Oleh: Ustadz Abrar Rifai (Pengasuh Ponpes Babul Khairat Malang)*
Di kampung saya tinggal, setidaknya ada dua masjid yang dipakai jum'atan. Yang satu memakai toa hanya untuk adzan saja. Ini masjid Muhammadiyah.
Sedang satunya, nyaris semua kegiatan suaranya disiarkan melalui toa. Mulai adzan, murattal sebelum adzan, pujian setelah adzan, bacaan maulid hingga pengajian rutinan dan lain-lain. Ini masjid NU.
Begitulah memang yang terjadi dimana-mana: masjid NU suka memaksimalkan pemanfaatan toa, sedang Muhammadiyah sangat irit dalam memakai toa. Bahkan untuk khutbah Jum'at sekalipun, masjid Muhammadiyah biasanya memakai speaker dalam.
Belum lagi beberapa mushalla NU yang ada, semuanya mengumandangkan adzan dan acara-acara lain yang memerlukan toa. Tapi sungguh saya dan kebanyakan orang, merasa tidak terganggu. Bahkan menikmatinya.
Sampai sejauh ini, warga etnik Cina non muslim atau orang Jawa yang tidak beragama Islam di Kampung Ngamarto, tempat tinggal saya, tak seorangpun yang protes. Mereka OK saja. Bahkan ada banyak cerita di tempat lain, bahwa tak sedikit orang masuk Islam, karena terbiasa mendengar adzan.
Suara adzan yang bertaluan melalui toa, itu sebenarnya menyenangkan. Pun, suara-suara lain yang disiarkan toa sebagaimana tersebut di atas, itu sangat membantu warga sekitar untuk bangun subuh, ataupun mengerjakan shalat lain di awal waktu.
Lha wong sudah dibantu adzan yang bergema dan bertaluan seperti itu saja, seringkali saya masih enggan untuk segera shalat. Apalagi kalau kemudian adzan menjadi jarang, tidak lagi nyaring karena terbentur aturan Kemenag.
Sebenarnya polemik terkait adzan dan penggunaan toa ini bukan hanya sekarang. Menag Yaqut Cholil bukan orang pertama yang ingin mengatur penggunaan speaker luar untuk adzan. Sebab dulu Jusuf Kalla saat menjabat wakil presiden pun sempat melontarkan gagasan tersebut.
Tapi gagasan Wapres ketika itu kandas, mendapat reaksi luas dari publik dan akhirnya beliau menyerah.
Entahlah gagasan Menteri Agama ini, apakah akan kandas sebagaimana Wapres dulu, ataukah akan terus dilakukan sebagaimana karakternya selama ini yang pantang menyerah.
Tapi, Yaqut Cholil harus ingat, bahwa ia sekarang berhadapan dengan orang-orang tulus di kampung-kampung. Orang-orang yang selama ini ngopeni masjid, yang datang lebih dulu ke masjid sebelum orang-orang lain datang. Orang-orang yang tetap bertahan di masjid setelah orang-orang lain pulang.
Orang-orang yang sudah meruput ke masjid, saat orang-orang masih pada mendekur. Orang-orang NU yang memakmurkan masjid dengan acara-acara keagamaan yang disiarkan secara luas dengan toa-toa masjid.
Maka saya yakin, jangankan seorang Yaqut, bahkan seratus menteri agama serupa beliaupun, tak akan mampu menghentikan lengkingan toa dari masjid-masjid NU.
Sebab ini bukan lagi sekedar syiar agama, tapi sudah lebur menjadi kultur masyarakat yang tak mudah begitu saja dihentikan oleh peraturan seorang Menag!
*fb penulis (25/02/2022)