[PORTAL-ISLAM.ID] Penulis: Syahrul Efendi Dasopang
Ketua Umum PB HMI MPO 2007-2009.
RANGKAIAN tulisan ini dimaksudkan untuk menjaga ingatan dan literasi publik terkait dinamika yang dihadapi oleh HRS dan FPI dalam bersinggungan dengan kekuasaan.
Tahukah Anda, keberadaan HRS dan FPI, sejak awal kemunculannya sudah berurusan dan bergesekan dengan kekuasaan? Pertama, FPI menyerang pusat-pusat maksiat, maka penguasa ekonomi berbasis kriminal dan kekerasan ekstra hukum, terganggu. Kemudian HRS-FPI menyadari tidak bisa terus-terusan sebagai pemadam kebakaran. Bakar satu basis maksiat, timbul basis baksiat baru.
Lantas FPI sampai pada kesimpulan, agar pekerjaan tidak jadi tukang pemadam kebakaran, lalu ikut mendorong penegakan syariat Islam yang langsung dipegang dan dioperasikan oleh negara secara konstitusional.
Pada tahun 2000-an awal, FPI pun ikut mendorong ditengok kembali Piagam Jakarta 1945 guna diimplementasikan. Tapi bagi penguasa status quo di Indonesia, hal ini tidak dapat diterima. Maka dorongan FPI ini juga oleh anggota DPR ditinggalkan begitu saja. FPI pun beralih ke peran awalnya semula: amar ma'ruf nahi munkar.
Tahun 2006, majalah porno Playboy dari AS diumumkan akan diterbitkan dan diedarkan di Indonesia. Tentu saja FPI langsung padamkan. Akibatnya majalah maksiat itu padam dan gagal bertahan. Pada 2008, terjadi apa yang dikenang sebagai insiden Monas. Terjadi bertepatan pada 1 Juni 2008, hari lahir Pancasila.
Pada waktu itu, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang berisi beragam lembaga dan aktivis pluralisme, melakukan kampanye akbar di Monas. Mereka menentang aksi FPI yang membubarkan aktivitas Ahmadiyah di Parung.
FPI dan Forum Umat Islam juga menentang kampanye tersebut. Akibatnya bentrok tak terhindar. Konflik FPI vs AKKBB berbuntut panjang hingga mengerahkan polisi dalam jumlah besar ke Petamburan. Hasil akhirnya, HRS dan Munarman yang kala itu sebagai Panglima Laskar FPI dibui. HRS sendiri divonis 1,5 tahun.
Tapi keberhasilan paling dikenang dari gerakan mobilisasi FPI, yaitu Aksi Bela Islam 14 Oktober 2016, 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Kenyataan berkumpulnya massa yang diperkirakan mencapai jutaan orang itu, suatu hal yang ajaib.
Hal itu juga menepis asumsi selama ini bahwa HRS hanya didukung sekelompok kecil kaum radikal. Dan faktanya, HRS merupakan tokoh sentral dari aksi massa yang merontokkan Ahok dari panggung kekuasaan, meskipun semua orang tahu, bahwa dia diback up oleh Presiden dan kekuatan-kekuatan besar lainnya.
Sebenarnya, kemunculan Jokowi yang bergandengan dengan Ahok dalam pemerintahan DKI dari 2012-2014, telah menimbulkan reaksi dari FPI. Semua orang menyadari bahwa Jokowi hanyalah alat untuk memuluskan Ahok menjadi Gubernur di suatu basis Muslim seperti Jakarta. Dan FPI tentu merasa tidak beres dengan hal tersebut.
Pada akhirnya Jokowi terangkat menjadi Presiden, secara otomatis Ahok menjadi Gubernur DKI. Bukannya santun dan simpatik, Ahok melancarkan komunikasi publik yang intimidatif dan represif. Maka FPI pun melancarkan perlawan dengan aksi massa yang ajek.
Mulai dari Aksi Massa Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) yang dibidani oleh FPI mengangkat Almarhum KH. Fachrur Rozy Ishak sebagai Gubernur Rakyat Jakarta hingga rally aksi massa dengan semboyan Aksi Bela Islam 1410, 411 hingga 212 yang diperluas dengan pembentukan GNPF MUI.
Bagaimana pun, adalah kenyataan seluruh gerakan FPI itu telah menyinggung kekuasaan Jokowi. (Bersambung).