Asyiknya perjalanan haji tempo dulu...
Irfan Hamka -dalam bukunya berjudul 'Ayah..'- bercerita bahwa beliau pernah menemani sang ayah pergi haji.
Kisahnya unik, bermula dari penghargaan Soeharto kepada sosok Buya Hamka sehingga diberangkatkan haji. Kemudian ada fragmen sesaat sebelum berangkat, Buya didatangi utusan Ali Sadikin untuk melegalisasi judi dan pelacuran. 😁
Nyambung ini sama kisahnya Bang Ali yang ketika itu memang sedang cari duit buat benerin Jakarta.
Tapi itu bukan bahasan kita kali ini.
Bahasan kita adalah tentang bagaimana perjalanan haji di akhir tahun 1960an.
Rombongan Buya Hamka berangkat dari Tanjung Priok. Dari Priok mereka naik kapal menuju Teluk Bayur. Di Teluk Bayur kapal berlabuh. Penumpang boleh turun dan bisa bertemu dengan sanak famili bagi yang berasal dari Sumatera Barat.
Dari Teluk Bayur, kapal kembali berlayar ke Belawan, Sumatera Utara. Kalau lihat di peta, berarti mutar Aceh dulu itu bang. Karena Belawan ada di sisi timur Pulau Sumatera. sedangkan Teluk Bayur di baratnya.
Di Belawan, penumpang boleh turun. Buya Hamka dan anaknya sempat kulineran dulu di Medan 😅.
Setelah dari Belawan, kapal berlayar lagi sampai Colombo, Srilanka. Zaman itu boleh turun tanpa visa. Buya Hamka sempat jalan² di Colombo mencari komunitas muslim dari tanah Jawa di sana.
Setelah itu kapal berlayar menuju Jeddah. Irfan Hamka mencatat bahwa ada seorang jamaah dari Jawa Barat yang wafat kemudian dimakamkan dengan cara jasadnya dijorokkan ke tengah laut.
Lucunya dalam perjalanan ini, banyak calon haji ini yang merupakan pasangan suami-istri. Belasan hari di atas kapal dalam ruangan yang kurang privasinya membuat mereka mencari akal bagaimana agar rumah tangga tetap harmonis. Anda bisa baca lengkapnya di buku.
Nah.. Ketika masuk laut merah, tampak pemandangan indah.. di sisi timur tampak jazirah Arab.. di sisi baratnya Afrika.
Ketika kapal akan segera sejajar dengan posisi Yalamlam, penumpang mulai pakai ihrom.
Sampai di Jeddah, mereka turun. Barang² mereka siap diangkut oleh kuli² berbangsa Arab. Belum ada Banggali bhay ketika itu.
Lucunya karena pakaian kuli ini bergamis dan bersurban, jamaah Indonesia memeluk dan menciumi tangan mereka. Sampai ada yang bilang, "Gue kira habib. Habib biasanya wangi², ini kok baunya beda.. rupanya kuli" 😁
Setelah itu jamaah dibawa ke rumah² penampungan haji yang sudah diurus oleh Departemen Agama RI. Belum ada hotel ketika itu. Rumah penampungan haji yang ditinggali Buya Hamka sekeluarga adalah milik seorang saudagar Bugis yang sudah menikah dengan wanita Arab.
Perjalanan yang begitu mengesankan yang tak lagi dirasa di masa sekarang.
Baca selengkapnya di buku Irfan Hamka 'Ayah'.
(By Wira Bachrun)