahun 1111, di wilayah yang sekarang disebut Iran).

Akhirnya buku itu terbeli. Seharga 40.000. Ia merasa capaian itu berkat zikir Kautsar.

Begitu banyak pejabat tinggi yang datang ke Ploso. Yang lokal maupun nasional. Sipil dan militer. Dengan segala macam kepentingan.

Kian besarlah daya tarik pondok Shiddiqiyyah, Ploso.

Tapi lonjakan terbesar terjadi di tahun 1970. Menjelang Pemilu pertama di zaman Orde Baru. Saat itu Golkar harus menang. Partai-partai dianggap tidak berhasil memakmurkan bangsa. Partai-partai harus kalah: NU, Parmusi, PSII, PERTI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan PNI.

Untuk kemenangan Golkar itu dimunculkanlah operasi khusus. Opsus. Dipimpin arsitek rekayasa politik zaman itu: Mayjen Ali Moertopo.

Dimunculkanlah ekstremis yang disebut Komando Jihad. Untuk kemudian ditumpas habis. Orang Islam pun ketakutan untuk tidak memilih Golkar.

Pola Opsus ini masih terus dipakai dalam beberapa Pemilu berikutnya. Tahap berikutnya sembilan partai itu harus diringkas menjadi dua saja: partai spiritualis materialis dan partai materialis spiritualis. PPP dan PDI.

Indonesia pun stabil.

Nama Muchtar banyak dikaitkan dengan Opsus ini. Karena itu pondok ini tidak pernah satu barisan dengan pondok besar Jombang lainnya. 

Ia tidak NU juga tidak Muhammadiyah –hanya ubudiahnya lebih dekat ke NU. Kemajuan pondok Muchtar justru lebih banyak dikelompokkan di satu barisan dengan pondok al-Zaitun di Indramayu, Jabar. 

Padahal yang lima besar di Jombang itu pun juga ada yang mendukung Golkar sejak awal: KH Mustain Romli Rejoso, Peterongan.

Di era itulah, di tahun 1970-an itu, berdiri bangunan bertingkat pertama di pondok Ploso. Di sebelah gubuk pertama. Gedung itu diberi nama Majmal Bahrain. Pertemuan dua samudera. Kelak nama itu juga menjadi nama perguruan tinggi di kompleks pondok.

Kebangkitan besar berikutnya ketika didirikan kelompok Shiddiqiyyah putri. Awalnya diberi nama panjang: Jamiyah Kautsaran Putri Fatinah Binti Maimun Hibbatullah Dewi Ratna Swari Shiddiqiyyah.

Berkembang pesat. Saya lupa mana yang lebih dulu: pembentukan Shiddiqiyyah Putri atau meninggalnya KH Musta'in Romli. 

Waktu itu Musta'in juga seorang Mursyid. Dari aliran Tarekat Nahshabandiyah. Pengikutnya juga sangat besar. Mereka ini banyak yang beralih ke Shiddiqiyyah setelah sang Mursyid meninggal dunia.

Mas Bechi kini hidup di dalam rumah tahanan kelas II Surabaya di Medaeng, Sidoarjo. Izin pondok itu sendiri dicabut. Saya masih sulit mencerna hubungan antara kasus penahanan ini dengan pencabutan izin itu.

Mungkin perlu Kautsaran tiga hari tiga malam untuk memahaminya. 

(Dahlan Iskan)


Baca juga :