Agustinus Ungkap Alasan Erick Thohir Mau Jadi Menteri BUMN, Sangat Naif, Alasan Utama Adalah......

[Catatan Agustinus Edy Kristianto]

Media merdeka.com menulis berita berjudul "Blak-blakan Erick Thohir (ET) Tak Minta Jabatan Usai jadi Timses Jokowi" (23/11/2021 - Link). Materinya dari dialog podcast dengan Akbar Faizal (AF).

Sepekan sebelumnya saya juga dialog di podcast itu bicara tentang skandal PCR. Dalam perbincangan dengan AF di balik layar, sambil berseloroh, muncullah istilah PKB. Partai Kawan Boy---maksudnya Garibaldi (Boy) Thohir, kakak ET.

Sebagian besar yang diungkapkan ET dalam berita Merdeka itu cocok dengan informasi yang saya peroleh. Ia memang tak minta jadi menteri, maunya ketua KEIN (Komite Ekonomi Industri Nasional). Maksudnya mungkin mau seperti kebijakan Orde Baru tahun 1980-an, ketika sekelompok pengusaha menjadi 'mitra' pemerintah. Semacam di-endorse. Itu diungkapkan ET, menurut sumber saya, dalam sebuah pertemuan terbatas dengan Presiden Jokowi yang juga dihadiri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Tapi kenapa selanjutnya ia mau menjadi Menteri BUMN, padahal, informasinya, ada sosok Raja Menara (sekarang akhirnya mengurusi laut dan perikanan) yang sebetulnya ngebet memimpin Kementerian BUMN?

Ucapan ET bahwa "seiring waktu bersama Jokowi, Erick mengaku tumbuh kecintaan kepada sosok Jokowi sebagai seorang pemimpin" sebagai alasannya mau menjadi Menteri BUMN, menurut saya, naif

Faktor dorongan dari sang kakak, Boy Thohir, menurut saya, adalah alasan utamanya. Boy dan deretan bisnis-bisnisnya dan kroni-kroninya.

Selanjutnya terjadilah apa yang harus terjadi. Jokowi membuka jalan bagi orkestrasi pejabat-pebisnis dalam kabinetnya. Apa yang selama ini saya tulis menunjukkan kecenderungan itu. Kecenderungan nepotisme yang sekental susu kental manis.

Nepotisme memang bukan barang baru di dalam sistem politik Indonesia. Tapi, dalam kasus kakak-beradik ini, bungkusnya amatlah wangi: berakhlak, transformasi, orang baik, sampai ke urusan peduli toilet. Ia menggandeng pebisnis dari grup usaha yang selama ini dikenal bercitra orang baik juga.

👉Kita bicara skandal salam 5,6 triliun Prakerja, di situ ada Gojek-Tokopedia sebagai salah satu platform digital yang kecipratan dana pelatihan peserta. Boy adalah Komisaris sekaligus pemegang saham GoTo.

👉Kita bicara UU Cipta Kerja, di situ ada Adaro yang kecipratan perpanjangan izin dan jalan mulus memasok batubara bagi perusahaan BUMN listrik. Boy adalah pengurus dan pemegang saham Adaro,

👉Kita bicara Pupuk Indonesia, ada dugaan skandal penghapusan piutang PT Panca Amara Utama (PAU) yang nilainya Rp1,3 triliun dalam proyek bersama PT Rekayasa Industri. Boy adalah Komisaris Utama PAU sekaligus pengurus dan pemegang saham PT Surya Esa Perkasa (ESSA)---pengendali PAU.

👉Kita bicara PCR, ada Yayasan Adaro yang memegang saham PT GSI, sebagai penyedia jasa PCR.

👉Kita bicara mobil listrik dan energi bersih, ada kolaborasi PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yang dimiliki Menko Marives LBP dan GoTo dengan Electrumnya. Ditambah lagi Medco Energi (MEDC)(usahanya Arifin Panigoro) yang sedang menjajaki masuk ke proyek energi terbarukan bersama PLN. Mobil listrik pun, listriknya dari mana? Apakah membutuhkan batubara juga? Bisnis lagi...

👉Kita bicara teknologi digital, ada Telkomsel (anak BUMN Telkom) yang menyuntik GoTo Rp6,7 triliun lebih dan sekarang mau IPO dengan gembar-gembor valuasi Rp500-an triliun.

👉Beberapa yang saya dengar juga mereka ada dalam proyek Mandalika, kereta cepat, ibu kota baru, pembangkit listrik Muriah, hingga lobi investor Timur Tengah untuk 'memanfaatkan' dana di Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebesar Rp75 triliun dari APBN.

Ada kecenderungan aktor dan pola oligarki yang sama dalam pemerintahan Jokowi.

Sebagian besar lini bisnis strategis papan atas di negara ini telah dikuasai kelompok oligarki: energi, digital, konsumen, infrastruktur dll. Mereka membungkusnya dengan istilah ekosistem. Melukisnya dengan gambaran baik dan indah tentang kenyataan yang menyembunyikan praktik-praktik yang diduga menyimpang: perkara yang tidak diusut, lobi kekeluargaan dan kekerabatan di sekeliling presiden, pengaturan pembentukan kebijakan/regulasi, akses terhadap pinjaman/kredit di lembaga keuangan, penempatan pejabat publik yang memuluskan rencana besar bisnis, window-dressing laporan keuangan, permainan di capital market...

Kalau sudah begini adanya, wajar kita bergumam: "Mahal sekali harga yang harus dibayar NKRI untuk sebuah kecintaan ET terhadap Jokowi."

Sangat jauh lebih mahal dari harga sekali pipis di toilet SPBU.

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

___
*Sumber: dari fb Agustinus Edy Kristianto
Baca juga :