Pak Mahfud, Buku Putih Itu Bukti Pelanggaran HAM Berat

[PORTAL-ISLAM.ID]  “Buku ini memberikan arahan yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat. Informasi dan kajian yang dipaparkan pada buku ini dapat dijadikan dasar bagi Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan “pro yustisia” yang sebenarnya belum pernah dilakukannya.”

[Buku Putih, hal. 16]

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan sejak awal pemerintah memang menyampaikan tak ada bukti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan Polri atas terbunuhnya enam Laskar Pembela Islam akhir tahun 2020 lalu. Hal ini telah disampaikan kepada Amien Rais dan tim TP3 saat mereka bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara beberapa waktu lalu.

“Ketika Pak Amien dan TP3 bertemu dengan Presiden, Pemerintah juga sudah mengatakan bahwa Komnas HAM tidak menemukan terjadinya Pelanggaran HAM Berat,” begitu ungkap Mahfud. (8/7).

Selanjutnya, Mahfud MD menyampaikan rasa terima kasih kepada Amien Rais yang disebut mengakui  TNI-Polri secara lembaga tidak terlibat dalam kasus penembakan terhadap enam anggota laskar FPI. Berdasarkan hal itu, Mahfud menyimpulkan peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI bukan Pelanggaran HAM berat melainkan kejahatan biasa.

Sebelumnya, Amien Rais yang juga bagian dari Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) yang menginvestigasi kasus laskar FPI secara independen, menilai Polri dan TNI secara kelembagaan tak terlibat dalam pembunuhan terhadap enam Laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50. Hal itu ia sampaikan saat meluncurkan ‘Buku Putih’ yang berisikan data dan fakta terkait pembunuhan enam laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50, Rabu (7/7), secara virtual.

“Setelah membaca dengan baik, secara kelembagaan, ini penting, Polri dan TNI sama sekali tak terlibat dalam skenario dalam implementasi pelanggaran HAM berat itu,” kata Amien. (7/7).

Pernyataan Amien Rais inilah, yang dijadikan dalih oleh Menkopolhukam Mahfud MD untuk membuatnya simpulan tidak adanya pelanggaran HAM berat atas kasus pembunuhan 6 anggota laskar FPI.

Untuk meluruskan pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, perlu untuk ditegaskan ulang hal-hal sebagai berikut :

Pertama, Amien Rais tidak pernah menyampaikan tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus pembunuhan 6 anggota laskar FPI. Amien Rais hanya menyatakan Polri dan TNI sama sekali tak terlibat dalam skenario dalam implementasi pelanggaran HAM berat itu.

Itu artinya, pelanggaran HAM berat terjadi namun implementasinya tidak dilakukan oleh TNI dan Polri secara kelembagaan. Pernyataan ini sejalan dengan temuan BUKU PUTIH yang menyatakan :

“Temuan TP3 menyatakan dengan tegas bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal HRS di KM 50 adalah bukan polisi, namun yakni aparatur negara.”

Secara lengkap, dalam BUKU PUTIH halaman 6-7 dijelaskan :

“Temuan TP3 menyatakan dengan tegas bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap enam pengawal HRS di KM 50 adalah bukan polisi, namun yakni aparatur negara. Temuan TP3 ini berdasarkan kajian bahwa jika yang melakukan pembunuhan adalah polisi, maka perlakuan terhadap korban pembunuhan tidak akan seperti yang dilakukan terhadap mayat enam pengawal HRS, dimana mayat-mayat tersebut langsung diangkut dan kemudian dilakukan operasi bedah mayat tanpa lebih dahulu memberitahukan keluarga. Sebab, jika yang melakukan pembunuhan tersebut adalah polisi, maka polisi akan sangat berkepentingan untuk menjaga Tempat Kejadian Perkara (TKP) steril dengan memberi garis polisi (police line). Ini penting bagi polisi dalam rangka pengamanan barang bukti untuk kepentingan olah TKP guna penyelidikan berikutnya. Ternyata tidak demikian, yang dilakukan oleh para pembunuh tersebut. Mereka bukan menjaga TKP namun justru merusak TKP dengan memindahkan posisi mayat, melenyapkan kios-kios di rest area KM 50 jalan raya tol Jakarta-Cikampek, dan merekayasa barang bukti. Sehingga yang terkesan adalah mereka ingin menghilangkan jejak (Lihat Lampiran Catatan IV, V, dan VI).”

Kedua, memang benar BUKU PUTIH menyebut Polisi secara institusi tidak terlibat sebagai eksekutor dalam pembunuhan 6 Laskar FPI, tetapi mengungkap adanya Aparatur Negara yang menjalankan misi pembunuhan. Temuan ini, justru mengkonfirmasi adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif menggunakan Aparatur Negara sebagai eksekutor, sementara Kepolisian adalah bagian dari peristiwa yang tidak dapat terpisahkan.

Karena itu, pernyataan Mahfud MD soal tidak adanya pelanggaran HAM berat mengada-ada, kental motif ingin ‘cuci tangan’ dari kasus ini, sehingga rekomendasi agar Komnas HAM melakukan penyidikan berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tidak dapat dieksekusi.

Ketiga, Tujuan TP3 dibentuk selain untuk memantau peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI juga dalam rangka untuk mengungkap adanya pelanggaran HAM berat dan bentuk kounter secara independen atas temuan Komnas HAM yang hanya menemukan pelanggaran HAM dan bukan pelanggaran HAM berat. Jadi aneh, kalau statement Amien Rais dijadikan legitimasi untuk meniadakan unsur pelanggaran HAM berat pada kasus pembunuhan 6 anggota laskar FPI.

Keempat, BUKU PUTIH tersebut justru diterbitkan agar menjadi bukti untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat dan memproses perkara pembunuhan 6 anggota laskar FPI dengan ketentuan UU No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dalam halaman 16 buku putih, tegas dinyatakan :

“Bukti lain bahwa polisi hanya dijadikan bagian dari rencana penghilangan jejak adalah ketika polisi menjadikan enam pengawal HRS yang sudah meninggal sebagai tersangka, kemudian meralatnya. Belakangan polisi menetapkan 3 tersangka polisi, dimana satu di antaranya dinyatakan telah meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Ada pun yang aneh dalam penetapan tersangka ini tidak ada penahanan atas tersangka pembunuhan. Sungguh ironis tersangka pelanggar protokol kesehatan diburu dan dipenjara, sementara tersangka pembunuh seolah dilindungi.”

“Rencana sistematis untuk menghilangkan jejak, ternyata melibatkan juga lembaga negara lain, yaitu Komnas HAM. Seharusnya Komnas HAM melakukan penyelidikan atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Akan tetapi, ternyata Komnas HAM hanya melakukan kegiatan pemantauan berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999. Apa yang dilakukan oleh Komnas HAM ini menjauhkan proses hukum dari terlaksananya pengadilan HAM atas peristiwa pembunuhan enam pengawal HRS di KM 50 (Lihat Lampiran Catatan X dan XI).”

‘Buku ini memberikan arahan yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat. Informasi dan kajian yang dipaparkan pada buku ini dapat dijadikan dasar bagi Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan “pro yustisia” yang sebenarnya belum pernah dilakukannya.”

Jadi, darimana dasarnya Mahfud MD menyebut tidak ada pelanggaran HAM berat ? Sudahlah Pak Mahfud, jika tidak mau bicara tentang kebenaran jangan menghalangi atau mengaburkan upaya umat Islam untuk mengungkap kebenaran. Sudah cukup kezaliman yang dilakukan rezim Jokowi, jangan menambah dosa dengan melegitimasi kezaliman dengan menutupi kebenaran.

Ahmad Khozinudin, S.H.
(Advokat, Aktivis Gerakan Islam)
Baca juga :