Ulama Nusantara dan Perang di Bulan Ramadhan

Ulama Nusantara dan Perang di Bulan Ramadhan

Oleh: Muhammad Pizaro
(Wartawan dan penulis buku)

HAUS, lapar, dan dahaga adalah kondisi yang harus dihadapi seorang muslim ketika menjalani puasa di bulan suci Ramadhan. Ibadah lainnya yang berat untuk dilaksanakan adalah pergi berjihad ke medang perang untuk membela agama Islam. Namun itulah yang harus dilakukan umat Islam Indonesia saat berperang melawan penjajah Belanda mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Kisah heroik itu tertuang dalam sejarah perjuangan para ulama dan masyarakat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Meski dalam kondisi berpuasa, semangat jihad mereka tidak pudar. Ibadah puasa justru menjadi spirit menegakkan agama Islam dan memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang hendak dirampas kembali oleh Belanda lewat Agresi Militer I.

Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer yang dilakukan Belanda pada 1947. Tujuannya adalah mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan NKRI. Fokus serangan penjajah berlangsung di tiga tempat: Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Lewat agresi ini, Belanda bernafsu menguasai kembali Indonesia sebagai tanah jajahan untuk dijadikan wilayah persemakmuran kerajaan Belanda. Akibat niat jahat Belanda ini, rakyat Indonesia murka. Api perlawanan meletup. Langkah negeri van oranje ini mendapatkan perlawanan sengit bangsa Indonesia, khususnya ulama dan umat Islam.

Di Sumatera Selatan, Agresi militer I Belanda dilakukan tepat di hari ketiga bulan puasa. Aksi itu dimulai setelah umat Islam baru saja selesai melakukan sahur sekitar pukul 04.00 pagi. 

Sementara itu, di Jawa Timur, pertempuran antara alim ulama melawan tentara Belanda juga meletus di Pamekasan saat bulan Ramadhan. Rencana Belanda untuk merebut kemerdekaan RI telah lama tercium oleh ulama dan masyarakat.

Dengan keberanian dan semangat juang tinggi, rakyat Madura merasa berkewajiban untuk menyiapkan tenaga untuk head to head dalam perang fisik melawan penjajah Belanda.

Sehubungan dengan hal tersebut, para ulama se-Madura menggelar musyawarah di Pamekasan. Rapat akbar tersebut menghasilkan keputusan, “Bagi Umat Islam laki-laki dan perempuan wajib hukumnya ikut perang Jihad fi sabilillah mempertahankan Kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengusir penjajah Belanda!”
 
Keputusan tersebut langsung menjalar ke tiap nadi masyarakat Madura yang mayoritas muslim. Ulama menegaskan, perlawanan melawan Belanda, selain untuk mempertahankan Republik Indonesia, juga untuk menegakkan Islam yang merupakan cita-cita umat Islam Indonesia. Mereka menyadari betul, selama Indonesia di bawah kekuasaan Belanda, umat Islam tidak akan pernah mendapatkan keleluasaan menjalankan agama.

Hal itu diperkuat dengan pernyataan KH. Ahmad Basyir AS., yang mengatakan, “Selama Indonesia dijajah, agama Islam sulit untuk tegak di Indonesia!”. Bahwa, “Agama Islam bisa tegak di Indonesia, jika Indonesia bebas dari penjajah,” tukas KH. Syarqawi.

Bahkan, dengan tegas KH. M. Nasruddin Anchori CH, menyatakan:

“Membela dan mempertahankan NKRI, tidak saja menjadi kewajiban nasional, tapi sekaligus juga kewajiban agama. Itu terbukti dan menjadi kenyataan umat Islam Indonesia dengan membentuk badan-badan perjuangan fisik semacam Hizbullah. Yakni perang Sabil Lii’lai Kalima tillah membela agama.”

Semangat jihad itulah yang membawa ulama dan warga Pamekasan terjun ke medan pertempuran. Rasa haus dan dahaga tak menyurutkan nyali mereka menghalau penjajah. Bisa dikatakan, bulan Ramadhan telah menjelma menjadi bulan jihad fi sabilillah demi mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan agama.

Maka, pada tanggal 29 Ramadhan 1366 H (16 Agustus 1947 M), tepatnya pukul 04.00 pagi, para pejuang memasuki Kota Pamekasan dengan dipimpin KH. Muh. Tamim dan K. Muththar. Pasukan Hizbullah dan Sabilillah, yang terdiri dari santri, keluarga pesantren, rakyat jelata, bergerak dengan tujuan merebut gudang senjata dan melumpuhkan markas Belanda.

Dengan kumandang takbir dan bacaan tahlil, laskar Sabilillah mulai menyerang penjajah Belanda. Mengetahui hal tersebut, tank-tank Belanda sontak berkeliaran sambil memuntahkan tembakan, dentuman mortir, metraliur, dan light kogels (peluru yang bersinar) ke arah pejuang. Namun, serangan itu tak membuat nyali para pejuang gentar. Mereka justru bergerak maju melawan Belanda. Perang pun pecah. Pamekasan membara. Suara gemuruh menghujam langit Madura. 

Bulan Ramadhan 1366 H telah menjadi saksi perjuangan umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan agama: sebuah andil yang perlahan pudar dalam ingatan bangsa.

Dalam petarungan sengit tersebut, sebagian pejuang berhasil menembus serambi markas penjajah. Sebagian tentara penjajah lalu berlarian ke dalam markas dan menutup pintunya agar tak berhasil ditembus pejuang.

Melihat kondisi ini, Laskar Sabilillah lalu menyerbu tank-tank yang sedang berupaya mengeluarkan peluru. Dalam kondisi kalap, tentara Belanda mulai memuntahkan peluru ke segala penjuru. Dalam pertempuran sengit itu, KH. Muh. Tamim menunjukkan aksi heroiknya dengan melumpuhkan sebuah tank lewat sepucuk granat. Buah keberanian Kyai asal Madura itu membuat tank Belanda hancur lebur dan pasukan Sabilillah yang ada di sekitarnya berhasil terhindar dari tembakan musuh.

Dari peperangan ini, 65 orang tentara penjajah Belanda tewas. Sementara tiga truk berhasil diangkut ke Surabaya. Sedangkan di pihak pejuang, dilaporkan 85 orang meninggal dunia. 

Perang di Aceh

Selain di Madura, gelora perlawanan melawan Agresi Militer Belanda I juga meletus di Aceh. 

Jelang bulan suci Ramadhan, ulama Aceh menggelar rapat umum di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman. 

Dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an, para ulama, menegaskan, puasa tidak boleh menghalangi seseorang untuk berjuang. Karena itu, sambil berpuasa berjuanglah, dan sambil berjuang berpuasalah! 

Demikian pesan para ulama yang memanfaatkan mimbar rapat umum tersebut untuk menyampaikan penerangan mengenai kewajiban berpuasa di tengah perjuangan kemerdekaan yang sedang memuncak.

Residen Aceh juga mengeluarkan seruan sama agar umat Islam di Aceh senantiasa siap-sedia menghadapi segala kemungkinan yang datang akibat keserakahan Belanda.

“Jadikanlah ibadah puasa sebagai jembatan untuk mempertebal iman dan perjuangan. Kita selalu digempur dengan cara besar-besaran oleh tentara Belanda. Jangan disangka kita akan lemah dalam menghadapi mereka karena kita sedang berpuasa. Kita kuat dan tetap kuat menghadapi mereka, kapan saja dan di mana saja,” demikian maklumat Residen Aceh dalam rapat umum yang ditutup lewat pembacaan do’a. 

Dari fakta-fakta di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, para ulama Indonesia telah mengajarkan bahwa ibadah-ibadah mahdhoh haruslah berbanding lurus dengan semangat memperjuangkan agama Islam. 

Bulan puasa pun tidak menghalangi mereka untuk pergi berperang meski dalam kondisi lapar, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan kaum muslimin saat perang Badar. Semoga sejarah emas ini kembali diingat pemerintah dan masyarakat pada umumnya atas pengorbanan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan.

Baca juga :