Habib Ali Alatas: Tentang Edy Mulyadi, KM50 dan IKN

Tentang Edy Mulyadi, KM50 dan IKN

Oleh: Habib Ali Alatas, SH (Advokat)

Datanglah berita kepada kami pada sekitar jam 7 malam, menjelang sholat Isya tentang ditetapkannya sahabat kita wartawan Edy Mulyadi menjadi tersangka dan kemudian atas penetapan tersangka tersebut dilakukan penahanan. 

Edy Mulyadi yang dengan sikap ksatria mendatangi Bareskrim Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, disangkakan dengan pasal-pasal yang kerap dijadikan alat pembungkam suara kritis masyarakat, yakni melanggar Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 UU ITE Jo. Pasal 14 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 15 ayat UU no. 1/46 Jo. Pasal 156 KUHP.

Penetapan tersangka Edy Mulyadi sesungguhnya bukan suatu hal yang mengagetkan. Dibanding kita melihat peristiwa yang dituduhkan kepada Edy Mulyadi soal "Jin buang Anak", ungkapan yang lumrah dalam bahasa pergaulan di Jakarta, marilah kita melihat Edy Mulyadi dalam isu yang ia soroti belakangan ini. 

Setidaknya ada dua isu besar dimana Edy Mulyadi cukup vokal dan viral, yakni isu KM50 dan Isu IKN (Ibu Kota Negara). Dalam Isu KM50 Edy Mulyadi cukup rajin membahas persoalan dugaan pelanggaran HAM berat yang memakan korban enam pengawal HRS. Dalam setiap liputannya Edy Mulyadi mengupas cukup dalam setiap fakta dan peristiwa sampai turun dilapangan dan mendatangi para saksi mata untuk diwawancarai. 

Reportase yang cukup tajam dan sesuai kaidah jurnalistik tersebut, sangat terbuka kemungkinan membuat banyak pihak "kepanasan" terutama sekali mereka oknum penguasa yang terlibat dalam dugaan pelanggaran HAM KM50, karena ketika bicara pelanggaran HAM, maka kita pasti akan bicara "State Actor" sebagai pelaku utama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM. 

Isu kedua yakni tentang Ibukota Negata atau IKN, isu dimana akhirnya tercetus kata "Jin buang anak" hingga akhirnya menyebabkan ditetapkannya Edy Mulyadi sebagai tersangka dan dilakukan penahanan terhadap dirinya. Agar tidak teralihkan dalam persoalan "Jin buang anak", ada hal yang lebih penting yang disoroti oleh Edy Mulyadi. 

Dalam Isu IKN ini Edy Mulyadi secara terang benderang mengkritik pemindahan Ibu Kota Negara yang menurutnya sarat bau tengik kepentingan oligarki dibanding kepentingan rakyat luas. Bayangkan saja dalam proyek yang diproyeksikan menelan total biaya sekitar Rp466 triliun, dimana sebesar 53,5% dari total biaya pembangunan diambil dari APBN. 

WALHI dalam website resminya mencatat terdapat nama-nama yang berpotensi menjadi penerima manfaat atas megaproyek IKN, diantaranya terdapat sejumlah nama yang terkait baik langsung maupun tidak dengan dunia politik nasional maupun lokal, diantaranya Sukanto Tanoto dan Hashim Djojohadikusumo adik dari Prabowo, Rheza Herwindo, anak Setyanovanto, Lim Hariyanto dan Rita Indriawati yang terkait dengan skandal pelarian pajak dalam dokumen ICIJ dan terkait bisnis Yayasan Keluarga Besar Brata Bhakti juga muncul dalam daftar kepemilikan saham. 

Selain itu juga ada nama Thomas Aquinas Muliatna Djiwandono bendahara Partai Gerindra dan keponakan Prabowo Subianto, juga ada nama Yusril Ihza Mahendra, serta banyak nama lainnya. 

WALHI sendiri bahkan menduga bahwa dalam megaproyek IKN, akan jadi ajang pemutihan dosa perusahaan atas perusakan lingkungan hidup dan perampasan lahan masyarakat di Kalimantan Timur. 

Dari dua isu diatas yang diangkat oleh Edy Mulyadi, akan wajar muncul dugaan jika yang dihadapi Edy Mulyadi bukan hanya soal "Jin Buang Anak" tapi lebih dari itu, bagaimana caranya Edy Mulyadi tidak lagi "berisik".

Maka pertanyaannya kemudian apa yang bisa kita lakukan? Banyak, tapi setidaknya, selain doa dan dukungan kepada Edy Mulyadi, sangat penting kiranya agar dua isu yang diangkat oleh Edy Mulyadi tidak tenggelam oleh berbagai pengalihan, tapi tetap lantang disuarakan oleh mereka yang tetap optimis bahwa pertolongan Allah SWT itu dekat. 

Wassalam.
Baca juga :