Wacana Jabatan Presiden 3 Periode, Ini Tanggapan Prof. Yusril Ihza Mahendra

Jabatan Presiden 3 Periode

Ada pertanyaan dari wartawan salah satu media online, Pagi prof Yusril, izin saya dika wartawan kumparan.com.

Izin minta tanggapannya prof terkait wacana untuk memperpanjang masa bakti seorang presiden hingga maksimal 3 periode kepemimpinan. Dari segi kacamata hukum tata negara apa hal itu dibolehkan prof mengingat sejak pak harto lengser kan indonesia sudah mulai menerapkan aturan maksimal 2 periode.

Jika bisa prosedur apa prof yang kira-kira harus ditempuh? Perubahan terhadap UUD kah atau seperti apa prof? Izin pencerahannya prof 🙇🏻‍♂️🙏

Jawab:

Ketentuan dalam Pasal 7 UUD 45 sebelum amandemen yang mengatakan “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali” memang bersifat multi tafsir. Dimasa Presiden Sukarno jabatan itu dipegang lebih dari sepuluh tahun. Di masa Presiden Suharto bahkan lebih dari 30 tahun, setelah dipilih kembali setiap 5 tahun tanpa ada batasnya. Di era Reformasi, norma Pasal 7 UUD 45 itu diamandemen sehingga berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Dengan amandemen pertama UUD 45 (1999) yang mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 45, maka sifat multi tafsir itu menjadi hilang. Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat maksimum dua kali peiode jabatan, yakni selama 10 tahun. Tidak ada tafsir lain lagi. Dengan perubahan di atas, maka mustahil akan ada seorang Presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut.

Perubahan UUD memang bisa terjadi melalui “konvensi ketatanegaran”. Teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks. Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan kita berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada bulan Oktober 1945. Perubahan itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat.

Namun di zaman sekarang nampaknya akan sulit untuk menciptakan konvensi semacam itu, mengingat banyak faktor: trauma langgengnya kekuasaan di tangan 1 orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan-badan perwakilan maupun di luarnya. Apalagi di zaman kebebasan berekspressi dan kebebasan media sekarang ini, penolakan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat.

Jangan dilupakan juga, sekarang ada Mahkamah Konstitusi yang melalui proses uji materil, bisa menilai apakah tindakan penyelenggara negara konstitusional atau tidak. Orang bisa mempersoalkan masa jabatan periode ketiga dengan cara konvensi tersebut di Mahkamah Konstitusi. Lain halnya jika terjadi amandemen oleh MPR atas norma Pasal 7 UUD 45, maka Mahkamah Konstitusi tidak bisa berbuat apa-apa.

(Yusril Ihza Mahendra)

Baca juga :