[PORTAL-ISLAM.ID] Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto sedang membaca buku berjudul 'How Democracies Die'. Elite senior PDIP Andreas Hugo Pareira menilai buku tersebut tidak relevan dengan kondisi Indonesia.
"Kalau Anies mau menggunakan bacaan buku itu untuk mengkritisi situasi ini, saya justru lihat tidak ada relevansinya buku yang sedang dibaca Anies dengan situasi yang sedang dihadapi Indonesia saat ini," ujar Andreas saat dihubungi, Minggu (22/11/2020), seperti dilansir detikcom.
Andreas mengatakan, dalam konteks Indonesia upaya pelemahan dilakukan oleh kekuatan otoritarian theokrasi. Menurutnya, hal ini dilakukan dengan cara memanfaatkan politik identitas.
"Konteks Indonesia, justru adalah upaya pelemahan negara oleh kekuatan otoritarian theokrasi yang anti demokrasi, yang memanfaatkan politik identitas untuk memprovokasi masyarakat melawan pemerintah yang terpilih secara demokratis," kata Andreas.
"Upaya pelemahan negara sangat berbahaya dan justru menjadi ancaman terhadap demokrasi. Karena apabila terjadi pembiaran terhadap kelompok authoritarian theokrasi, Indonesia akan menuju pada jurang kehancuran sebagaimana yang terjadi di Syria, Irak, Lybia," sambungnya.
Sehingga menurutnya, sikap tegas TNI tepat untuk menghentikan upaya pelemahan. Menurutnya, upaya pelemahan tersebut dapat menjadi ancaman terhadap negara.
"Oleh karena itu sikap tegas TNI untuk menghentikan upaya penggerogotan untuk pelemahan fungsi-fungsi kenegaraan adalah tepat. Karena gerakan untuk pelemahan fungsi-fungsi negara merupakan upaya membangun anarkisme yang merupakan ancaman terhadap demokrasi dan keselamatan negara," pungkasnya.
Diketahui, Anies mengunggah foto dia memakai baju koko berwarna putih dan sarung berwarna cokelat. Anies membaca buku berjudul 'How Democracies Die' sambil duduk menyilangkan kaki. Ia duduk di depan rak buku yang menjadi latar belakangnya.
Buku 'How Democracies Die' merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres tetapi lekat dengan label 'diktator'.
Dalam bukunya, mereka mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu. (Detik)
Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi. pic.twitter.com/sBhF8k0UW0
— Anies Baswedan (@aniesbaswedan) November 22, 2020
Pemimpin otoriter, menurut Levitsky dan Ziblatt, menganggap saingan mereka sebagai penjahat, subversif, tidak patriotik, serta ancaman terhadap keamanan nasional dan ketertiban masyarakat. Sepertinya tidak asing dengan pernyataan semacam itu ya? pic.twitter.com/5cPQzgtFhE
— Tarli Nugroho (@TarliNugroho) November 23, 2020
salah satu poin dalam buku "Bagaimana Demokrasi Mati" pic.twitter.com/dpYxM710sq
— Naufal Firman Yursak (@firmanyursak) November 22, 2020