[PORTAL-ISLAM.ID] Warga Palestina akan mengadakan pemilihan parlemen, presiden dan Dewan Nasional pada musim semi dan musim panas tahun ini di bawah dekrit yang ditandatangani pada Jumat (15/1/2021) oleh presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Langkah itu mengakhiri periode 15 tahun tanpa pemungutan suara (pemilu).
Pemilihan parlemen akan diadakan pada 22 Mei, pemilihan presiden pada 31 Juli dan pemilihan Dewan Nasional pada 31 Agustus.
Mahmoud Abbas mengadakan seremonial penandatanganan keputusan tersebut saat bertemu dengan Hanna Nasser, ketua Komisi Pemilihan Pusat (CEC), di markas besar presiden di Ramallah, Tepi Barat, kutip kantor berita resmi Palestina WAFA. *foto atas
Kelompok perlawanan Palestina Hamas menyambut baik pengumuman itu dalam sebuah pernyataan.
"Penting agar pemilihan ini berhasil dengan cara yang akan memastikan kepentingan rakyat Palestina, yang memiliki hak mutlak untuk memilih pemimpin dan perwakilan mereka," kata Hamas dalam pernyataannya.
Hamas mengatakan bahwa lingkungan pemilu yang layak dan bebas harus disiapkan sehingga para pemilih dapat mengekspresikan keinginannya sendiri tanpa syarat dan tanpa tekanan apa pun.
Kelompok itu menekankan bahwa untuk membangun kembali sistem politik Palestina, menyepakati strategi nasional yang komprehensif melawan Israel dan mencapai semua itu, dialog nasional yang komprehensif di mana semua warga Palestina berpartisipasi tanpa kecuali harus dipercepat.
Dua kelompok Palestina Hamas dan Fatah terlibat perselisihan sejak Hamas merebut Jalur Gaza dari Fatah pada 2007.
Namun, September lalu mereka bertemu di Turki untuk rekonsiliasi dan menyetujui pemilihan parlemen dan presiden.
Pada 31 Desember, pemimpin senior Hamas Ismail Haniyeh mengirimi Abbas surat resmi untuk mengakhiri perpecahan dan mengadakan pemilihan umum di wilayah Palestina.
Pemilu 1996
Pada 1996, pemilihan umum di Palestina pertama kali diselenggarakan, sesuai dengan isi daripada Kesepakatan Oslo dan tujuan didirikannya Pemerintahan Otoritas Palestina. Pemilihan umum pertama di Palestina ini diadakan pada 20 Januari 1996 di tiga wilayah de facto yang menjadi wilayah kekuasaan Otoritas Palestina, yaitu Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza.
Pemilihan umum 1996, sebagai pemilihan umum pertama di Palestina, sebenarnya kurang memuaskan dari segi partisipasi dan representasi, hal itu disebabkan karena hanya Harakat at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini (Fatah) yang menjadi satu-satunya partai politik di Palestina, padahal faksi-faksi politik di dalam PLO bukan hanya Fatah.
Pemilu 1996 ini diboikot oleh Ḥarakat al-Muqāwamah al-ʾIslāmiyyah (Hamas). Boikot Hamas terhadap pemilihan umum 1996 membuat partisipasi masyarakat Palestina menjadi minim. Hamas melakukan boikot itu karena menganggap Kesepakatan Oslo sebagai landasan awal diadakannya pemilihan umum 1996 adalah sebuah pengkhianatan bagi Bangsa Palestina, karena mendapatkan pengakuan internasional atas Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai wilayah otoritas Palestina, itu artinya bagi Hamas sama saja mengakui keberadaan Israel atas wilayah Palestina lainnya, oleh karena itulah Hamas memboikot pemilihan umum 1996.
Pemilu 2005/2006 dan Kemenangan Hamas
Setelah pemilihan umum 1996, pemilihan umum kedua di Palestina, diadakan pada 9 Januari 2005. Pemilihan umum kedua di Palestina itu diselenggarakan seharusnya pada 2001, namun karena pada 2001 terjadi Intifadhah II atau Intifadhah al-Aqsha, maka menjadikan kondisi politik tidak kondusif dan terpaksa ditunda dan baru bisa dilaksanakan pada 2005.
Berdasarkan keputusan KPU Palestina, pemilihan umum presiden Palestina akan diadakan pada 9 Januari 2005, sementara pemilihan umum legislatif akan diadakan pada Juli tahun yang sama, namun karena ada kendala lagi, maka pemilihan umum legislatif diadakan pada 2006.
Pada pemilihan umum 2005, Fatah mengajukan Mahmoud Abbas sebagai kandidat presiden Palestina. Mahmod Abbas sendiri sebelumnya sempat menjadi perdana menteri Palestina di era Yasser Arafat, atau tepatnya saat Intifadhah Kedua meletus, namun Abbas sempat digantikan oleh Ahmed Qurei. Hasil pemilihan umum presiden Palestina itu akhirnya dimenangkan oleh Mahmoud Abbas dan secara resmi menjadi Presiden Palestina. Hamas tidak mengajukan calon presiden.
Keikutsertaan Hamas
Pemilihan umum 2006 menjadi bersejarah bagi politik Palestina, karena untuk pertama kalinya, Hamas mau ikut serta dalam proses demokrasi yang sudah berlangsung sejak 1996 itu. Sikap Hamas untuk ikut serta dalam proses demokrasi pada 2006 itu menimbulkan kontroversi, terutama dari sesama kelompok Islamis. Meskipun menuai kontroversi, Hamas tetap melanjutkan partisipasinya dalam pemilihan umum 2006.
Pada pemilihan umum 2006 itu Hamas mengusung platform politik "Change and Reform". Konsepsi platform itu kemudian tertuang dalam manifesto politik Hamas untuk ikut serta dalam pemilihan umum.
Bila pada pemilihan umum 1996 diberlakukan sistem distrik dengan block voting, hal ini berbeda dengan pemilihan umum 2006. Pemilihan umum 2006 menggunakan sistem voting paralel untuk mendapatkan jumlah perwakilan proporsional. Jumlah kursi legislatif yang semula 88 kursi, dinaikkan menjadi 132 kursi dengan pertimbangan bahwa penduduk Palestina sudah bertambah. Seluruh suara diperebutkan di 16 distrik, yaitu jerusalem, Tubas, Tulkarm, Qalqiliya, Salfit, Nablus, Jericho, Ramallah, Jenin, Bethlehem, Hebron, Gaza Utara, Gaza City, Deir al-Balah, Khan Younis, dan Rafah.
Kemenangan Hamas
Hasil pemilihan umum 2006 itu kemudian secara mengejutkan, berhasil dimenangkan oleh Hamas.
Hamas mendapatkan 74 kursi legislatif, sementara Fatah mendapatkan 45 kursi legislatif.
Kemenangan Hamas itu juga menaikkan Ismail Haniyah sebagai Perdana Menteri Palestina, yang dilantik pada 20 Februari 2006.