[PORTAL-ISLAM.ID] ICW memberikan respons atas tuntutan yang dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap dua penyuap eks Menteri Sosial Juliari Batubara.
Direktur Utama PT Tigapilar Agro Utama, Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry van Sidabukke hanya dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan.
Terkait hal itu, ICW mengatakan tuntutan itu sangat rendah dan menciderai hati masyarakat yang terdampak COVID-19 khususnya di Jabodetabek. Sebab bantuan sosial terhadap mereka malah dijadikan ladang korupsi oleh Juliari.
"Namun, permasalahan utama dari rendahnya tuntutan itu sebenarnya berada pada pengaturan pemberi suap dalam UU Tipikor. Sebab, regulasi itu hanya memungkinkan pemberi suap dijatuhi pidana maksimal lima tahun penjara (Pasal 5)," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (20/4/2021).
Kurnia menjelaskan, dalam keadaan tertentu, misalnya seperti yang dilakukan oleh dua terdakwa, mereka seharusnya bisa dijatuhi hukuman maksimal atau setidaknya di atas 10 tahun penjara.
"Namun, di luar problematika regulasi, semestinya tuntutan penuntut umum dapat menjangkau pidana penjara maksimal pada Pasal 5 yakni lima tahun penjara," ucap Kurnia.
"Selain itu, pengenaan denda juga tidak maksimal. Harusnya, dua pelaku suap itu dikenakan tuntutan denda sebesar Rp 250 juta, bukan cuma Rp 100 juta," tambah dia.
Kurnia menuturkan, ICW sejak awal memang tidak meyakini KPK akan berpihak pada masyarakat dengan menuntaskan penanganan korupsi bansos ini. Sebab, sejak fase penyidikan ICW sudah menemukan ada banyak kejanggalan dalam kinerja penindakan KPK.
"Misalnya, KPK enggan untuk memanggil Herman Herry sebagai saksi. Padahal, terbukti, dari pengakuan salah seorang saksi, telah membeberkan informasi bahwa politisi PDIP itu mendapatkan kuota besar dari proyek pengadaan bansos ini," kata Kurnia.
"Selanjutnya dalam beberapa kali proses penggeledahan, KPK juga gagal menemukan barang bukti. Pada konteks ini, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak internal KPK yang membocorkan informasi atau memperlambat proses penggeledahan," tambah dia.
ICW melihat penanganan perkara ini semakin diperparah dalam fase penuntutan. Sebagai contoh, JPU KPK tidak memasukkan nama Ihsan Yunus dalam surat dakwaan. Lalu Yogas yang pada awalnya disebut sebagai perantara Ihsan Yunus hilang dalam dakwaan.
"Padahal nama Ihsan Yunus dan Yogas secara clear terlihat oleh publik pada forum rekonstruksi yang dilakukan oleh Penyidik. Selanjutnya, pada forum persidangan pun Herman Herry tidak kunjung dimintai keterangan sebagai saksi," ucap Kurnia.
Namun terlepas dari tuntutan dua penyuap Juliari, ICW tidak ingin ada nama yang kembali hilang dalam surat dakwaan seperti Herman Herry dan Ihsan Yunus. Sebab dua nama itu dalam persidangan disebut mendapatkan kuota besar pengadaan bansos di Kemensos.
"Penting untuk diingat bahwa syarat objektif surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 KUHAP adalah menerangkan secara cermat, jelas, dan lengkap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa," kata Kurnia.
"Untuk itu, menjadi kewajiban bagi penuntut umum untuk menjelaskan detail perkara ini dalam surat dakwaan, bukan justru ikut-ikutan berkomplotan dengan menghilangkan nama maupun peran pihak-pihak lain," tutup dia.
(Kumparan)