KATA MEREKA, KITA INDONESIA, BUKAN ARAB

KATA MEREKA, KITA INDONESIA, BUKAN ARAB

Da'i di masa lalu, menggunakan pendekatan wayang dan budaya lainnya, untuk mendekatkan manusia pada Islam. Budaya menjadi wasilah dakwah, budaya menjadi alat islamisasi.

Sebaliknya, pengagung budaya saat ini, membenturkannya dengan keislaman. Menganggap budaya di atas agama. Anda boleh muslim katanya, tapi tetap Indonesia, jangan kearab-araban. 

Ingat, kearab-araban yang mereka maksud, tentu bukan petrodollar, tari perut, layla majnun, penyanyi ibtissam tiskat, atau burj khalifa. Kalau itu mah, oke-oke saja. Tidak ada yang benci dinar dan riyal Arab. Mereka senang erotisme, mau dari Barat, Korea atau Arab.

Kearab-araban yang mereka maksud adalah cadar, bahkan jilbab, jenggot, pakaian gamis dan 'imamah, serta berbagai simbol Islami lainnya. Jadi, silakan anda jadi muslimah, tapi pakai kebaya yang buka aurat, bukan abaya yang menutup aurat, karena -katanya- kita Indonesia, bukan Arab.

Kearab-araban yang mereka maksud adalah, tatanan kehidupan sosial budaya politik ekonomi dll., yang sesuai Islam. Jangan bawa-bawa Arab katanya, kita punya peri kehidupan sendiri, sembari tetap memakai KUHP warisan Belanda, berpakaian telanjang ala Barat, berbahasa campur Indonesia English ala sosialita Jaksel, sambil joget K-Pop dan nonton drakor.

Mereka tidak benar-benar cinta budaya negeri ini, karena jika seperti itu, tentu banyak budaya sesuai Islam yang mereka dukung. Ada tarian nusantara yang dijiwai Islam, yang ditarikan oleh laki-laki dan bernuansa perjuangan, serta tentu tanpa buka aurat. Ada pakaian yang menghilangkan unsur gambar makhluk hidup, karena banyak madzhab dalam Islam yang mengharamkannya. Juga bentuk dan karakter wayang kulit yang telah mengalami perubahan dan islamisasi. Bahkan, banyak pakaian muslimah nusantara, yang terbukti sejak dulu telah menutup aurat secara sempurna. Dan seterusnya.

Mereka memilih budaya tertentu, untuk mereka jadikan representasi nusantara. Budaya patung, pakaian buka aurat, tarian perempuan yang kadang cenderung erotis, dan lain-lain, yang mereka tonjolkan. Sehingga kesan yang muncul, nusantara dan Arab (baca: peradaban Arab yang dipengaruhi Islam) itu tidak punya hubungan sama sekali.

Islam tidak menolak budaya, apalagi memusuhinya. Islam menjadi standar dan alat ukur bagi budaya. Yang sesuai dengan Islam, silakan dilestarikan. Yang masih bisa dimodifikasi dan disesuaikan dengan Islam, diperbaiki dan disesuaikan. Yang sepenuhnya bertentangan dengan Islam, dihilangkan. Beginilah dulu para da'i kita, yang melakukan dakwah di nusantara, berinteraksi dengan budaya.

(Muhammad Abduh Negara)

Baca juga :