Oleh: Prof. Moeflich Hasbullah (Dosen UIN Bandung)
Lagi di perjalanan, saya masuk masjid ini untuk Shalat Maghrib. Baca tulisan di pintu langsung gak srek. Ini berlebihan. Padahal, cukup saja "wajib pake masker." Kalimat "yang tidak memakai masker silahkan shalat di rumah masing-masing," itu artinya menghalangi orang untuk shalat berjama'ah bahkan mengusir halus, di saat dimana-mana masjid sudah merapatkam shafnya kembali apalagi ada kasus ledakan massa yang berdesakan di mall pada Hari Imlek dan Mall-nya hanya disangsi bayar Rp. 500 ribu.
Ada orang deket tulisan itu dan saya bilang: "Mana DKM nya ya, bilangin gak perlu berlebihan bikin pengumuman." "Oh saya bukan DKM Pak," katanya. Dia jama'ah yang sama mau shalat.
Walau gak srek saya paksakan masuk masjid. Ini problem pertama saya. Saat berwudhu, hati berkata: "Jangan munafiiik ... kamu protes tapi tetap shalat disini."
Pas iqamah, saya ke baris depan. Jama'ahnya ternyata masih menjaga jarak. Saya gak srek lagi. Ini problem kedua. Saya ajak yang di belakang saya untuk ke depan merapat dengan saya. Imam dan beberapa orang langsung protes: "Jangan Pak, jangan merapat, jaga jaraknya." Saya makin gak nyaman. Ini problem ketiga. Saya pun berkata: "Pak, sudah gak musim sekarang di masjid jaga jarak, di masjid mana-mana shaf sekarang sudah dirapatkan lagi. Shalat berjama'ah kan harus rapaat ..." "Gak Pak, disini masih jaga jarak, kita harus jaga jarak," kata sang imam didukung yang lain.
Saya merasa makin tak nyaman. Imam takbir tapi psikologis saya sudah kacau, merasa shalat saya gak akan bener, pasti akan ngedumel. Saya gak mau shalat dengan hati munafik. "Pergi Moef, jangan shalat disitu!" Suara hati jelas terdengar. Saya pun langsung cabut, pergi meninggalkan jama'ah dan masjid itu dan shalat di masjid lain.
Saat berjalan keluar masjid hati saya plong dan hati pun berkata lagi: "Shalat itu hati harus tumaninah, jangan ada konflik batin yang merusak kualitas shalatmu. Disitu syetan masuk mengacaukan konsentrasi shalatmu." Diluar masjid banyak orang berkumpul ngobrol akrab, pedagang dan pembeli berdesakan. Tak ada perintah berjarak. Lucu.
300 meter dari masjid At-Tauhid itu ada masjid lain, Masjid Adz-Dzikra. Saya masuk dan merasakan auranya bagus dan nyaman. Ternyata shafnya rapat. "Naah ... ini madzhab Nabi bukan madzhab WHO. Ini gua demeen ..." Dan saya pun nikmat shalat disitu.*
(*fb penulis 12-02-2022)