Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Sebagaimana dikabarkan media, Pasal 182 Ayat (2) huruf jj dalam draf revisi UU Pemilu diatur persyaratan pencalonan bagi peserta pemilu bukan bekas anggota HTI. Aturan ini, sekali lagi membuktikan bahwa kebebasan dalam demokrasi hanyalah omong kosong.
Semua yang berkaitan dengan Islam, akan ditentang demokrasi. Islam, hanya diberi ruang dan peranan dalam sektor privat. Ketika Islam berusaha masuk ruang publik, demokrasi akan menghalangi dan memeranginya.
Jika logika suara rakyat adalah suara Tuhan, tentulah Parta Refah di Turki dan FIS di Aljazair tak perlu dibubarkan. Mereka memenangkan Pemilu secara demokratis. Faktanya ? Demokrasi membungkam suara Islam di Turki dan Aljazair. Begitu pula, yang dialami Hammas di Palestina.
Namun, penulis meyakini terbitnya draf UU larangan bagi anggota HTI untuk ikut Pemilu, Pilpres maupun Pilkada bukan tujuan utamanya, tetapi ingin mendeskreditkan gerakan Islam. Gerakan Islam berusaha dipinggirkan dan dijauhkan dari kekuasaan.
Rezim hanya mengizinkan Islam berada di masjid dan surau. Itupun, saat ini sudah dimata-matai dengan narasi ektremisme melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2021.
Padahal, saat ini semua kerusakan di negeri ini tidak bisa lagi diatasi dengan perubahan melalui Pemilu, Pilpres maupun Pilkada. Bangsa ini butuh Islam, bangsa ini butuh alternatif solusi, bahkan butuh wajah baru yang bisa dipercaya untuk menyelamatkan masa depan bangsa ini.
Mempercayakan bangsa ini pada sistem dan politisi lama, yang selama ini justru berperan merusak bangsa, dengan korupsinya yang kian merajalela, tentu bukanlah sebuah pilihan. Bangsa ini butuh Islam dan tokoh pergerakan Islam, yang tak memiliki dosa sejarah, sehingga dipercaya umat untuk memperbaiki kerusakan yang ada.
Jika semua jalan menuju perubahan kekuasaan melalui mekanisme demokrasi ditutup, maka sudah menjadi sunatulah Umat Islam akan mengambil jalan perubahan yang lain, bukan melalui Pemilu, Pilpres maupun Pilkada. Tindakan mengunci pintu kekuasaan dari partisipasi gerakan Islam, justru akan menyuburkan gerakan Islam di luar parlemen.
Sejatinya, tanpa mengunci pintu kekuasaan demokrasi, saat ini telah ada kesadaran kolektif Umat yang kecewa dengan demokrasi, merasa tak lagi menaruh harapan pada demokrasi. Andai saja, pintu itu bukan ditutup tapi dibuka selebar-lebarnya, tetap saja umat dan gerakan Islam yang telah memiliki kesadaran politik tidak akan masuk dalam jebakan politik demokrasi.
Tentu saja, pematangan kondisi umat agar mampu menyongsong perubahan hakiki, justru mendapat kesempatan lebih besar untuk berkonsolidasi tanpa perlu terganggu atau terjebak dalam lingkaran politik demokrasi, baik melalui Pemilu, Pilpres dan Pilkada. Sejatinya, kebijakan pelarangan eks HTI tidak berasal dari pemikiran yang utuh dan menyeluruh, tetapi muncul dari keputusasaan rezim yang tak mampu membendung geliat kebangkitan Islam politik melalui gerakan keumatan. Bukan gerakan politik kepartaian yang telah dan mudah dikooptasi oleh kebijakan rezim.