Kenapa NU Menjadi Tameng Penguasa
Jangan sampai NU merasa diri sebagai pemilik tunggal negeri ini. Jangan sampai NU merasa punya otoritas tunggal untuk membuat tafsir terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pun, jangan sampai NU menjadikan diri sebagai pentakwil tunggal terhadap laku keagamaan di Indonesia. Seakan praktek keagamaan yang bukan menjadi maenstream NU itu salah.
Menyalahkan peribadatan sesama orang Islam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Wahhabi itu salah. Tapi melakukan sikap kepada orang lain sebagaimana orang-orang Wahhabi, itu juga salah.
Kalau kepada pemeluk agama lain saja NU bisa begitu toleran, tak bisakah dengan sesama Islam bertoleransi?
Kepada pemeluk agama lain bahkan kadang melakukan toleransi kebablasan: doa bersama, shalawatan di gereja dan seterusnya. Tapi, kenapa kepada sesama Islam yang hanya berbeda persoalan furu', NU bisa begitu garang?
Baiklah, kita abaikan Wahhabi atau yang seringkali menyebut dirinya sebagai Salafi. Sebab sesungguhnya perbedaan keislaman kita dengan mereka begitu menganga.
Sangat susah dipadukan antara NU dan orang-orang Wahhabi itu. Sebab mereka begitu keukeh dan bahkan sudah sangat melampau kurang ajar. Mereka membid'ahkan dan bahkan membatilkan, mensyirikkan dan mengkafirkan.
Jadi, bairkan saja orang-orang Wahhabi itu mainan lumpur tabdi' dan seterusnya.
Pun, demikian dengan Syi'ah yang jelas-jelas berbeda secara prinsip keagamaan dengan NU.
Jadi, biarkan saja orang-orang syi'ah itu terus berkubang dalam comberan sabbus shahabah.
Sekarang dengan orang-orang yang jelas-jelas sama dengan NU, praktek keagamaannya sama, pandangan kebangsaannya sama, lantas kenapa NU begitu memusuhi?
Kita sama-sama qunut saat shalat subuh. Kita sama-sama baca maulid. Kita sama-sama tahlil dan mentalqin mayyit di kuburan. Pun, kita sama-sama bertabarruk kepada kuburan para auliya`.
Ngaji kita sama, guru kita sama dan sanad keilmuan kita sama. Aswaja: Ahlussunnah Waljamaah yang kita akui sebagai penegaknya, sungguh tak ada perbedaan apapun di antara kita.
Lantas kenapa NU begitu garang kepada sesama Aswaja di luar NU?
Apakah NU lebih menghargai formalitas ke-NU-an seperti Abu Janda CS, yang mengaku NU, tapi keagamaanya, sikap dan prilakunya jauh dari nilai-nilai Aswaja yang dianut NU?
Tapi di sisi lain (orang-orang) NU begitu memusuhi orang yang tidak mengaku NU, walau secara prinsip, prilaku dan sikap keagamaan, sama persis dengan NU.
Ok, sekarang mungkin dengan dalih persoalan sikap terhadap Indonesia. Mungkin NU menganggap orang-orang Aswaja di luar NU memiliki pandangan berbeda tentang Bangsa dan Negara.
Perbedaaan di mana?
Kita sama-sama bersikap bahwa NKRI sudah final. Atau yang biasa disebut harga mati.
Pancasila yang menjadi dasar Negara serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai panduan kehidupan berbangsa dan bernegara, kita sudah tak berbeda terkait ini.
Pun, segenap konstitusi legal yang saat ini menjadi kesepakatan dengan segenap aturan sampai turunannya, semua kita telah menerimanya.
Jadi sebenarnya, kegarangan NU kepada orang selain NU, lebih kepada persoalan perbedaan politik.
Suka tidak suka, diputuskan secara resmi formal atau tidak, yang pasti semesta hari ini bersaksi bahwa NU adalah pendukung total Pemerintahan PDIP di bawah kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum Partai.
Maka, karenanya NU akan menghardik dan menggebuk siapa saja yang kontra rezim!
Oleh: Abrar Rusdi Rifai
(Pengasuh Ponpes Babul Khairat Malang)
*Sumber: fb penulis
Kenapa NU Menjadi Tameng Penguasa Jangan sampai NU merasa diri sebagai pemilik tunggal negeri ini. Jangan sampai NU...
Dikirim oleh Abrar Rusdi Rifai pada Jumat, 12 Februari 2021