Refleksi Maulid Nabi: Bagaimana Perubahan Besar Terjadi


Bagaimana Perubahan Besar Terjadi
(Refleksi Maulid Nabi)

Peristiwa besar pernah terjadi 1500 tahun yang lalu; i) Istana Kekaisaran Kisra di Persia mengalami guncangan besar hingga 14 balkonnya roboh, ii) Api abadi yang ribuan tahun menyala di Azerbaijan (terletak di antara cekungan Laut Kaspia Selatan) dan disembah oleh Kaum Majusi Persia, padam,

iii) Danau Salwah di Iran airnya menyusut sehingga gereja-gereja yang ada di atasnya roboh, iv) Raja Abrahah (Habsyah - Ethiopia) yang berhasil menguasai Yaman, dibuat porak poranda beserta pasukan gajahnya saat menyerang Ka’bah oleh burung ababil yang membawa batu-batu dari Neraka.

Setiap datang tanggal ini -hari di mana peristiwa-persitiwa besar terjadi-, kita mengenang satu persitiwa besar yang paling menggembirakan. Orang-orang Yahudi menggugat kenapa kenabian, tidak lagi dari tanah kelahiran mereka, namun dari Jazirah Arab? Kita mendapati jawabannya,
اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS Al-An’âm : 124)

Barangkali hikmah yang bisa kita ambil, kenapa kenabian yang terakhir, turun di arab, adalah, agar kita memahami bahwa, Islam ini agama yang lentur, mudah menyesuaikan diri dengan tempat, waktu, dan sistem yang ada. Kita ketahui bersama, Bangsa Arab adalah bangsa yang suka berpindah-pindah tempat, mereka juga adalah para pedagang yang suka bepergian selama berbulan-bulan. Mereka mudah pindah tempat asalkan relevan dengan tujuannya, sehingga tidak fanatik terhadap sesuatu.

Bukankah seperti itu seharusnya kita? Berjalan dan memperjuangkan sesuatu yang relevan, tidak kaku dan ketinggalan perkembangan, lentur dan mampu beradaptasi dengan baik. Karena sekarang ini, dunia seperti mengalami perubahan setiap detiknya. Kita menghadapi tantangan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kita harus berjuang untuk ide dan gagasan, bukan untuk orang, agar perjuangan terus bisa relevan.

Ada peristiwa-persitiwa besar yang mengiringi kelahiran Nabi Muhammad di Hari Senin, 12 Rabiul Awal -Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri menyebutnya 9 Rabiul Awal-, 1500 tahun yang lalu, sebagaimana poin di atas. Seperti itulah tabiatnya, suatu kelahiran atas hal-hal baik, seringkali menjadi pertanda akan runtuhnya simbol-simbol keangkuhan dan kedzaliman. Mari putar ulang ingatan kita dan mengambil hikmah atasnya..

Istana Kekaisaran Kisra di Persia, Api abadi yang ribuan tahun menyala di Azerbaijan, Danau Salwah di Iran yang tidak pernah kering, dan Raja Abrahah (Habsyah - Ethiopia), adalah simbol-simbol keangkuhan, yang kemudian runtuh bersamaan dengan kelahiran hal baik -lahirnya Nabi Muhammad-

Setelah 13 tahun diangkat jadi nabi dan berdakwah di Makkah, beliau hijrah ke Madinah dan membangun basis dakwah baru di sana. Berapa pengikut awal beliau? Sejumlah 285 orang Muhajirin (200 orang berangkat dari Makkah + 85 orang berangkat dari Habasyah) dan 70 orang Anshar (Penduduk Madinah yang pertama masuk islam). Angka inilah, modal awal yang kelak, mengantarkan Islam menuju Fathu Mekkah, 10 tahun kemudian.

Berbekal pengikut nan setia sejumlah 355 orang, Rasulullah membangun basis kekuatan di Madinah. Menghadapi satu perang ke perang lainnya, melakukan ekspansi dakwah bersama para panglimanya yang gagah perkasa, diperkuat oleh para pasukan-pasukan yang begitu merindukan syahid dan berjumpa dengan Tuhannya.

Sepanjang 10 tahun itu, penting kita gali bersama, kenapa Rasulullah tidak pernah menugaskan orang sekuat dan seperkasa Umar bin Khatab -yang syaitan saja menepi saat dia mau lewat- untuk menjadi panglima perang dan memimpin pertempuran? Tidak juga kepada Abu Bakar as Shiddiq, Ustman bin Affan, maupun Ali bin Abi Thalib.

Karena Rasulullah menyiapkan para sahabatnya, untuk fungsi yang berbeda-beda. Seperti itulah seharusnya seorang pemimpin, pandai membagi tugas berdasarkan potensi kadernya, tidak bisa semuanya disama-ratakan dengan pembebanan yang serupa. Bukankah Umar bin Khatab yang fisiknya kuat dan badannya besar itu, seharusnya jauh lebih bisa menggetarkan musuh saat dia berdiri paling depan sebagai panglima perang?

Distribusi peran tanpa mempertimbangkan potensi -baik yang sudah nampak maupun masih terpendam sehingga perlu penggalian- akan menghasilkan kader-kader yang iya-iya aja saat mendapatkan penugasan. Nalar dan daya kritisnya, secara perlahan-lahan, tanpa disengaja, sedang mengalami pembonsaian. Pemimpinnya merasa berhasil menggerakkan, padahal sesungguhnya dia sedang menghambat laju pertumbuhan generasi pemikul beban.

Pemimpin yang hebat mampu mengkonsolidasikan peran dan fungsi orang-orang yang berbeda, dan mampu menempatkan orang-orang hebat pada kamarnya masing-masing agar mampu berkontribusi sesuai dengan bidangnya, tidak ditempatkan di satu kamar dengan pembebanan yang sama rata.

Sepuluh tahun setelah membangun basis dakwah di Madinah, Rasulullah membawa 100.000 orang -dalam riwayat lain 125.000 orang- menuju Makkah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya I'lān al-Muwaqi'īn 'an Rabb al-'Ālamin, mendetailkan komposisi pasukan dalam perjalanan Hajjatul Wada’ yang berbuah Fathu Makkah tersebut.

Dari jumlah orang yang mengikuti Haji Wada’ sebesar itu, Ibnul Qayyim menyebutkan, jumlah orang yang dianggap sebagai ulama hanya berjumlah 100 sampai 110 orang saja. Kemudian, dari jumlah seratusan orang tersebut, ulama besarnya hanya berjumlah 7 orang, dua di antaranya adalah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib.

Dari seratusan ribu orang tersebut, ada yang mendapatkan gelar al-'asyaratu al-mubasysyaruna bil jannati, yakni 10 orang yang dijanjikan masuk syurga, 3 di antaranya bahkan tidak begitu familiar namanya di telinga kita, yakni Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah Al-Jarrah, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Mari perhatikan kembali prosentasi yang kecil tersebut. Dari seratus ribu orang kita hanya mendapati tujuh ulama besar dan hanya mendapati sepuluh orang yang dijaminkan masuk syurga. Apa hikmah yang bisa kita ambil darinya?

Bukankah sejak dulu, perubahan-perubahan besar di dalam sejarah tidak pernah diciptakan oleh orang banyak, tapi oleh sedikit orang saja, dan semua peristiwa besar dalam sejarah akan meledak jika terjadi pertemuan antara ide dan manusia. Artinya, harus terus terjadi pergulatan pemikiran, meskipun hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, dan meskipun dilakukan oleh orang yang tidak begitu dikenal, tidak memiliki popularitas dunia tapi diperbincangkan oleh para malaikat di langit.

Rasulullah jauh hari sudah mengabarkan kepada kita dalam sabdanya, “Sesungguhnya manusia seperti unta sebanyak seratus, hampir-hampir tidaklah engkau dapatkan diantara unta-unta tersebut, seekorpun yang layak untuk ditunggangi”.

Dari seratus onta, kita kesulitan untuk mendapatkan seekor saja yang mampu untuk memikul beban di punggungnya dalam waktu yang lama, dan seperti itulah perumpamaan manusia. Ada begitu banyak orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas kelembagaan dan organisasi, tapi hanya sedikit yang bisa diajak berlari dan memutar otaknya. Ya, karena peran mereka lebih banyak menunggu instruksi dan arahan dari pimpinannya. Sudah begitu, saat arahan turun, tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan membuat improvisasi peran.

Jadi, jika ada yang begitu menonjol dan diikuti banyak orang, jangan terburu-buru menghakiminya dengan status wala syakshi atau penebar penyakit loyalitas figuritas. Karena sejak dahulu, tabiatnya memang sudah begitu, perubahan-perubahan besar di dalam sejarah tidak pernah diciptakan oleh orang banyak, tapi oleh sedikit orang saja, bukan?

Di kesempatan yang baik dan mulia ini, sembari mengenang kembali kelahiran Rasulullah Muhammad, ada baiknya kita menggali hikmah atas peristiwa-peristiwa besar yang sedang terjadi di Indonesia dan juga dunia. 

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa'ala alihi wasallim.

Dihimpun dari berbagai sumber.

(Ale Ikhwan Jumali)

Baca juga :