ANDALAN KEDAULATAN NEGERI: Andaikan Islam tanpa TNI

ANDALAN KEDAULATAN NEGERI: Andaikan Islam tanpa TNI

Oleh: Dr. Moeflich Hasbullah (Pakar Sejarah Islam, Dosen UIN Bandung)

Andalan bangsa Indonesia dalam rangka menjaga dan mempertahankan kedaulatan, marwah, harkat dan harga diri bangsa tinggal Umat Islam dan TNI. Tapi bila pun TNI sudah dikooptasi oleh kepentingan asing, ingat TNI baru lahir setelah Indonesia merdeka, dari rahim Hizbullah dan Sabilillah.

Pada kurun 1943-1945, hampir semua pondok pesantren di Indonesia membentuk laskar-laskar guna memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air. Dari sekian banyak laskar, Laskar Hizbullah dan Sabilillah adalah yang paling besar dan berpengaruh.

Laskar Hizbullah (Tentara Allah) didirikan  8 Desember 1944, terdiri dari para pemuda Islam dan kaum santri dari seluruh daerah untuk menjadi kekuatan cadangan dari pasukan PETA (Pembela Tanah Air). Jepang memberi restu pada tokoh-tokoh Muslim untuk membentuk kekuatan militer karena terdesak oleh konfrontasi dengan sekutu.

Setelah Jepang memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia, Laskar Hizbullah pun berubah haluan, tidak lagi bekerja untuk kepentingan Jepang tapi untuk berdirinya negara Indonesia merdeka.

Setelah tujuannya menjadi mengusir penjajah, pondok-pondok pesantren pun mendirikan laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing. Susunan pengurus pusat Laskar Hizbullah ditentukan dalam rapat pleno Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Januari 1945. 

Laskar Hizbullah berkembang sangat pesat menjadi kekuatan baru umat dan bangsa Indonesia. Misinya adalah mengusir kolonial dan memerdekakan bangsa dari penjajahan.

Pertempuran Ambarawa 21 November 1945 yang monumental dalam sejarah Indonesia adalah salah satu perang Laskar Hizbullah bersama pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ketika sekutu terdesak akibat serangan pasukan pimpinan Jenderal Sudirman yang bergerak menuju Semarang.

Laskar Hizbullah adalah rahim yang melahirkan tentara pejuang yang kemudian bermetamorfosis menjadi BKR, TKR dan TNI. TNI, rakyat dan Islam tak bisa dipisahkan. 

Kalau TNI sekarang dirasakan seperti "memusuhi" rakyat dan Islam, itu TNI baru budak para cukong yang durhaka pada sejarahnya, pada rakyat dan pada Islam. Jenderal Soedirman pun meneteskan air mata.

Kekuatan luar biasa yang bisa merubah TNI menjadi "memusuhi" Islam dengan misalnya seringnya lontaran radikalisme pada umat Islam sekarang yang justru penjajah terusir dan Indonesia merdeka karena jasa radikalisme Islam. Indonesia merdeka berhutang budi pada radikalisme para ulama, santri dan rakyat mengusir penjajahan.

Andaikan TNI sudah berubah, tinggallah Islam dan rakyat. Tapi ingatlah, Islam, ulama dan rakyat menjadi kekuatan negeri bukan hanya saat menjelang dan untuk kemerdekaan. Mereka telah menjadi kekuatan politik berabad-abad jauh sebelumnya (sebelum ada tentara nasional pada abad ke-20), yang sudah pengalaman melawan dan berperang dengan Portugis, Belanda dan Jepang. Artinya, Islam dan rakyat adalah kekuatan yang harus percaya diri. 

Senjata mereka bukan hanya senjata lahir buatan Amerika, Rusia atau Cina, tapi yang lebih dahsyat yaitu keyakinan yang menancap dalam dada, berebut mati untuk syahid dan berebut surga. Senjata dunia tak ada apa-apanya dibandingkan senjata ruhani dan jiwa itu karena Allah SWT sendiri adalah backing di belakangnya.

Siapa yang berperang melawan DIA dengan senjata secanggih apapun, tentu saja hanya akan menjadi rayap dan ulat-ulat lemah tak berdaya (gak perlu takbir 😊). Jangankan perang, diberi stroke dan diabet saja sudah lemah tak berdaya.

(Sumber: fb Dr. Moeflich)
Baca juga :