Selebrasi MotoGP, Kelangkaan Migor dan Sejarah yang Terulang

OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

PEMBALAP MotoGP diundang ke Istana, mereka berpakaian lengkap layaknya rider-rider legendaris dan foto bersama dengan Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi menerima 16 rider MotoGP seperti Marc Marquez, Joan Mir, Alex Rins, Francesco Bagnaia, Jack Miller, Maverick Vinales, Alex Marquez, dan Takaaki Nakagami.


Presiden pun kemudian mengambil motor kebanggaannya, menaikinya dan kemudian foto bersama lagi dengan para rider tersebut.

Niatnya ikut konvoi MotoGP tapi Presiden akhirnya tidak ikut alasannya tidak diperbolehkan Paspampres alasan keamanan.

Serebrasi Presiden Jokowi terkait MotoGP ini menarik karena perayaannya seolah ini pertama kalinya Indonesia mengadakan balap Motor GP.

Dalam serebrasi tersebut terkesan sengaja melupakan fakta bahwa balap MotoGP di Indonesia bukan yang pertama kali namun yang ketiga, tapi selebrasinya seolah baru pertama kali.

Selebrasi tersebut juga terkesan melupakan masalah kelangkaan bahan pokok dan kenaikan harga minyak di pasaran.

Balap MotoGP sebenarnya pernah digelar pada tahun 1996 dan 1997 di masa Orde Baru. Sirkut yang digunakan 1996 dan 1997 adalah sirkut Sentul.

Sirkut Sentul tersebut dibangun bukan atas kehendak rakyat, namun atas usulan keluarga cendana yang didukung sejumlah pengusaha kroni orde baru.

Pembangunan Sentul dimulai pada 1990, dipimpin oleh putra Presiden RI saat itu, Hutomo Mandala Putra. Pada 1993, Sentul pun resmi dibuka oleh Soeharto.

Terkait balap MotoGP, Sentul digunakan pada 7 April 1996 dan 28 September 1997. Tahun 1997 MotoGP diselenggarakan di tengah krisis sedang terjadi di Indonesia.

Pada tahun 1997, publik ASEAN sudah merasakan krisis moneter sejak Mei 1997 saat itu kurs Bath Thailand terserang spekulasi besar. Kemudian krisis menyebar dan masuk ke Indonesia mulai pada Juni-Agustus 1997.

Saat MotoGP 1997 diselenggarakan yaitu September 1997, rupiah sedang diserang hebat dan publik sedang khawatir kenaikan harga barang dan otoritas sedang berusaha menutupi gejala krisis sebenarnya, salah satunya dengan serebrasi MotoGP 1997.

Seperti sejarah terulang, MotoGP 2022 mirip MotoGP 1997 yang ditandai dengan kelangkaan bahan pokok dan kenaikan harga minyak.

Pada selebrasi MotoGP 1997, Presiden Soeharto hadir di Sirkuit Sentul dan disambut gegap gempita dan tercatat menyaksikan laga selama 5 jam. Pemenang Moto kelas 125 cc tahun 1997 adalah Valentino Rossi yang tergabung tim Aprilia. Rossi saat itu umurnya 18 tahun.

Selebrasi MotoGP dan Kelangkaan Bahan Pokok

Ada persamaan MotoGP 1997 dan MotoGP 2022 keduanya diseleggarakan saat situasi negara sedang tidak baik-baik saja. Tahun 1997, krisis ekonomi sudah masuk 1 bulan sebelum penyelenggaraan MotoGP. Rupiah sudah melemah dan harga pokok terutama barang impor sedang naik.

Tahun 2022, MotoGP diselenggarakan saat kelangkaan minyak terjadi dan ada ancaman kenaikan harga minyak akibat perang Ukraina-Rusia.

Dalam komunikasi publik terdapat persamaan 1997 dan 2022 di mana selebrasi motoGP dibuat sangat meriah untuk melupakan kesusahan yang sedang terjadi di publik.

Namun ada perbedaan selebrasi MotoGP 2022 diselenggarakan di tengah adanya narasi pemerintah untuk melakukan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.

Tahun 2022 Presiden membutuhkan momen untuk menaikan citra dan elektabilitasnya agar agenda penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut mendapat dukungan publik.

Namun Presiden Jokowi kelihatannya jauh lebih cerdik dari Presiden Soeharto. Momen selebrasi MotoGP dimanfaatkan untuk beberapa agenda. Sekali Mendayung, Dua-Tiga Pulau Terlampaui.

Agenda peningkatan citra politik Presiden sekaligus agenda melupakan kesulitan publik yang sedang terjadi.

Padahal penyelenggaraan MotoGP 2022 publik menyaksikan antrean emak-emak untuk mendapatkan minyak goreng yang telah merenggut korban jiwa.

Di tengah persoalan kenaikan harga dan kelangkaan pangan yang melanda, kita bisa melihat bagaimana Presiden Jokowi lebih sibuk dan sigap pada kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial dan pencitraan yang tidak memecahkan masalah yang saat ini sedang terjadi.

Ini membuat wajah pemerintah dirasa kurang mempunyai sense of crisis atas persoalan-persoalan yang sedang terjadi.

Dalam hal ini MotoGP adalah komunikasi publik yang menunjukkan presiden ini mempunyai bobot kepada pencitraan dari pada penyelesaian masalah pangan.

Ini menunjukkan presiden tidak fokus kepada pemenuhan hajat hidup orang banyak.

Presiden seharusnya lebih intens melakukan upaya-upaya untuk memastikan persoalan kenaikan harga dan kelangkaan pangan ini agar bisa segera di atasi karena menyangkut hajat hidup orang banyak semestinya mempunyai skala prioritas yang lebih utama. Presiden Soeharto gagal memprediksi bahwa ternyata tidak lama dari selebrasi MotoGP 1997 tersebut, krisis ekonomi makin suram dan makin dalam.

Bila Presiden Jokowi ingin berbeda dengan nasib Presiden Soeharto yang akhirnya setelah 8 bulan selebrasi motoGP 1997 itu jatuh dari kepresidenannya, maka Presiden Jokowi harus lebih banyak memikirkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak daripada selebrasi yang hanya memenuhi kepuasan dan hajat elite tertentu.

Semoga Presiden mendengar!

(Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute)
Baca juga :