Kado Pahit Akhir Tahun Untuk Para Calon Guru

OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO

Engkau patriot pahlawan bangsa. Tanpa tanda jasa.

Begitu penggalan bait penutup lagu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” karya Sartono yang membuat hampir semua siswa meneteskan air mata saat acara kelulusan sekolah.

Ya, mau bagaimanapun guru adalah pelita dalam kegelapan. Dengan sabar mereka mendidik anak-anak yang tak tahu apa-apa mengenal huruf kemudian bisa membaca, mengetahui angka lalu pandai berhitung.

Dari membaca dan berhitung itu kemudian anak didik menjadi orang-orang yang berpendidikan. Mereka seolah mendapat anak tangga menuju sesuatu yang disebut sukses. Entah itu sukses sebagai pengusaha maupun pejabat negara.

Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa pengabdian guru tidak sebanding dengan penghargaan terhadap jerih payahnya.

Ketua PGRI Tabanan, I Putu Santika pernah merilis bahwa rata-rata gaji guru honorer di daerahnya berkisar antara Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan. Setidaknya ini menggambarkan bahwa kesejahteraan guru dengan tanggung jawab besar dalam rangka ikut mewujudkan cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, ternyata miris.

Status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tentu menjadi cita-cita para guru juga calon guru. Sebab hanya dengan bermodal status tersebut, mereka akan merasa kesejahteraan diperhatikan. Selain itu, status PNS juga menjadi jaminan karir para guru untuk bisa terus fokus mengabdi tanpa khawatir besok makan apa.

Berbeda jika mereka sebatas pegawai dengan perjanjian kerja. Di mana tidak ada kejelasan sampai kapan mengajar dan tidak mendapat dana pensiun usai tak lagi bekerja.

Kini di era Presiden Joko Widodo, impian para calon guru dan guru non PNS dibuyarkan. Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan sesumbar telah mengumumkan tidak akan lagi membuka formasi guru pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Seleksi guru akan dialihkan untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Memang secara hitungan penghasilan, status PNS dan PPPK hampir sama. Hanya saja PPPK tidak mendapat hak pensiun usai menjabat.

Yang membuat tergelitik adalah pernyataan Kepala BKN Bima Haria Wibisana yang mengurai alasan tidak lagi ada PNS untuk guru. Katanya, hal itu dilakukan demi pengelolaan guru yang lebih efektif dengan status PPPK. Sebab saat menjadi PNS, guru kerap meminta pindah lokasi pengabdian setelah 4 hingga 5 tahun bekerja.

Menurutnya, permintaan tersebut telah mengganggu sistem pengelolaan dan distribusi guru yang sudah disusun pihaknya bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Alasan ini seperti mengada-ada. Sebab, apa yang disampaikan justru menunjukkan adanya kelemahan dari BKN atau pemerintah dalam membuat aturan untuk para PNS guru. Jika saja pemerintah lebih tegas, tentu guru tidak akan meminta yang macam-macam. Ketegasan itu tentu akan membuat penerimaan guru tidak mendapat diskriminasi dicoret dari seleksi CPNS.

Bima Haria Wibisana sendiri telah mengklaim bahwa pernyataan ini disampaikan setelah Menteri PANRB Tjahjo Kumolo dan Mendikbud Nadiem Makarim.

Tentu besar harapan bagi Menteri Tjahjo yang berasal dari partai wong cilik bisa lebih mendengar keluhan-keluhan rakyat kecil, khususnya guru. Kesejahteraan guru harus jadi prioritas agar mereka lebih semangat dalam mencerdaskan wong cilik yang berada di pedesaan.

Sementara Menteri Nadiem yang “belum sempat” blusukan seperti Presiden Joko Widodo untuk menyerap aspirasi dan keluhan guru di daerah, diharapkan untuk tidak gegabah membuat kebijakan. Apalagi jika kebijakan itu menyakit semangat tenaga pengajar yang ingin berbakti demi mencerdaskan bangsa.

Presiden Joko Widodo sebagai presiden yang pernah tumbuh di bantaran kali, tentu paham bagaimana nasib-nasib guru di daerah. Tolong jangan tutup tahun 2020 dengan kado pahit untuk para calon guru. 
Baca juga :