Peradilan Sesat Kasus HRS

Ditulis oleh M Rizal Fadillah

Proses peradilan HRS menjadi menarik akibat dijalankan dalam situasi yang tidak normal yaitu dilaksanakan secara online. Cara ini meski bukan hanya berlaku untuk HRS tetapi “kena batunya” di saat peradilan untuk HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Baru dalam sejarah pelaksanaan peradilan online berdasar Perma No 4 tahun ,2020 ini mendapat perlawanan sengit dari terdakwa.

Peradilan sesat bukan diksi baru tetapi menjadi populer di kancah hukum yang intinya adalah terjadi kesalahan dalam vonis maupun proses peradilan. Kesalahan yang membahayakan atau merugikan seorang terdakwa. Peradilan sesat atau rechterlijke dwaling atau miscarriage of justice harus dicegah karena akan menggagalkan maksud dan tujuan peradilan tersebut yang menurut Gustav Radburg di samping untuk kepastian juga keadilan dan manfaat hukum.

Kasus yang menimpa HRS yang diadili di PN Jakarta Timur ini dipastikan akan menjadi peradilan sesat. Fenomenanya terasa sejak awal proses penyidikan. Begitu juga dengan perilaku pemaksaan oleh pihak Penuntut Umum. Ini mengingatkan dahulu ada pandangan Komite KUHAP yang menyatakan bahwa tindakan aparat penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum itu sangat minim pengawasan karena diskresi penyidik dan penuntut umum memang terlalu besar.

Faktor lain bahwa kasus HRS ini menjadi indikasi peradilan sesat adalah :

Pertama, meski tuduhan pelanggaran adalah pidana biasa berkaitan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan maupun aturan KUHP akan tetapi masyarakat sangat memahami bahwa HRS ini diseret ke ruang pengadilan atas peristiwa politik sehingga bertarget penghukuman politik. Domein kekuasaan yang masuk di ruang pengadilan sangat potensial untuk menjadikan ruang itu sebagai peradilan sesat.

Kedua, kasus HRS merupakan kasus yang dipaksakan. Perkara atas peristiwa kecil yang digelembungkan untuk menjadi besar. Soal pernikahan, pengajian, dan test SWAB bukan hal yang istimewa. Namun faktanya dapat menjadi jalan bagi pemaksaan kehendak. Jaksa maupun Hakim berat untuk mampu menegakkan hukum secara independen. Ada potensi pemaksaan, penyanderaan, pengancaman jabatan, mungkin juga iming-iming.

Ketiga, peradilan online yang sangat tidak adil dengan dalih pandemi. Untuk kasus dan terdakwa lain dapat dilakukan peradilan offline, namun tidak untuk HRS. Sekedar dapat hadir saja di depan sidang pengadilan sebagai hak seorang terdakwa membutuhkan perjuangan keras. Itupun tidak bisa. Ditambah dengan para Pengacara yang tidak dapat memasuki ruang sidang. Menurut pakar hukum Jaksa dan Hakim seperti ini sebenarnya dapat diadukan ke Mahkamah Agung.

Dalam peradilan sesat yang tidak sehat seperti ini sudah dipastikan tujuan hukum melalui proses peradilan tak akan tercapai. Mencegah masyarakat menjadi korban, apa yang mesti dicegah ? Masyarakat yang puas atas tegaknya keadilan, faktanya masyarakat kecewa atas ketidakadilan. Lalu agar pelaku tidak mengulangi kejahatan, nah apa yang jahat dari walimahan, pengajian, serta test SWAB ?

Masyarakat disuguhi pertunjukan hukum di panggung suka-suka dan penindasan. Pengadilan yang bukan untuk mengadili tapi sarana untuk melegalisasi hukuman politik yang jauh sebelumnya telah ditetapkan. Peradilan sesat yang akan menjadi sorotan masyarakat dunia dan tertawaan sejarah. Di negeri yang tidak merdeka, negeri yang dijajah oleh bangsanya sendiri.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 21 Maret 2021
Baca juga :