Tidak Dihadirkan di Persidangan, Itu karena Lisannya yang Bak Sembilu

Tidak Dihadirkan di Persidangan, Itu karena Lisannya yang Bak Sembilu

Oleh: Ady Amar*

Jika bicara runtut, intonasi yang terjaga, dan memukau. Terkadang ia bicara lembut bak sutera, tapi pada saat yang lain nada suaranya menaik dan naik lagi... keras menggelegar.

Bicara tanpa teks dengan durasi waktu yang panjang, mampu ia lakukan, dan menggelorakan semangat. Pekikan takbir yang keluar dari lisannya seolah membangkitkan kesadaran bahwa semuanya kecil, kecuali Rabb semesta.

Karenanya lalu coba diperbandingkan, kenapa Djoko Tjandra dan Irjen Polisi Napoleon Bonaparte bisa hadir di persidangan, kenapa ia, Habib Rizieq Shihab, tidak disidangkan dengan hadir di persidangan.

Pandemi Covid-19, jadi alasan tidak diperkenankannya Habib Rizieq hadir langsung di persidangan. Maka persidangan untuknya dikhususkan melalui virtual/online, yang tentu ini mengebiri haknya selaku terdakwa untuk hadir di persidangan.

Habib Rizieq tetap tidak akan mau menghadiri sidang di mana dirinya berada di Bareskrim Polri, dan pihak hakim, jaksa dan pembelanya berada di gedung pengadilan. Pada sidang hari pertama, permintaan untuk dihadirkan di ruang sidang mengemuka, dan terjadi kendala audio di mana Habib Rizieq tidak mendengar suara pembelanya.

Masalah audio bisa sewaktu-waktu menemui kendala teknis, dan tentu jika pada pembahasan masalah krusial yang tengah disampaikan tiba-tiba audio tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dan ini akan merugikan pihak terdakwa. Maka pantas ia bersikeras minta dihadirkan di persidangan, disamping itu haknya, juga antisipasi kemungkinan yang bisa terjadi.

Maka, ungkapan mengharukan keluar dari mulutnya, sekalipun ia dipaksa dan ditembak kepalanya sekalipun, ia tetap tidak akan mengikuti jalannya sidang online. Ia akan hadir jika fisiknya dihadirkan di ruang sidang, bukan di Bareskrim.

Upaya membujuk Habib Rizieq oleh pihak kejaksaan di Bareskrim pada Rabu malam, meminta tanda tangan kesediaannya untuk mengikuti persidangan virtual, ditolaknya.

Silahkan jika tanpa kehadirannya persidangan akan tetap dilangsungkan, katanya. Ia siap meski vonis dijatuhkan dengan hukuman seumur hidup, atau bahkan hukuman mati sekalipun.

Lisan yang Tajam

Habib Rizieq itu memukau dan menggelegar, dan pastinya ia akan bicara bagaimana kezaliman negara terhadap dirinya. Ia akan bicara terbuka, dan itu menakutkan.

Apakah tidak bisa ia berbicara terbuka, meski sidang dengan virtual, tentu dikhawatiran jika tiba-tiba kendala audio, karena alasan teknis atau sabotase, seperti anggota DPR-RI yang bicara kritis lalu audio tiba-tiba dimatikan.

Kecenderungan itu ada, dan karenanya terdakwa tidak ingin dirugikan haknya untuk bicara sebagai terdakwa. Membela diri itu hak pribadi terdakwa, tidak boleh ada yang mengganjal. Justru negara mestinya memfasilitasi warganya mencari keadilan, bukan menghambatnya.

Dalam kasus Habib Rizieq, pada persidangan pertama, tampak negara justru menghalangi pencarian keadilan itu. Perdebatan antara pembela dan hakim, juga jaksa, mempertontonkan bagaimana negara, yang diwakili jaksa penuntut umum, tidak ingin terdakwa dihadirkan langsung di pengadilan.

Padahal jelas-jelas persoalan audio di sidang pertama saja sudah tampak merugikan pihak terdakwa, dan keraguan itu bisa difahami, yang bisa saja akan terjadi di persidangan-persidangan berikutnya.

Maka pertanyaan muncul, kenapa Habib Rizieq tidak saja dihadirkan di ruang sidang pengadilan, sebagaimana yang sudah dilakukan yang lain? Jawabnya, negara tidak siap menghadapi seorang Habib Rizieq.

Tidak siap berargumentasi mempertahankan keyakinan pada pasal-pasal yang akan disangkakan pada terdakwa. Padahal di pengadilan itulah pasal-pasal yang dikenakan itu diuji. Dan hak terdakwa untuk menyanggah, jika ditemukan hal-hal tidak sebenarnya.

Ada ungkapan Habib Rizieq yang mengatakan, ada diskriminasi hukum atas dirinya. Kenapa Irjen Napoleon Bonaparte bisa dihadirkan di pengadilan, sedang dirinya tidak diperlakukan yang sama. Tentu masalahnya beda.

Pada kasus Habib Rizieq ini bukan sekadar masalah hukum semata, tapi menyeret banyak masalah kemanusiaan menyertainya, dan itu yang ditakutkan akan dibongkar dengan lisannya yang tajam bak sembilu. Itu menakutkan.

*Sumber: Hidayatullah
Baca juga :