[PORTAL-ISLAM.ID] BOGOR - Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB, Prof. Dr. Didin Damanhuri menyebut Indonesia menjadi contoh buruk penanganan virus Corona (COVID-19). Ada beberapa hal yang mendasari pernyataannya.
Pertama, pemerintah justru meningkatkan anggaran infrastruktur pada APBN 2021. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur tahun ini sebesar Rp 417,8 triliun. Anggaran tersebut naik sekitar 48% dari Rp 281,1 triliun di tahun 2020.
"Dan diturunkannya anggaran-anggaran kesehatan yang drastis, kemudian juga anggaran bantuan sosial," kata dia dalam webinar, Jumat (9/7/2021), seperti dikutip dari detikcom.
Kemudian yang lebih dahsyatnya lagi, lanjut dia, pemerintah juga tergoda untuk rem dan gas antara kesehatan dan ekonomi di tengah penanganan virus Corona.
"Jadi gaspol, semua buka kembali, mal, bahkan pariwisata, dan kemudian juga kegiatan ekonomi besar, termasuk perdebatan memulainya pembangunan ibu kota baru," lanjutnya.
"Menurut saya memang nasib negara yang berpenduduk besar dengan demokrasi yang belum matang di Indonesia ini punya konsekuensi, di mana tata kelola itu menjadi tidak solid, jadi kontroversi pusat dan daerah," paparnya.
Kemudian, pelaku bisnis menurutnya telah menekan pemerintah agar kegiatan usaha dibuka secepatnya.
"Karena ada tesis superimpose antara kesehatan dan ekonomi ini, boleh bersamaan gitu, yang menurut saya itu agak bertentangan dengan pengalaman penanganan krisis yang tidak fokus kepada sisi permintaan itu," jelas Didin.
Pemerintah dinilai menganggap enteng dalam penanganan virus Corona.
Terlebih ketika terjadi penularan besar-besaran COVID-19 di India, dia menilai pemerintah seperti menganggap enteng adanya gelombang migran dari India ke Indonesia. Padahal di negara tersebut sedang dilanda COVID-19 varian Delta.
"Dan ini konon kalau menurut ahli bahwa sekarang ini 90% saya kutip bahwa varian Delta inilah yang kemudian membuat, bukan hanya soal ada libur panjang, tahun baru, kemudian Idul Fitri, tapi adanya varian Delta inilah yang membuat Indonesia sekarang kemarin kasus hariannya 38.000 dan kematian di atas 1000. Praktis kita menjadi tertinggi di dunia," jelasnya.
Menurutnya Indonesia tidak terlalu siap menghadapi sebuah krisis besar, dalam hal ini penyakit sekaligus ekonomi yang diakibatkan COVID-19.
"Belum lagi terjadi kontroversi, misalnya bulan Mei, daerah (DKI Jakarta -red) sudah mengusulkan supaya ada pengetatan tapi ditolak oleh (pemerintah) pusat. Jadi hubungan pusat dan daerah ini juga belum selesai di dalam era desentralisasi dan demokrasi ini," ujarnya.
"Jadi saya kira problem governance di dalam era demokrasi ini, apalagi menghadapi krisis besar penyakit dan ekonomi sekaligus, Indonesia rupanya menjadi salah satu negara yang contoh buruk, di dalam akhirnya dampaknya sekarang menjadi negara yang tertinggi dari kasus harian maupun jumlah yang meningga," ungkap Didin. (*)