JEBAKAN UTANG MADE IN CINA
Indonesia terjebak dalam gunungan utang dari Cina yang jumlahnya terus meroket sejak 2013. Sebanyak US$ 17,28 miliar atau sekitar Rp 245,7 triliun di antaranya tergolong utang tersembunyi karena masuk lewat badan usaha milik negara (BUMN) dan bank-bank pelat merah, sehingga tidak tercatat sebagai utang pemerintah. Tapi, bila pengembalian utang itu macet, negara pula yang bakal menanggung.
Laporan lembaga riset asal Amerika Serikat, AidData, mengungkap risiko besar pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Dalam hasil riset berjudul Banking on the Belt and Road yang terbit pada September tahun lalu itu, AidData menyoroti proyek kereta cepat yang bakal menjebak pemerintah dalam utang besar kepada Cina.
AidData mengelompokkan proyek kereta cepat dalam contoh penyaluran utang terselubung dari Cina yang menjebak negara-negara berkembang.
Proyek kereta cepat yang mendapat pendanaan dari China Development Bank (CDB) itu awalnya dijalankan dengan skema business-to-business antara perusahaan Cina dan Indonesia. AidData menilai skema ini tidak ideal karena kereta cepat yang akan difungsikan sebagai transportasi publik bakal membutuhkan dukungan anggaran negara.
Kekhawatiran itu terbukti setelah Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2021 yang mengubah Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang kereta cepat.
Dalam aturan baru itu, Jokowi mengizinkan dukungan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada proyek kereta cepat. Padahal, pada aturan lama, proyek ini tidak akan memakai anggaran negara dan tidak mendapat jaminan negara.
Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan persoalan ini dipicu oleh perencanaan yang mentah.
“Semuanya dampak dari keputusan yang serba instan dan kejar tayang, sehingga akhirnya memicu pembengkakan biaya,” ujar dia.
Menurut Aditya, pemerintah terlalu gampang membuka karpet merah untuk proposal kereta cepat dari Cina. Komitmen pembiayaan tanpa APBN yang disepakati di awal kerja sama itu pun membuat Indonesia terlena.
“Karena konsorsium perwakilan Indonesia ternyata badan usaha milik negara (BUMN). Tentu, saat ada masalah, pemerintah harus campur tangan,” kata dia. “Banyak yang sudah menduga proyek ini akhirnya terpaksa memakai APBN.”
***
Berita di atas adalah liputan Koran TEMPO edisi 13 Oktober 2021.
Dan makin terbukti dengan berita terbaru dari Koran TEMPO edisi 20 Juni 2022: Bengkak Biaya Proyek Kereta Cepat China Jakarta-Bandung, Bertambah Lagi Biaya Hingga Rp 27,2 Triliun.
[UPDATE TERBARU]
Biaya Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung Terus Membengkak
🔴Biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diperkirakan terus membengkak, dengan tambahan hingga US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27,2 triliun.
🔴Selain karena kendala pembebasan lahan dan relokasi bangunan, pembengkakan biaya terjadi akibat tambahan ongkos yang diajukan kontraktor serta pelbagai jenis pajak baru.
🔴Karena suntikan dana negara tahun lalu sudah tandas, PT Kereta Api Indonesia kembali meminta dana segar hingga Rp 4,1 triliun.