Masalah Legitimasi Hukum IKN Baru

Ibu Kota Nusantara, Masalah Hukum, dan Otorita IKN

Oleh: Adam Setiawan [Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia dan Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda]

Banyak kalangan menilai bahwa pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur merupakan proyek ambisius Presiden Jokowi agar meninggalkan legasi dari pemerintahannya. Terlepas dari hal tersebut, dasar hukum pemindahannya perlu ditimbang.

Dasarnya adalah Undang-Undang Ibu Kota Negara, yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Nama ibu kota baru nanti adalah “Nusantara”. Adapun tujuan dan urgensi pemindahannya sama seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato tahunannya, yakni untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi karena telah terjadi kesenjangan ekonomi antara Jakarta, Jawa, dan luar Jawa. Selain itu, pemindahan ibu kota negara dilatarbelakangi meningkatnya jumlah penduduk, kondisi dan fungsi lingkungan, serta tingkat kenyamanan hidup di Jakarta yang semakin menurun.

Ada beberapa catatan mengenai undang-undang ini. Pertama, ada masalah formal dalam pembentukan undang-undang tersebut. Kedua, masalah hierarki peraturan perundang-undangan. Ketiga, persoalan otorita ibu kota negara.

Jika diamati, proses legislasi Undang-Undang Ibu Kota Negara relatif cepat, hanya dalam waktu 43 hari. Secara logika, rasanya mustahil untuk menyelesaikan pembahasan rancangannya dalam waktu singkat, mengingat ada beberapa hal fundamental yang perlu dikaji secara komprehensif. Maka, tidak mengherankan bila banyak kalangan menilai undang-undang ini dibuat secara tergesa-gesa dan bahkan hanya untuk memenuhi ambisi pemerintah.

Secara yuridis, masyarakat berhak memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan. Namun proses legislasi undang-undang ini tidak memberikan ruang yang terbuka bagi masyarakat, khususnya masyarakat Kalimantan Timur, untuk menyampaikan aspirasinya.

Kendati ada konsultasi publik yang digelar di Universitas Mulawarman, pelaksanaannya dilakukan secara tertutup. Tentunya hal ini melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana digariskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Selain itu, para pembentuk undang-undang ceroboh. Ada kesalahan yang cukup mendasar dalam merumuskan ketentuan penutup. Di sana ada kekeliruan tata urutan peraturan perundang-undang sehingga memunculkan ambiguitas norma. Pasal 30 undang-undang itu menyebutkan bahwa pada saat peraturan presiden mengenai pemindahan status ibu kota negara, dari Jakarta ke ibu kota baru, maka ketentuan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Konstruksi Pasal 30 itu tidak sesuai dengan asas lex superior derogat legi inferior (aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan keberlakuan aturan hukum yang lebih rendah). Konstruksi Pasal 30 itu tidak tepat karena pencabutan suatu peraturan harus dengan peraturan di atas atau setingkatnya. Dengan demikian, pencabutan pasal-pasal pada undang-undang itu haruslah dengan undang-undang juga, bukan peraturan presiden.

Ada pula masalah substansi pada rumusan pasal yang membingungkan. Munculnya pemerintahan khusus ibu kota negara (IKN) yang dipimpin oleh Kepala Otorita IKN dan dibantu oleh seorang wakil kepala otorita yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden. Otorita IKN disebut sebagai lembaga pemerintah yang setingkat kementerian yang dibentuk untuk melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN.

Nomenklatur "otorita" merupakan istilah yang belum familiar di telinga publik. Jika ditelusuri sejarahnya, istilah "otorita" pernah digunakan di era Orde Baru pada 1970, yakni Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan sebutan Badan Otorita Batam sebagai penggerak pembangunan Batam.

Istilah "otorita IKN" akan memunculkan masalah konstitusionalitas karena tidak dikenalnya istilah ini dalam konstitusi. Ini ditambah dengan ketidakjelasan eksistensi Kepala Otorita dan Wakil Kepala Otorita IKN yang, di satu sisi, menjalankan pemerintahan khusus dan, di sisi lain, tidak disebut sebagai kepala daerah. Andai pun kedudukannya disebutkan sebagai lembaga nonkementerian, perlu diperjelas bagaimana koordinasi dan supervisi dengan lembaga kementerian lain, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, alasan pemilihan istilah "otorita" adalah agar mudah melakukan tindakan cepat dan kemampuan mengintegrasikan permasalahan berbagai sektor. Alasan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan pendekatan teknis ketimbang yuridis dan filosofis.

Pasal 18 UUD 1945 hasil amendemen hanya menyebutkan bahwa negara Indonesia dibagi atas provinsi, kabupaten, dan kota yang masing-masing dipimpin oleh gubernur, bupati, dan wali kota. Tidak ada yang namanya otorita.

Bila pemerintah dan DPR tetap hendak menggunakan istilah "otorita", Pasal 18 UUD 1945 itu harus diamendemen lebih dulu. Proses amendemen memang tidaklah mudah, tapi itu jalan terbaik untuk mendapatkan legitimasi hukum.

Selain itu, ada ketidakjelasan masa jabatan dan alasan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN. Pasal 10 Undang-Undang Ibu Kota Negara menyatakan bahwa mereka memegang jabatan selama lima tahun tapi juga dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh presiden sebelum masa jabatan berakhir. Tampaknya, posisi mereka serupa dengan menteri dan wakil menteri yang sewaktu-waktu bisa diberhentikan (reshuffle). Apabila aturan tersebut tetap dipertahankan, perlu dilakukan rekonstruksi secara tegas alasan pemberhentian mereka agar terbebas dari pertimbangan subyektif presiden, yang sewaktu-waktu bisa memberhentikan mereka, dan memberikan jaminan kepastian hukum mengenai alasan pemberhentian.

Apabila hal-hal di atas tetap dipertahankan, mudah dipastikan bahwa kelak Undang-Undang Ibu Kota Negara akan berakhir dengan pengujian formal di Mahkamah Konstitusi. Pemerintah seharusnya mempersiapkan undang-undang ini secara matang, tidak hanya "kejar tayang". Pemerintah seharusnya mengkaji ibu kota negara baru ini secara lebih dalam lebih dulu, melakukan studi perbandingan, dan sosialisasi untuk menyerap aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat Kalimantan Timur.

*Sumber: Koran Tempo, Senin (31/01/2022)
 
Baca juga :