Ada Menteri Luhut di bisnis PCR, Refly Harun bongkar kejanggalan: Ini aneh!

[PORTAL-ISLAM.ID]  Nama Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan belakangan bersama Menteri BUMN disebut-sebut terlibat dalam bisnis PCR di Tanah Air. Keduanya ramai diperbincangkan usai disebut-sebut memiliki saham di bisnis alat kesehatan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Luhut tanam saham lewat PT Tobas Sejahtera, sementara Erick Thohir kaitannya dengan bisnis PCR, disebut masuk lewat sang kakak Boy Thoir melalui PT Adaro Bangun Negeri –yayasan afiliasi dari Adaro Energi.

Terkait hal ini Pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun ikut melemparkan pendapatnya. Menurut dia, wajar publik seolah marah, lantaran ada beberapa nama menteri yang disebut ikut mencari cuan ramai-ramai dari bisnis PCR.

Apalagi, belakangan muncul klarifikasi dari Luhut yang menyebut perusahaannya masuk ke sana tak cari untung dari bisnis PCR.

“Jadi kenapa kemudian orang permasalahkan? Karena kekuasaan ada di tangan kanan, perusahaan ada di tingan kiri. Ini bukan soal angkanya, harusnya dia memisahkan kekuasaan dan kepentingan bisnis. Karena orang pasti melihat akan ada benturan kepentingan,” katanya di saluran youtubenya, dikutip Hops.id, Rabu 3 November 2021.

Aneh Luhut di bisnis PCR

Pada kesempatan itu, Refly lantas menyatakan soal keterlibatan Luhut di bisnis PCR. Kata dia, itu tentu tak elok. Karena sebuah prinsip universal tak bisa ditolak. Dia pun berharap agar para pejabat bisa peka soal ini.

Refly lantas menyinggung keanehan soal perusahaan Luhut di bisnis alat kesehatan. Jika mereka tak mencari untung, seharusnya mereka sudah membuat yayasan sosial ketimbang perusahaan.

“Kalau mereka mau bentuk perusahaan tapi tak cari untung, itu aneh. Kenapa enggak buat yayasan sosial saja dalam rangka membantu masyarakat terdampak covid. Sebab kalau sudah perusahaan, kan tujuannya memang cari untung.”

Jika ICW menyebut-nyebut angka perputaran atau untung Rp10 t, menurut Refly itu bukanlah uang yang kecil. Maka menjadi wajar banyak pihak kemudian tergiur untuk masuk ke bisnis kesehatan ini.

Terlebih masa pandemi diprediksi masih akan berlangsung sampai 2024. Bagi Refly, jika negara mewajibkan PCR untuk syarat penerbangan, seharusnya Pemerintah pula yang menanggung biaya PCR.

Dan bukan malah dibebankan kepada rakyat. “Atau paling tidak dengan harga murah dan terjangkau, kalau tambahan Rp100 ribu masih masuk akal, tapi kalau sudah Rp200 smapai Rp300 ribu, orang akan terasa, dan harus dipersoalkan juga, karena tambahannya lumayan.”

Bisnis karantina

Dia kemudian menyinggung aroma bisnis aneh di karantina. Menurutnya, orang yang baru pulang dari luar negeri lalu dikarantina juga aneh. Karena mekanismenya tak jelas.

“Itu bau-bau bisnisnya jelas, termasuk hotel-hotel yang ikut partisipasi, terkesan formalitas saja. Sebagai contoh orang diantar hotel, lalu tak ada kontrol apakah dia betul ketemu pihak hotel,” katanya.[hops]
Baca juga :