Dahnil dan Peneguhan Sikap: Dirinya Hidup di Kolam yang Sama
Oleh: Ady Amar*
DAHNIL Anzar Simanjuntak juru bicara (jubir) Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, jadi berita nasional. Tentu dibicarakan bukanlah prestasinya. Tetapi adabnya melupakan sejarah yang seumur jagung. Tidak itu saja, bahkan melukai persahabatan.
Dahnil dibicarakan karena mampu “menginjak” Habib Rizieq Shihab dengan pernyataan mengecilkannya, sembari membesarkan diri pernah membantu HRS, tapi justru ia tidak pernah dibantu.
Kapan ia pernah membantu HRS, tidak ada yang tahu persis. Rasanya tidak ada pernyataan keberatan darinya berkenaan dengan penahanan dan peradilan yang dialami HRS. Kalau HRS tidak pernah membantunya, ya itu hal wajar, kan HRS dipenjara. Masa manusia bebas macam Danil itu masih perlu bantuan HRS?
Tapi kalau HRS membela Pak Prabowo Subianto saat Pilpres 2019 lalu, itu sih bukan rahasia umum. Itu sejarah. Kalau tidak ada seruan HRS untuk memutihkan GBK pada kampanye putaran terakhir, apa sanggup Partai Gerindra bisa datangkan umat sebegitu banyak.
Ada apa sebenarnya dengan Dahnil atas pernyataan menyerangnya itu, apa faedahnya buatnya apalagi buat sang Bos, Prabowo Subianto. Maka spekulasi muncul, bahwa ia ingin menegaskan posisinya saat ini seratus persen ada di pihak rezim.
Dahnil ingin dilihat sebagai pribadi yang sudah total ada di barisan rezim. Ia bukanlah Dahnil yang dulu yang “berperang” melawan Jokowi dalam Pilpres 2019. Sikap itu perlu ditunjukkannya, agar tidak ada keraguan.
Maka “mengecilkan” HRS dengan pernyataannya itu menurutnya langkah strategis, setidaknya untuk diri sendiri. Tentu tidak bagi Prabowo, jika nantinya akan maju lagi menjajal nasib dalam Pilpres 2024. Pernyataannya itu mau tidak mau menempel pada Pak Prabowo, meski pernyataan itu keluar dari mulutnya.
Tentu umat akan mengingatnya, menyimpannya dalam-dalam, mustahil bisa melupakan, dan tersirat seolah ia mengatakan, bahwa Prabowo sudah tidak butuh ulama lagi. Sudah tidak lagi butuh ijtima’ yang sampai berjilid-jilid.
Pernyataan Dahnil Anzar Simanjuntak itu menjadi ramai, karena tidak banyak yang mempercayai bahwa ia bisa melakukan sikap lewat pernyataan setega itu. Dahnil memang berpenampilan kalem. Jika berbicara mendayu-dayu, dengan aksen dan intonasi khasnya yang kenes kemayu.
Tapi pernyataannya lewat media sosial Facebook, dan apalagi di bulan Ramadhan, mengecilkan seorang ulama, Habib Rizieq, yang sedang tertimpa musibah. Bukannya empati yang ditunjukkan malah sebaliknya.
Apa yang dikatakannya itu menjawab pertanyaan warganet, mengenai banyaknya TNI yang menurunkan spanduk Habib Rizieq.
Maka Dahnil memjawab pertanyaan itu, “Dia siapa? Bukan siapa-siapa? Bagi saya justru saya yang bantu dan bela imam mu dulu, tapi sebaliknya dia tidak berkontribusi untuk membantu saya. Persamaannya saya pernah melawan Ahok sama dengan dia, dan dia pernah dukung PS sama dengan saya. Selebihnya saya bantu hak-hak dia, tapi dia tidak pernah bantu hak-hak saya, itu terang jelas ya,” tulis Dahnil.
Tampak Dahnil mau menyejajarkan diri dengan Habib Rizieq, bahkan dia lebih mulia pernah bantu hak-hak Habib Rizieq. Hak-hak apa yang ia pernah bantu tidak jelas. Habib Rizieq diperlakukan dengan ketidakadilan pun ia sama dengan sang Bos, Prabowo, tidak sedikit pun ada komentar pembelaan.
Jika tidak bisa membantu karena kondisi tidak memungkinkan, maka memilih sikap diam adalah bijak. Bukan tidak dapat membantu, tapi malah menginjak kaki dengan pernyataan merendahkan, Habib Rizieq bukan siapa-siapa?
Jabatan sebagai jubir Pak Prabowo, di Kemenhan, tampaknya itu jabatan yang bisa menumpulkan nurani seorang Dahnil. Ternyata ujian jabatan sebagai jubir saja, jabatan yang sewaktu-waktu bisa dicopot, sudah bisa tampakkan keaslian wataknya. Orang lalu ramai-ramai menjulukinya songong, bahkan jadi trending: #DahnilAnzarSongong.
Pernyataan Dahnil itu seperti ia kentut di area publik dengan disadarinya. Pernyataan politis untuk kepentingan diri sendiri, lalu memilih ada di barisan ganyang HRS. Menurutnya itu perlu untuk mengukuhkan, bahwa dirinya ada di kolam yang sama, berenang dengan mereka yang sejak lama tinggal di kolam itu. Wallahu a’lam.
*Kolumnis, tinggal di Surabaya
(Sumber: Hidayatullah)