KEJATUHAN GRANADA
2 Januari, 530 tahun lampau tepat. Sebuah airmata kesedihan yang teramat sangat hadir. Sia-sia belaka. Airmata yang bukan penghabisan derita berikutnya di hari-hari penuh persekusi hingga teror lembaga Inkuisisi.
Dr. Fathi Zaghrut (2014) dalam buku "Bencana-bencana Besar dalam Sejarah Islam" menuliskan bagian tragis dari kejatuhan Granada, sebagai penutup episode kekuasaan Muslimin di jazirah Andalusia, dalam awal ulasannya di bab ini:
Istana megah, kota Granada, hari kedua bulan Januari tahun 1492 M, Raja Abdullah Ash-Shaghir meratapi kerajaannya setelah menyerahkan kunci Istana Al-Hambra kepada Raja Kastilia.
Ia kemudian pergi menjauhi ibunya dan menangis di belakang tirai. Ia menangis, karena menyangka sang ibu tidak memperhatikannya.
Namun, ibunya berkata kepadanya, “Menangislah kamu seperti perempuan karena kerajaan yang hilang, yang tidak dapat kamu pertahankan layaknya seorang lelaki!”.
Runtuhnya Granada oleh umat Islam diperingati sebagai hari jatuhnya Andalusia. Sedangkan tempat raja kecil tersebut menangis, oleh orang-orang Spanyol dijadikan obyek wisata hingga kini. Orang-orang Spanyol menyebut tempat tersebut dengan nama Zafrah Al-Arabi Al-Akhirah atau Del Suspiro del Moor (Ratapan Terakhir Bangsa Arab).
Sebenarnya peristiwa tersebut bukanlah ratapan terakhir dan juga bukan hanya terjadi satu kali saja. Kaum muslimin diliputi dengan teriakan meratap yang berulang-ulang: ratapan demi ratapan karena hilangnya kerajaan Arab Islam tersebut yang berdiri di Andalusia dalam kurun waktu sekitar delapan abad.
(Yusuf Maulana)