Otak Besar Rocky Gerung


Otak Besar Rocky Gerung

Oleh: Anwar Saragih | Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Dua hari ini, saya mengikuti perdebatan antara Rocky Gerung dan Profesor dari Universitas Airlangga, Henry Subiakto.

Seperti biasa, Rocky selalu mampu menjadi sosok protagonis dan antagonis pada saat yang bersamaan.

Pada prinsipnya, Rocky kerap menjadi daya tarik tersendiri dalam diskursus politik wacana kita hari-hari ini. Khususnya untuk kelompok terdidik, yang pernah merasakan pendidikan di universitas.

Rocky hadir membawakan nuansa baru, dengan bahasa akal sehat (common sense) yang pertama kali didengungkan oleh Aristoteles.

Ia kerap menempatkan dirinya sebagai orang kampus ketika berdebat, dalam berdialektika dan mengadili logika lawan bicaranya kemudian menawarkan sintesa dalam alternatif pemikiran baru.

Sehingga jika seseorang ingin berdebat dengan Rocky, tentu membutuhkan persiapan yang tidak sedikit karena banyak menguras waktu dan pikiran. Selain karena Rocky kaya terhadap terminologi dan istilah, ia juga memiliki kemampuan mendekonstruksi wacana hanya dalam beberapa detik setelah lawannya selesai berbicara.

Dari situ, ia akan mengolah kata dengan penuturan argumentasi dengan logika yang sangat rapi hingga wacana yang ia sampaikan akan eksis dalam beberapa hari setelahnya untuk dibicarakan kembali.

Artinya Rocky juga mampu menjadi Derrida (dekonstruksi) dan Foucault (eksistensialis) dalam satu kesempatan.

Lihat saja, bagaimana Profesor Universitas Airlangga, Hendry Subiakto itu terjebak dengan ucapannya sendiri akibat terpancing ucapan Rocky.

"Supaya orang seperti Rocky ini tahu fakta, karena ia hanya bicara secara imajinasi dan pakai teori-teori yang kadang-kadang di kampus saya sudah ketinggalan jaman," ucap Henry

"Oke" timpa Rocky.

"Saya ini guru besar Universitas Airlangga" ucap Hendry.

"Mudah-mudahan otakmu besar juga" balas Rocky.

"Minimal saya profesor betulan, kalau anda belum tentu" timpa Hendry.

Sebagaimana kebiasaan Rocky saat berdebat, ia selalu bertahan dan menunggu saat-saat lawan bicaranya akan menyerangnya.

Secara teknis, Rocky sadar bahwa ia adalah objek yang akan diserang ketika berdebat. Benar saja Henry mungkin seolah sudah mempersiapkan kalimat dan akan mengatakan bahwa dirinya adalah profesor sementara Rocky bukan. Tujuannya tentu saja mempermalukan dan mempertanyakan kapasitas Rocky.

Disinilah persoalannya, seorang profesor bahkan masuk ke perangkap argumentasinya sendiri hingga melahirkan kesesatan berpikir terkait otoritas (Argumentum Ad Auctoritatem).

Yang mana, kesesatan berpikir semacam itu sangat pantang diucapkan. Apalagi sampai keluar dari mulut seorang guru besar yang secara akademis dan fungsional jabatan telah melewati perjalanan yang panjang.

Kecuali, Profesor Henry menekankan tentang tulisan-tulisan akademisnya dalam mendukung argumentasi yang ia ucapkan. Ini beda cerita.

Pada konsep debat yang bisa dioperasikan, argumentasi mengandalkan sebuah alasan logis dalam mengungkap kebenaran. Perdebatan tidak ada urusan dengan gelar akademik S1, S2 atau S3, serta penghargaan profesor. Karena yang dinilai adalah kualitas bahasa dan argumentasi yang diucapkan bukan jabatan profesornya.

Pada lanjutan debat, Henry malah keceplosan ucapan, kadung bicara soal influencer yang diketuai oleh Yosi "Project Pop" yang memperpanjang permasalahan.

Karena masyarakat pada akhirnya, bisa menduga-duga terkait penggunaan dana APBN untuk keperluan influencer. Pun sebagai catatan, rilis ICW tentang influencer pemerintah itu datanya diambil dari tahun 2014-2019.

Tidak sampai di meja perdebatan di stasiun televisi swasta, tidak puas karena diolok-olok warganet di media sosial. Henry kemudian melanjutkan pembahasan di twitter.

Katanya: "..RG (Rocky Gerung) minimal punya dua manfaat, satu dia berhasil membuat kelompok Islam yang dinilai intoleran ternyata bisa menerima agamanya yang gak jelas karena sama-sama mengecam pemerintah. Kedua, dia bisa membuat medsos saya tambah followernya..".

Unggahan di media sosial Henry ini tentu tidak mencerminkan seorang guru besar. Karena sebagai pejabat di lingkungan kementerian, ia telah melakukan tuduhan bahwa agama Rocky tidak jelas. Pada posisi ini, sampai Henry membuktikan bahwa agama Rocky tidak jelas, Henry bisa kena UU ITE dengan alasan pencemaran nama baik.

Lebih lanjut, soal eksistensi Henry di twitter yang followernya semakin naik, yang diakuinya sendiri bahwa dunia wacana tidak ada hubungannya dengan gelar akademis. Bahkan pada posisi ini, eksistensi Rocky secara gamblang dimanfaatkan untuk dipanjat oleh Henry. Pada bahasa sekarang, pansos-lah.

Pada perkembangannya, di media sosial twitter Henry mulai mencari-cari pengakuan terkait kapasitas dan jaringan pergaulannya. Tanpa dijelaskan pun, tentu banyak orang sudah tahu jangkauan jaringan pergaulan seorang Rocky yang sudah pasti melampuai sang profesor tersebut. Mulai dari jaringan politisi, pengusaha, LSM hingga akademisi.

Tapi saya tidak mau masuk ke ranah itu, karena belakangan saya memeriksa tulisan jurnal dari profesor Henry dan membandingkannya dengan jurnal-jurnal yang pernah ditulis oleh Rocky. Saya tidak punya kapasitas menilai kulitas jurnal profesor Henry, tapi tulisan-tulisan Jurnal Rocky Gerung sangat brilian.

Anda bisa saja membenci Rocky karena pilihan politik yang diambil selama ini. Tapi Rocky memberi banyak pelajaran tentang alasan untuk meragukan sebuah persoalan.

Keraguan itu kemudian dirangsang untuk selalu dicari tahu kebenarannya hingga pada satu titik kita mendapatkan satu kesimpulan/kebenaran baru. Sebagaimana ilmu pengetahuan yang selalu lahir dari ketidaktahuan, praduga dan hipotesis menjadi bagian penting dalam pemikiran Rocky.

Membaca jejak Rocky, pada perjalanan hidupnya adalah seorang pejuang demokrasi.  Rocky bukanlah orang baru dalam dunia wacana demokrasi, sejak masa orde baru hingga reformasi ia aktif dalam setiap forum diskusi yang didirikannya bersama: Gus Dur, Marsilam Simanjuntak dan Rahman Toleng.

Pandangannya tentang intoleransi lebih jernih lagi, ia tidak hanya melihat bahasa intoleransi dalam kerangka sosiologi dan antropologi terkait diskriminasi agama, suku dan RAS. Jauh dari pada itu, pandangannya ke intoleransi terkait distribusi ekonomi antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia.

Untuk itu, pada setiap kesempatan, Rocky selalu menekankan pentingnya kritik. Kritik yang sifatnya tidak hanya konseptual tapi juga operasional.

Saya akhirnya sepakat dengan ucapan Rocky yang mengatakan: "Ijasah itu tanda orang pernah bersekolah, bukan tanda orang pernah berpikir".

[kumparan]

Baca juga :