BANGSATNYA INSAN PERS INDONESIA
Oleh: Setiawan Budi
Ada sisi positif dari banyaknya masyarakat yang melek perkembangan politik saat ini. Mereka jadi peduli dan tau apa yang dilakukan oleh pejabat negara. Keikutsertaan mereka yang terus meningkat, juga dikarenakan jejaring informasi yang mudah diakses dalam kondisi dan situasi apapun.
Dengan gawai di tangan, apapun informasi yang tersebarkan tentang dunia politik bisa kita dapatkan.
Sisi negatifnya dari banyaknya masyarakat yang ikut berbicara perkembangan politik itu, hanya 30% yang melakukan cek dan ricek atas sebuah pemberitaan untuk kemudian mengambil kesimpulan dari referensi yang mereka dapatkan.
70% sisanya ini adalah pasar yang menggiurkan bagi media berita, sebagai tambang keuntungan atas informasi yang mereka sebarkan.
Dulu keuntungan media dihitung melalui oplah yang terjual. Semakin tinggi jumlah oplah koran yang terjual, semakin banyak keuntungan yang didapatkan. Sekarang koran bukan lagi pilihan utama masyarakat dalam membaca berita, sudah ada media online yang menggantikannya.
Pemberitaan media online semakin gencar kala media sosial ikut menjadi partner marketingnya. Share demi share yang dilakukan media sosial, membuat pemberitaannya ikut terbaca lebih luas oleh netizen Indonesia yang kabarnya mencapai jumlah 180 juta orang.
Dulu dihitung dengan oplah, sekarang dihitung dengan viewer. Semakin banyak yang melakukan klik pada beritanya, maka akan semakin banyak juga keuntungan media online tersebut.
Karena hal itulah terkadang media berita online lebih mengejar target klik pembaca, dibandikan tujuan yang ingin disampaikannya. Terlalu banyak media berita justru membuat judul sensasional, tapi ketepatan dan keakuratan informasi yang dibawa masih bersifat abu-abu atau belum bisa dikatakan valid.
Jeleknya netizen Indonesia adalah selalu tertarik dengan judul bombastis, tapi tidak memahami korelasi judul dan isi. Bahkan netizen Indonesia terlalu percaya atas apa yang diberitakan media, tanpa perlu melakukan telaah atas apa yang disampaikan.
Dan jumlahnya ada 70% tadi. Selain kurangnya cek dan ricek, sebagian mayarakat yang 70% itu malah menjadikan pemberitaan untuk saling menjatuhkan pihak lawan. Jika ini yang jadi acuan, maka berita bohong pun akan mereka anggap benar, walau faktanya tidak benar.
Pemilik media-media online seperti merasakan surga berada di Indonesia.
Kapabilitas wartawan tidak perlu cerdas, berwawasan luas, dan mampu menggali informasi dari narasumber. Yang diperlukan adalah wartawan yang berani membuat berita bombastis agar keuntungan perusahaan bisa didapatkan. Bodoh gak apa, asal berani mengembangkan sebuah cerita.
Perkataan Anies ini (lihat video dibawah) adalah sindiran pada media bersama para jurnalisnya. Para jurnalis dalam kerjanya dilindungi oleh UU. Dengan kekuatan hukum yang mereka punya, jurnalis malah tidak memanfaatkannya. Mereka bekerja malah lebih ganas dari para buzzer yang suka melempar isu tak bertuan.
Bukannya melakukan investigasi, malah seperti KUNYUK yang ikut melempar buah.
Setelah meramaikan, lalu mereka enteng bicara jika tidak berkenan silahkan lapor pada Dewan Pers untuk ajukan keberatan. Insan pers sangat berperan dalam mencerdaskan bangsa. Jika cara mereka seperti ini, bukan kecerdasan yang menjadi tujuan. Melainkan kebodohan demi mengejar keuntungan.
Begitu bangsatnya insan pers kita..
[Video]
Ini ngegampar media2 mainstream milik para cukong2 oligarki yg selama ini tugasnya jadi buzzer u/ downgrade & ancurin image Anies;
— demoKrasi bodong (@BadutPolitikus) May 24, 2021
“Kalau ada berita spt itu dikejar dong, biar infonya lbh lengkap, tugas media itu membuktikan kebenaran yg ditulis”
Keren😎pic.twitter.com/7GUVqIrOM4