[PORTAL-ISLAM.ID] Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mempertanyakan penceramah radikal yang disinggung Presiden Joko Widodo atau Jokowi dua hari lalu dalam pidatonya pada Rapat Pimpinan TNI-Polri.
Amirsyah berharap ada penjelasan lebih lengkap agar isu ini tidak simpang siur.
"Seperti apa radikal yang dimaksud presiden, sehingga jelas subjeknya pada penceramah yang radikal terhadap keluarga TNI Polri," kata dia saat dihubungi, Kamis, 3 Maret 2022.
Dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret, Jokowi mengingatkan agar istri dan keluarga anggota TNI-Polri tidak sembarangan memanggil penceramah. Jokowi mengkhawatirkan hal itu bisa menjadi bibit radikalisme di kalangan aparat negara.
"Tau-tau mengundang penceramah radikal. Nah, hati- hati. Hal-hal kecil ini harus diatur. Saya melihat di WA grup, karena di kalangan sendiri, oh boleh, hati-hati, kalau seperti itu dibolehkan dan diterus-teruskan, hati-hati," kata Jokowi.
Menurut Amisyah, radikalisme adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Dalam sejarah, kata dia, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal.
Gerakan ini, kata dia, awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri yang menentang partai kanan.
"Dalam konteks Indonesia harus dijelaskan apakah radikal kanan atau kiri?" ujarnya.
Untuk itu, Amirsyah juga berharap ada klarifikasi dari pimpinan TNI Polri yang lebih paham terkait masalah penceramah radikal yang dimaksud ini.
"Sehingga tidak simpang siur, karena jangan sampai jadi beban presiden, karena tugas beliau sangat berat dalam pemulihan ekonom nasional di masa pandemi," kata dia.
[VIDEO Jokowi]
Artinya komando radikal radikul ini memang dari presiden langsung, dan presiden harus mendefinisikan radikal itu seperti apa, klo bias sangat bahaya, konflik horizontal akhirnya
— Boss (@BossTemlen) March 1, 2022
Jokowi Minta TNI-Polri Disiplinkan Keluarga: Jangan Undang Penceramah Radikal https://t.co/ZmfiOJ684D pic.twitter.com/Dacr6OxEr2