3 ALASAN PEMPROV DKI JUAL SAHAM BIR vs SIKAP KETUA DPRD

[PORTAL-ISLAM.ID]  Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berkeras ingin menjual saham di PT Delta Djakarta karena tidak ingin lagi mempunyai saham di perusahaan produsen minuman keras (miras) tersebut. Namun, keinginan itu terganjal persetujuan DPRD DKI Jakarta.

Plt Kepala Badan Pembinaan BUMD DKI Jakarta Riyadi membeberkan tiga alasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melanjutkan upaya penjualan sahamnya di perusahaan produsen minuman keras (miras) PT Delta Djakarta. 

Ketiga alasan tersebut meliputi faktor amanat hukum, pembangunan ekonomi, hingga kesehatan.

(1) Riyadi menjelaskan, alasan pertama berlandaskan amanat RPJMD 2017—2022 yang tertuang dalam Perda Nomor 1 Tahun 2018. Dalam amanat tersebut, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan restrukturisasi BUMD dengan implementasinya berupa divestasi terhadap kepemilikan saham di badan usaha yang tidak relevan dengan arah pembangunan DKI Jakarta.

“Maksudnya, negara yang tidak memberi kemanfaatan umum. Jelas bahwa produk dari PT Delta adalah minuman beralkohol, semua produk ini saya kira berdasarkan RPJMD tidak termasuk produk yang memberikan kemanfaatan umum,” ujar Riyadi dalam diskusi virtual tentang penjualan saham Pemprov DKI Jakarta di PT Delta Djakarta, Rabu (10/3).

Menurut penuturannya, barang yang diproduksi PT Delta Djakarta tidak relevan dengan pembangunan DKI Jakarta karena tidak ada kaitannya dengan pelayanan dasar yang diberikan kepada masyarakat. “Tidak ada hubungannya dengan arah pembangunan dan kebutuhan dasar,” tegasnya.  

(2) Adapun, alasan kedua adalah terkait dengan optimalisasi pembangunan. Riyadi membandingkan kebermanfaatan antara deviden yang diterima Pemprov DKI Jakarta dari saham yang ada di PT Delta Djakarta dengan pendapatan jika menjual saham. Dia menyebut jika Pemprov DKI Jakarta menjual sahamnya di perusahaan tersebut, keuntungan yang didapatkan dapat dialokasikan kepada lebih banyak bentuk pembangunan.

Asumsinya, dengan kepemilikan saham sebanyak 26,25 persen di PT Delta Djakarta dan mengacu pada harga saham di pasar modal saat ini sekitar Rp3.800 per lembar, artinya Pemprov DKI Jakarta memiliki saham hampir Rp800 miliar. Sementara itu, dia mengomparasikan rata-rata deviden yang diperoleh Pemprov DKI Jakarta dari PT Delta Djakarta hanya sebesar Rp50 miliar per tahun.

Angka yang diperoleh dari penjualan saham, kata dia, bisa digunakan untuk berbagai bentuk pembangunan. Baik untuk sekolah, pelayanan kesehatan, maupun sambungan air bersih yang lebih banyak dibandingkan dengan hanya memperoleh deviden saham.

"Dengan dana Rp800 miliar kita dapat hari ini, bisa bangun sekolah misal satu sekolah Rp20 miliar, maka bisa bangun 40 sekolah, misal bangun RS dengan nilai investasi Rp150 miliar bisa bangun lima RS, bisa juga untuk sambungan air bersih dimana satu sambungan investasinya Rp10 juta, bisa dibangun 80 ribu sambungan air bersih,” terangnya.

Sementara, angka rata-rata deviden sebanyak Rp50 miliar dinilai tidak sebesar atau lebih besar dari itu manfaatnya. Puluhan miliar rupiah tersebut hanya bisa untuk mendirikan sejumlah aspek pembangunan yang lebih terbatas.

Misalnya hanya bisa membangun dua unit sekolah dan membuat lima ribu sambungan air, serta tidak dapat menyelesaikan satu RS dalam setahun. “Berbeda jauh dengan kita jual langsung, jadi ada pertimbangan kemanfaatan. Manfaatnya jauh lebih besar dengan dijual,” tegasnya.

(3) Alasan terakhir terkait dengan aspek kesehatan. Dia menyampaikan, adanya asimetris sikap pemerintah jika tetap memiliki saham di PT Delta Djakarta, sementara mengorbankan aspek kesehatan.

Minuman beralkohol disebut mengganggu kondisi kesehatan masyarakat. Terlebih saat ini dalam kondisi krisis kesehatan dengan kehadiran pandemi Covid-19.

“Minuman beralkohol tidak bersahabat dengan kesehatan, bahkan mengganggu kesehatan. Di satu sisi negara harus melindungi masyarakat, tapi di sisi lainnya punya saham, asimetrisnya di sini, jadi kenapa pengin jual, ini salah satu pertimbangannya dalam rangka melaksanakan UU 1945 alenia 4,” terangnya.

DPRD Harus Dukung

Pengamat kebijakan publik, Tony Rasyid menilai, dewan harus segera melakukan pembahasan terkait rencana penjualan saham bir di PT Delta Djakarta.

“Apa pun hasilnya (disetujui atau ditolak) dibahas dulu. Kekhawatiran itu konsekuensi. Kalau terus ditutup (tidak ada pembahasan) banyak dialektika jadinya,” kata Tony, belum lama ini.

Diketahui, dalam Pasal 24 ayat 6 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pemerintah Daerah dapat menjual sahamnya di badan usaha setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD.

Pemprov DKI Jakarta dikabarkan telah mengajukan surat pengajuan persetujuan penjualan saham tersebut sebanyak empat kali kepada DPRD DKI Jakarta, yakni pada Maret 2018, Januari 2019, Mei 2020, dan yang saat ini berlangsung pada Maret 2021. 

Tony berpendapat, pembahasan itu perlu disegerakan mengingat kondisi pasar PT Delta Djakarta di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus bergulir seiring dengan munculnya persoalan terkait rencana tersebut.

Berdasarkan informasi yang diperolehnya, proses persetujuan rencana penjualan saham oleh DPRD membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sementara itu, dalam proses penjualannya akan ada pengkajian terkait berapa saham yang akan dijual melalui Jasa Penilai Publik (KJPP) yang mana kajiannya hanya berlaku selama enam bulan.

Jika kajiannya sudah dilakukan dan lewat dari batas berlakunya, sementara persetujuan dari dewan belum ada, kajian harus diulang. Tony menambahkan, dalam melakukan pembahasan, para dewan perlu memahami orientasi Pemprov DKI Jakarta dalam menjual saham.

“Sesuai orientasi Pemprov DKI untuk pembangunan masyarakat, bukan mengejar deviden. Jadi, public services menjadi orientasi berbisnis DKI,” kata dia.

Ditolak Ketua DPRD

Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi menegaskan, dirinya merasa sulit menyetujui penjualan saham PT Delta. Ia perlu diyakinkan dengan rasionalitas tinggi agar memberi restu pada keinginan Pemprov DKI Jakarta itu.

Sebab, berdasarkan laporan yang diterima oleh Prasetyo, PT Delta ternyata malah menyumbang deviden ke komponen Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dalam APBD tahun 2019 DKI Jakarta. Jumlahnya pun mencapai Rp100,4 miliar.

"Posisi itu merupakan kedua sebagai penyumbang deviden terbesar ke DKI Jakarta setelah PT Bank DKI sebesar Rp240 miliar," kata Prasetyo dalam keterangan yang disampaikan pada Republika, Kamis (11/2/2021).
Prasetyo merujuk pendapatnya terkait penjualan saham milik pemerintah pada UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang tercantum dalam pasal 24 ayat 6. Kemudian hal serupa diatur pula dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah pasal 55 ayat (2) huruf B dan Permendagri nomor 52 tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah pasal 24 ayat (2).

"Dengan rentetan aturan tersebut, penjualan atau divestasi saham PT Delta tidak bisa sembarangan dilakukan, apalagi dengan menggebu-gebu," tegas politisi PDIP itu.

Selain itu, Prasetyo meminta publik mengingat kembali sejarah Ibu Kota. Berdasarkan sejarah, ada alasan kuat mengapa pengelolaan perusahaan PT Delta diperoleh Pemprov DKI Jakarta setelah diberikan oleh Pemerintah Pusat pada 1960-an.

"Tujuan salah satunya untuk mengukur seberapa jauh penetrasi pasar minuman beralkhohol di kalangan yang belum pantas," ungkap Prasetyo.

Didukung PKS

Berbeda dengan Prasetyo, Wakil Ketua Fraksi PKS Abdul Aziz mendukung penjualan saham PT Delta. Ia mendesak supaya Gubernur Anies Baswedan merealisasikan janji kampanye soal penjualan saham Pemprov di PT Delta Djakarta. Ia menilai lebih banyak kerugian akibat pembiaran investasi di sektor minuman alkohol ketimbang manfaatnya bagi Pemprov DKI Jakarta.

"Patut diingat bahwa ini adalah janji Gubernur ketika melaksanakan kampanye lalu. Tentu menjadi kewajiban Gubernur untuk mewujudkannya semaksimal mungkin," ujar Aziz.

Ketua Komisi B DPRD itu menyatakan, fraksinya bakal mengirimkan surat kepada pimpinan dewan supaya mendesak secepatnya diadakan rapat pembahasan mengenai pelepasan saham bir.

"Saya sampaikan bahwa PKS dalam waktu dekat akan mengeluarkan surat kepada pimpinan dewan dari fraksi agar memudahkan proses ini," ucap Abdul.

Abdul juga berusaha merangkul fraksi lainnya di DPRD guna mengambil sikap yang sama soal penjualan saham bir. Ia berharap fraksi lain menunjukkan kekompakan guna menyuarakan keinginan rakyat yang antisaham bir.

"Apakah Pemprov diuntungkan dengan saham ini? Tentu diuntungkan dari sisi ekonomi tapi dari sisi dampak negatifnya mestinya diperhitungkan," ujar Aziz.

Gerindra Dukung

Anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Syarif juga mengatakan, pihaknya sangat mendukung rencana Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk melepas saham dari perusahaan bir PT Delta Djakarta Tbk. Dia mengakui bahwa secara verbal telah menyampaikan kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi untuk mengagendakan rapat bersama membahas rencana tersebut.

"Kita sudah minta kepada Ketua DPRD. Cuma saya soal verbal, untuk mengagendakan itu kan (keputusan) ada di Ketua DPRD. Saya sih berikan kesempatan untuk menghormati, saling menghormati kedudukan institusi," kata Syarif di Balai Kota Jakarta, Jumat (12/3/2021).

Sejauh ini, sambung dia, Prasetyo masih menolak rencana penjualan saham PT Delta Djakarta. Namun, jelas Syarif, masalahnya adalah Prasetyo tidak menyampaikan penolakan itu secara langsung melalui rapat resmi anggota dewan.

"Kalau kita katakan secara objektif pernyataan pak ketua (menolak penjualan saham PT Delta) harus kita hormati juga, tapi sampai hari ini belum pernah dibahas apa reasoning-nya forumnya itu harus dalam forum resmi Bapemperda atau rapim baru di situ penolakan. Gitu loh. Itu problemnya," ujarnya.

Syarif pun mengajak Prasetyo untuk segera mengadakan rapat secara resmi membahas penjualan saham itu. Menurut dia, jika ada fraksi yang menolak penjualan saham tersebut, maka dapat menyampaikannya langsung dalam rapat resmi.

"Jadi saya mengajak pak ketua, silakan hak politik ya masing-masing fraksi untuk melakukan penolakan dalam forum resmi, bukan di luar. Untuk pendidikan politik baik. Masa bergayung sambutnya di luar, bukan di rapat paripurna," jelas dia.

"Jangan-jangan justru yang menolak itu enggak bisa adu argumentasi menolaknya argumentasinya lemah juga lagi," kata Syarif lagi.

(Sumber: Republika)

Baca juga :